"Aku mencintaimu, aku ingin kamu menjadi pemilik hatiku dan menjadi pendampingku. Aku tahu ini sangat membuatmu kaget, aku sangat mencintaimu Laraz. Mau kah kamu menjadi bagian dari hidupku?"
Laraz tidak memberikan reaksi apapun dalam waktu yang cukup lama, wajahnya pun nampak begitu datar bahkan terkesan seperti kebingungan.
Takh!
"Auw!" Laraz mengusap keningnya, karena Kaivan menyentilnya dengan cukup keras.
"Kebiasaan melamun mu itu, dari tadi aku menunggu jawabanmu. Ternyata kamu melamun, ayolah Laraz." Kaivan memelas dengan harapan Laraz segera memberikan jawaban atas apa yang ia katakan sebelumnya.
Lagi-lagi Laraz hanya berdiam diri, karena ia juga bingung harus menjawab hal tersebut bagaimana. Bahkan untuk berada dalam posisi dan situasi saat itu pun tidak pernah terbayangkan dalan hidupnya, untuk menjawab hal seperti itu. Laraz tidak ingin salah dalam mengambil keputusan.
"Laraz." Kaivan memanggil.
"Ah e tuan, iya." Laraz tersadar dari pemikirannya.
Keduanya saling bertatapan satu sama lain, tanpa disadari oleh keduanya jika wajah mereka sudah begitu sangat dekat. Pada akhirnya Laraz tersadar dan segera ia reflek menggigit hidung Kaivan yang mancung.
"Arkh!" Tubuh Kaivan mundur dengan cepat, ia langsung mengusap-usap hidungnya yang terasa sangat perih
"Maaf, tuan." Laraz meringis melihat hidung mancung itu mengeluarkan darah dan ia langsung menghampiri Kaivan.
"Ganas sekali calon istriku ini, apa ini jawaban dan tanda jika kamu mau menjadi pendamping hidupku. Benarkan? Ah, tidak usah dijawab. Pokoknya kamu mau." Tangan Kaivan beralih memegang tangan Laraz dan keduanya berdiri berhadapan.
"Tuan apa-apaan ya, kok memutuskan sendiri. Sebenarnya tuan itu harus membuktikan terlebih dahulu, jika tuan itu tidak terlibat dengan wanita manapun. Setelah itu, saya akan memberikan jawaban atas pertanyaan tuan." Ujar Laraz yang memberontak untuk melepaskan tangan Kaivan dari dirinya.
"Sudah aku bilang, aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan wanita lain. Saat ini, aku mencintai dan menyukaimu Laraz. Hanya kamu." Kaivan mempertegas kembali ucapannya.
"Buktikan, buktikan dulu semua ucapan yang tuan katakan itu. Jika semuanya terbukti, aku akan mempertimbangkan dan menjawab ucapan tuan hari ini." Laraz pun tidak ingin Kaivan semakin memaksakan diri padanya.
Atas semua peristiwa itu, baik Laraz maupun Kaivan pun terlihat banyak diam dan tidak ada perbincangan lagi setelahnya. Bahkan disaat menu hidangan telah tersedia, tidak ada suara apapun selain suara alat yang digunakan untuk menikmati hidangan.
Selesai semuanya, Kaivan menghantarkan Laraz untuk pulang dan ia langsung berpamitan tanpa pembicaraan lainnya.
Terlepas kepulangan Kaivan, Laraz pun terlibat pembicaraan yang cukup serius dengan sang adik dan juga bibi mereka. Dimana Leo meminta Laraz untuk berhenti bekerja pada keluarga Prayoga, dan bi Ana pun mengatakan jika dirinya ingin bekerja kembali pada keluarga tersebut. Entah itu hanya peralihan untuk melepaskan Laraz dari Kaivan atau yang lainnya, namun Leo sangat tegas meminta Laraz untuk berhenti bekerja.
"Kalau kakak berhenti bekerja, lalu kakak harus apa dan kerja dimana lagi Leo? Kamu tahu sendiri kakak tamatan apa, apa bisa memilih pekerjaan." Laraz menghela nafasnya yang sangat terasa berat.
"Nanti akan Leo pikirkan, asalkan kakak berhenti bekerja disana. Dan bibi, tidak usah melanjutkan bekerja disana. Ingat, kesehatan bibi adalah segalanya untuk kami." Leo lalu berpamitan berangkat ke sekolah.
Perbincangan mereka terhenti, Laraz nampak memikirkan semua ucapan yang adiknya katakan. Bukan bermaksud untuk mencari pembelaan diri, namun ia juga tidak menutupi perasaannya yang kini dalam keadaan bimbang.
"Jangan terlalu dipikirkan, Leo mengatakan hal seperti pasti ada alasannya nak. Coba kamu pikirkan lagi baik-baik." Bi Ana pun berlalu dari hadapan Laraz yang masih nampak termenung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments