Kedatangan aku dan Hanum dari rumah sakit disambut begitu hangat oleh orang-orang terdekat. Aku pun tak menyangka jika Abi dan Umi bahkan ke dua adik perempuan ku juga telah berada di kediaman Ayah Surya. Ditambah kedua sahabat dekat Hanum, Leni dan Dewi ku yakin menambah kebahagiaan tersendiri bagi Hanum yang baru pulih dari sakit yang menyerangnya.
Namun ada sosok pria yang ku perhatikan sangat lekat memandang ke arah isteri ku. Entah siapa dirinya aku baru melihatnya hari ini. Ada sebuah rasa aneh yang merambat dihati ku, seperti rasa tak suka melihat Hanum dipandang sedalam itu oleh lelaki yang bukan muhrimnya. Namun aku masih terdiam berusaha mengendalikan perasaan ku. Tak
enak jika aku mempermasalahkannya sekarang. Terlebih aku melihat kondisi Hanum yang masih sangat lemas dan rawan jika terbebani hal-hal yang bisa membuatnya tak nyaman.
Abi menghampiri ku dan memberi ku wejangan untuk bekalku menempuh hidup baru ku sebagai seorang suami dan anak menantu dari keluarga Soebandi, yang gaya hidup dan pemikirannya mungkin sangat berbeda jauh dengan diriku yang berasal dari desa.
"Le, Abi pesen.., seng tenanan anggon mu lek njogo isteri mu. Abi persani Hanum kui cah nurut, bimbingen isteri mu le,
dadio suami seng kenek go panutan isteri lan anak-anak mu mbesuk." (le: panggilan kepada anak laki-laki orang jawa, abi berpesan..yang serius ketika kamu menjaga isteri mu. Abi lihat Hanum itu wanita yang penurut. Bimbinglah isteri mu nak, jadilah suami yang bisa menjadi panutan untuk isteri dan anak-anak mu kelak). Ucap Abi menasehati ku.
"Enggeh Bi, Arsyad insyaalloh inget wejangan Abi. Arsyad nyuwun pandongane Abi mawon kaleh Umi, men Arsyad saged bener lan leres bertanggung jawab kaleh Hanum. ( Iya yah, Arsyad insyaalloh ingat nasehat ayah. Arsyad minta doa dari Abi dan umi saja, agar Arsyad bisa benar - benar bertanggung jawab kepada Hanum)." jawabku pada Abi.
Abi memang tak selues Umi, yang bisa beradaptasi dengan bahasa Indonesia walau bercampur dengan logat Jawa. Abi mungkin jarang berkomunikasi dengan Hanum atau yang lain karena Abi sendiri tak bisa berbicara bahasa Indonesia.
Umi terlihat masih berbincang dengan Hanum. Terlihat sekali jika Umi sangat menyayangi Hanum seperti Umi menyayangi Maesaroh dan Fatimah.
"Mas Sini..! " panggil Hanum ketika ku dapati dirinya di dekati oleh sosok laki-laki yang sedari tadi kupergoki sangat memperhatikan Hanum.
Tanpa berpikir lagi aku melangkah mendekati isteri ku dan entah mengapa ketika Umi beranjak dari sisi Hanum, si laki-laki tersebut justru mendekati Hanum.
"Kenalin Mas, ini Mas Pramuja Adiguna." ucap Hanum memperkenalkan lelaki itu yang ternyata laki-laki yang Hanum tolak lamarannya kala itu.
Yah, aku ingat, Hanum pernah bercerita kepada ku, jika saja aku tak segera datang ke Jakarta untuk melamarnya, Hanum harus bersedia dijodohkan dengan anak patner bisnis Ayahnya yang bernama Pramuja Adiguna. Ternyata dia lah orangnya. Orang yang mungkin masih memiliki rasa cinta untuk Hanum. Bagaimana tidak? Jika saja aku tak hadir di tengah-tengah mereka. Mungkin laki-laki ini lah yang menjadi suami Hanum.
Aku begitu disibukan dengan pikiran ku yang agaknya sudah mulai merasakan apa itu cemburu. Hingga si Pramuja yang mengulurkan tangannya nyaris tak ku balas. Namun Hanum yang tiba-tiba menggenggam tangan kiri ku dan menatap ku, aku tersentak dan buru-buru menyalami uluran tangan Pramuja.
"Pramuja, mantan calon tunangan Hanum." ucap Pramuja dengan begitu tegas.
Aku tersenyum kecil dan menjawab, "Arsyad..".
Belum sempat ku lanjutkan Hanum memotong perkataan ku dengan berkata "Suami pilihan ku, semoga Mas Pram juga secepatnya akan bertemu wanita yang akan menjadi pilihan Mas Pram." terus Hanum yang sangat mengejutkan ku. Hati ku yang panas seolah-olah meleleh mendengar kata-kata isteri ku yang bijak.
"Sampai saat ini diriku masih belum bisa move on dari mu Hanum." jawab lelaki itu dan langsung ngeloyor meninggalkan aku dan juga Hanum. Mungkin dia kesal melihat Hanum lebih memilih ku, yang notabane hanya seorang pemuda desa yang sangatlah sederhana. Jika dilihat dari penampilannya, menurutku dia jauh lebih mapan dan sukses daripada diri ku.
Di depan mata ada lelaki tampan, mapan, sukses dan sepertinya sangat peduli dengan Hanum, tapi mengapa Hanum memilih untuk mengejar cinta ku dan memilih menjadi istri ku? Jodoh memang tak ada yang tahu. Aku sangat bersyukur jodoh ku kini telah bersama ku.
"Ya Alloh, jodohkanlah kami selamanya, peliharalah rasa cinta ini dan sampaikan rumah tangga kami hingga akherat kelak." doa ku seraya menatap isteri ku yang duduk di kursi roda disamping kiri ku.
"Mas..., kata Umi, nanti siang keluarga dari Surabaya akan pulang ke Sekaten." ujar Hanum menengadah menatap ku.
Ku usap kepalanya yang tertutup kain kerudung warna hitam seraya berkata, "iya Sayang, Abi juga tadi sudah bicara sama Mas."
"Kapan Mas akan bawa aku ke Sekaten?"
"Hanum mau jika Mas ajak tinggal di desa?"
tanya ku seraya merendahkan diri dan berlutut mensejajarkan diriku dengan Hanum, ku lakukan itu karena aku ingin menatap mata indah isteri ku itu.
"Mengapa tidak? asal bersama mu terus aku mau, sudah menjadi tugas dan kewajiban ku Mas, untuk selalu ikut dan ada dimana pun Mas meridhoiku." jawab Hanum sangat bijak, membuat ku lebih jatuh cinta lagi kepadanya.
Bagaimana tidak sulit baginya? Rumah kedua orang tuanya sangatlah mewah, disini ada Bik Inah yang membantu pekerjaan rumah, dan juga Mang Yayat sang supir pribadi yang siap mengantarnya kemanapun dirinya pergi. Rumah yang serba di hias dan diisi dengan fasilitas barang mewah dan termutahir bagaikan istana untuk ku yang terbiasa tinggal dirumah yang sederhana.
"Setelah dirimu pulih dan kembali sehat, Mas akan mengajak mu berbulan madu ke suatu tempat." ujar ku padanya dan Hanum pun tersenyum senang mendengarnya.
Ayah dan Bunda sudah menyiapkan acara syukuran pernikahan aku dan putri semata wayangnya nanti malam. Walimatul ursy akan di isi pengajian juga oleh seorang Ustadz setempat untuk membekali rumah tangga ku yang baru memasuki tahap awal.
Beberapa saat kemudian, ketika jam sudah menunjukan pukuk 2 siang, setelah usai berbincang ria dengan para sahabatnya, dan mengantar kepulangan keluarga ku ke Surabaya, Hanum terlihat begitu lelah. Sampai-sampai dirinya tertidur di kursi rodanya. Ayah Bunda sedang pergi ke luar untuk membeli beberapa barang katanya.
Mendapati Hanum yang tertidur aku bermaksud membawanya ke kamar, namun sejenak aku berhenti, lantaran tak tahu dimana letak kamar Hanum. Rumah sebesar ini dimana aku harus mencari kamarnya? tentulah disini banyak kamar pastinya?
"Bii..!" panggilku ke Bik Inah yang melintas di depan ku. Lalu Bik Inah pun mendekat padaku.
"Inggih Den, ada apa?" tanya Bik Inah padaku.
"Bik, mau tanya sedikit yah. Kamar Hanum dimana yah Bik?" tanyaku pada Bibik yang tengah melintas tadi.
"Owalah, Den Mas Arsyad belum tahu kamar Non Hanum rupanya, kamar Non Hanum ada di sebelah kanan atas Mas, tepat di sebelah ruang tengah." jawab Bik Inah dengan menunjuk sebuah kamar yang berada di lantai dua rumah Ayah Surya.
Setelah tahu letak kamar Hanum aku pun menggendong Hanum dan membawanya ke kamar. Betapa terkejutnya aku melihat seisi kamarnya. Sungguh membuatku tercengang.
🌺
🌺
🌺🌺🌺Bersambung..!!🌺🌺🌺
#Bersambung dulu yah guys... eh tapi kira-kira apa sih yang membuat Arsyad terkejut melihat isi kamar Hanum? Mohon terus dukungannya yah...!!😁😙😎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments