Hari-hari berlalu, Vina dan Vano kini sudah mulai akrab. Tidak ada rasa canggung lagi diantara mereka. Luka lebam di wajah Vina sudah mulai tidak terlalu terlihat, hanya saja luka di lututnya yang masih sedikit sakit, hingga terasa kaku saat ia berjalan.
Vano mengajak Vina keluar berjalan-jalan mengitari dusun itu. "Apa disini tidak ada pasar?." Tanya Vina
"Nggak ada. Disini hanya ada pasar mingguan, itupun di dekat kantor desa. Orang-orang disini harus rela berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh untuk sampai kesana."Jawab Vano. "Apa kamu membutuhkan sesuatu?" Tanya Vano
"Apa kak Vano mau mengantar saya ke sana?.
Ada yang harus saya beli."Jelas Vina.
"Tapi kondisi kamu belum benar-benar pulih. Kamu masih harus banyak istirahat."
"Saya sudah tidak apa-apa kok kak. Lagipula, saya bosan kalau harus terus istirahat dirumah. Saya ingin jalan-jalan di kampung ini."
"Baiklah. Tapi kalau aku nggak salah, pasarnya setiap hari rabu, berarti lusa kita pergi kesana."Jawab Vano.
"Iya kak, makasih ya!" Ucap Vina.
Vina sudah tidak sabar ingin pergi ke pasar yang ada di dekat kantor desa itu. Dia akan membeli barang kebutuhan pribadinya, dan beberapa perlengkapan lainya.
Selain itu dia juga akan menelpon keluarganya dari sana. Dia yakin pasti ada telepon dikantor desa yang bisa ia gunakan untuk menelpon keluarganya.
Semenjak Vina ada dirumah mak Darsih, Vano semakin betah dan berniat tidak akan kembali ke rumahnya dalam waktu dekat ini. Dia benar-benar menikmati hari-hari indahnya bersama Vina, karena bagi Vano, ini adalah sebuah keberuntungan bisa bersama dan dekat dengan Vina tanpa ada yang menghalangi mereka. Vano juga bisa jauh dari orang-orang yang tidak ingin dia lihat.
Begitu juga dengan Vina, yang merasakan apa yang dirasakan oleh Vano. Walau disisi lain, ia sangat merindukan keluarganya. Dia tahu keluarganya pasti akan sangat cemas, dan khawatir padanya. Sudah satu minggu Vina tinggal dirumah mak Darsih, tapi dia belum bisa mengabari keluarganya.
***************
Seperti janjinya tempo hari, Vano mengajak Vina pergi ke pasar yang ada di dekat kantor Desa. Mereka berdua berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang becek. Mereka berangkat jam delapan pagi.Tapi cuaca disana terlihat seperti baru jam enam pagi. Kabut tebal masih menyelimuti kampung.
Pandangan mereka ikut terhalangi oleh kabut tebal itu, ditambah cuaca yang sangat dingin, karena memang kampung itu berada di kaki gunung.
Sejauh mata Vina memandang, hanya hamparan sawah hijau, dipagari tebing-tebing dan gunung yang terasa sangat dekat dengannya. Beberapa kali mereka menyebrangi jembatan kayu, yang terlihat sudah sangat lapuk. Vina merasa takut, setiap kali menyebrangi jembatan itu.
Dia takut mungkin saja tiba-tiba jembatan itu akan roboh, dan mungkin saja dia dan Vano akan hanyut disungai yang arusnya terlihat sangat deras. Ditambah bebatuan besar yang ada disana. Mungkin akan sangat cocok, jika sungai ini dijadikan tempat bagi pecinta olah raga arung jeram, pikir Vina.
...
Mereka akhirnya sampai di pasar itu. Seperti pada umumnya, keadaan pasar sangat ramai.
Walau tak seramai pasar ditempat mereka, setidaknya lebih banyak orang disini, dibandingkan dengan di kampung mak Darsih.
Maya mulai mencari sesuatu, tapi sepertinya ia tidak menemukan apa yang dia cari. "Sebenarnya apa yang ingin kamu beli?. Apa kamu belum menemukannya?" Tanya Vano, yang heran dengan Vina yang terlihat sedang mencari sesuatu.
"Saya mencari toko emas kak?"Jawab Vina
"Toko mas?.Kamu mau beli emas?."Tanya Vano heran
"Hehe, bukan mau membeli, tapi menjual. Saya mau jual anting saya."
"Kenapa kamu mau menjual anting kamu?."Tanya Vano.
"Saya tidak punya uang untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan. Semua uang dan tas saya diambil oleh perampok itu. Jadi saya akan jual anting ini, biar saya dapet uang."Jawab Vina.
"Kalau itu alasannya, kamu nggak perlu repot-repot menjual anting kamu. Pakai saja uangku." Ucap Vano.
"Tidak kak, jangan. Saya nggak mau merepotkan kak Vano. Kita jual saja anting ini."
"Tapi disini tidak ada toko emas."Jawab Vano
"Nggak apa-apa, saya bisa jual anting ini ke ibu-ibu yang ada disini." Lalu Maya mulai mencari para ibu yang akan ia tawari anting miliknya.
"Permisi bu, maaf."
"Iya ..ada apa neng?"
"Ini bu, saya mau nawarin anting ini, barangkali ibu berminat?."
"Wahh bagus sekali neng, berapa?"
"Ibu nawarnya berapa?."
"Ya neng ngasih harganya berapa?"
"Saya beli ini 800 ribu, biarin deh saya jual 300 ribu aja. Masih baru lho bu."
"Apa neng 300 ribu? Kok mahal, saya kira 50 ribuan. Disini ada yang jual 50 ribuan kok."
"Itu mungkin imitasi. Ini emas asli bu."
"Emas kok warnanya gitu, kayak perak."
"Ini emas putih, bu. Harga per gramnya aja lebih mahal dari emas kuning."
"Kalau gitu, mana suratnya? Saya mau lihat."
"Suratnya ada dirumah, saya tidak bawa."
"Neng ini gimana, mau jual emas tapi nggak bawa suratnya. Mana mungkin orang akan percaya kalau ini emas asli." Ucap ibu itu, lalu pergi.
Vano tersenyum melihat transaksi jual beli Vina yang gagal. "Kamu nggak akan mendapatkan pembeli anting kamu. Percaya deh sama aku."
"Kenapa kak Vano sangat yakin?."
"Orang-orang disini masih awam. Mereka tidak akan mau memakai emas putih. Mereka lebih suka memakai emas yang berwarna kuning. Karena mereka takut disangka memakai perak, kalau memakai emas putih.
Sudahlah, pakai saja uangku, kamu tidak punya pilihan." Ucap Vano.
Vina akhirnya menerima uang dari Vano, dengan catatan, dia akan mengganti uang itu, ketika ia sudah kembali kepada keluarganya. Setelah membeli barang yang ia butuhkan, Vina mengajak Vano masuk ke kantor desa.
Dia akan ikut menelpon keluarganya dari sana.
Setelah mendapat ijin dari pegawai desa, Vina mulai menghubungi keluarganya. Ia ingat nomor ayahnya, dan mulai memencet nomor di telepon itu. Telepon tersambung, tapi tidak diangkat. Ini sudah panggilan yang kelima, tapi pak Surya, tidak juga mengangkat teleponnya.
Vina menelpon Helmi, adiknya. Dia mengangkatnya, tapi sayangnya tidak terdengar suara apapun dari telepon itu. Mungkin karena sinyal yang sangat jelek di daerah itu, hingga akhirnya Vina pun memutuskan sambungan telponnya, karena menurutnya semua itu sia-sia.
Vano menyarankan agar Vina menulis surat untuk mengabari keluarganya. Vina lalu menuliskan sebuah surat, dan menitipkan kepada salah satu pegawai desa, untuk mengirimkan surat itu ke kantor pos yang ada di dekat kantor kecamatan.
Vina dan Vano kembali ke rumah mak Darsih. Di perjalanan pulang, Vina mulai merasakan sakit dikakinya. Sesekali mereka berhenti untuk istirahat..Vano menunjukan kepada Vina, tempat ia menemukan Vina waktu itu. Vina sungguh shock melihat tebing yang begitu tinggi. Dia tidak menyangka dirinya akan seberani itu, menuruni tebing yang sangat tinggi, dan masuk ke hutan belantara yang terlihat sangat gelap, walau siang hari. Vina sungguh merasa beruntung masih bisa selamat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Mom's Chaby
ada sayang ada😆
2022-04-12
1
@InunAnwar
emangnya ada duit?
2022-04-12
1
@arabelle.🎀🎶🎶🎶🌹🌹
kenapa gak vano antar aja sih kerumah vina
kan kassihan lama2 gak dapet perawatan
2021-04-30
1