"Kak, ini." Sebelum berangkat ke sekolahnya, Leo menghampiri Laraz yang juga akan bekerja.
"Apa ini?" Laraz kaget melihat sebuah amplop kecil yang diberikan oleh adiknya.
"Buat bantu-bantu kak, walaupun tidak banyak." Senyum Leo tatkala ia sudah menduga jika sang kakak akan mempertanyakan asal amplop tersebut.
"Kamu kerja?" Tanpa membukanya, Laraz sudah mengetahui isi dari amplop itu.
"Iya kak, tapi itu tidak menganggu jam sekolah. Jangan marah, aku hanya ingin membantu." Leo melihat wajah lesu Laraz yang menghela nafasnya saat mengetahui jika ia bekerja.
Keheningan terjadi, diantara keduanya masih terdiam satu sama lain. Laraz tidak pernah menginginkan hal ini terjadi, ia hanya ingin sang adik fokus untuk belajar.
"Leo hanya ingin membantu nak, jangan mengecewakan hasil keringatnya. Leo, bibi tidak melarangmu bekerja. Hanya saja, ujian sekolah sudah semakin dekat. Ada baiknya untuk fokus terlebih dahulu untuk ujian." Bibi Ana sedikit memberikan nasihat.
"Iya Bu, maaf. "
"Kakak tidak melarangmu, tapi kakak mohon jangan sampai menganggu sekolahmu." Laraz tahu, Leo merasa bertanggung jawab akan kehidupan mereka.
Dimana Leo pernah mengatakan pada Laraz, jika ia malu melihat dirinya harus menjadi tulang punggung untuk keluarga. Sedangkan itu adalah tugasnya seorang laki-laki, hanya saja Laraz tidak mengizinkan leo untuk melakukannya sebelum sekolahnya selesai.
Tanpa ragu, Leo memeluk tubuh kecil Laraz. Karena dirinya lah yang sudah banyak berkorban untuknya selama ini setelah sang bibi, suasana menjadi haru atas hal tersebut.
......................
"Hati-hati, jangan lupa beristirahat." Laraz memberikan nasihat kepada Leo disaat ia menghantarkannya pergi bekerja.
"Iya kak, terima kasih ya." Leo merasa sedikit lega, karena Laraz tidak memarahinya akibat bekerja secara diam-diam.
Laraz tersenyum karena adiknya yang remaja itu sudah bisa berpikir dewasa, walaupun ia sebenarnya tidak ingin jika Leo ikut bekerja.
"Sudah selesai bermesraannya? Kalau mau pilih pacar itu, setidak seumuran. Bukannya seperti ini, anak-anak jaman sekarang." Kaivan muncul secara tiba-tiba.
"Tuan!" Laraz kaget.
"Leo, sebaiknya kamu berangkat sekarang saja. Nanti takutnya terlambat, ayo." Laraz meminta Leo untuk segera pergi, karena ia tidak ingin jika tuannya itu akan salah paham.
Sebelumnya, Leo menatap Kaivan dengan penuh selidik. Dari ucapan yang dikatakannya, Leo bisa menebak jika Kaivan menyangka dirinya dan sang kakak adalah pasangan kekasih.
"Baiklah, terima kasih atas ucapannya. Dan yang harus anda juga tahu, jika om-om seperti anda juga tidak pantas untuk dia." Leo melengos begitu saja kepada Kaivan.
"Apa kamu bilang! Aku bukan om-om! Hei!!" Teriak Kaivan dan ia hendak mengejar Leo yang sudah menjauh namun Laraz menahannya.
"Tuan, maaf. Maaf kan dia, dia tidak bermaksud seperti itu." Laraz takut jika Kaivan akan memecat dirinya karena tersinggung ucapan dari adiknya.
"Dia yang salah, kenapa kamu yang harus meminta maaf?! Kamu itu tidak cocok berpasangan dengan dia, sadar diri!" Bentak Kaivan lalu ia meninggalkan Laraz yang masih terdiam begitu saja.
Dalam rasa lelahnya, Laraz menghela nafasnya yang menandakan jika dirinya merasa bersalah. Karena ucapan Leo, ia berpikiran mungkin saja Kaivan menjadi tidak suka dan akan membuatnya terancam tidak dapat bekerja.
...Om-om? Hahaha, iya juga ya apa yang Leo bilang. Tuan muda mirip om-om yang lagi dalam masa labil....
Terlepas dari kejadian itu, Laraz bekerja seperti biasanya bersama dengan pekerja yang lainnya. Hanya saja, kini Laraz sedikit mendapatkan pekerjaan tambahan jika ada Mecca disana.
Waktu pun berjalan dengan sangat cepat, dimana saat itu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Dan tentunya, pekerjaan Laraz hanya tinggal tiga jam lagi dan ia akan pulang.
"Kak Laraz, bisa temenin nggak?" Mecca menyusul Laraz yang baru saja selesai dengan pekerjaannya.
"Eh non, mau kemana?" Tanya Laraz setelah meletakkan sapu ditangannya.
"Mau cari buku tambahan buat tugas, bisa ya?" Mecca seakan tidak ingin mendengar penolakan dari Laraz.
"Mmm tapi non." Laraz ingin menolak, namun Kara menyenggol lengannya dan membisikkan sesuatu.
"Sudah ikut saja, Raz. Ditolak juga nanti malah berabe." Kara tahu jika Mecca itu akan tantrum jika keinginannya ditolak.
Dalam keraguannya, dari arah belakang keduanya ada sebuah tangan yang menyentuh kepala Laraz. Sehingga membuat gerakan seperti Laraz sedang menganggukkan kepalanya, hal itu membuat Laraz kaget.
"Abang? Kok kepala kak Laraz di begituin sih, tidak sopan ni bang Kai." Mecca pun berdebat dengan Kaivan.
"Kenapa, masalah? Lagian di juga mau, ayo pergi." Kaivan menarik tangan Laraz begitu saja melewati semuanya.
"Loh, eh mau kemana?" Mecca kaget melihat Kaivan membawa Laraz pergi, siapa yang nawarin dan siapa pula yang eksekusi.
"Diam atau ikut? Bawel." Kaivan menyeringai kepada Mecca yang selalu saja membuatnya emosi.
" Ya elah, bilang aja mau sama kak Laraz. Dasar bang Kai sok-sokan jangan image, cus la. Lumayan bisa belanja gratis." Mecca mendahului untuk masuk ke mobil milik abangnya.
Sebelumnya, Laraz begitu kaget dan ia menolehkan wajahnya kepada temannya yang juga kaget akan sikap tuan mereka. Laraz memberikan kode dari wajahnya untuk meminta pertolongan dari teman-temannya, namun teman-temannya menggerakkan bahu mereka sebagai jawaban.
Raut wajah pasrah pun terlihat, Laraz terpaksa mengikuti langkah kaki jenjang milik Kaivan.
"Tuan, bisa lepasin tangannya?" Pinta Laraz.
Seolah menulikan telinganya, Kaivan terus melangkahkan kakinya menuju mobil miliknya. Lalu ia membuka pintu bagian samping dari kemudi, namun terlihat sangat adik telah duduk disana dengan santainya.
"Pundak ke belakang." Kalimat tegas Kaivan.
"What? Biasanya juga didepan." Mecca protes tiba-tiba ia diminta untuk pindah.
"Pindah atau batal?" Ancam Kaivan.
Laraz disana hanya jadi penyimak perdebatan dari dua saudara itu, bahkan mulutnya tidak bisa ia buka walau hanya untuk mengeluh.
Dengan terus mengomel, Mecca akhirnya memenuhi perintah Kaivan.
"Masuk dan duduk, tidak ada protes." Kaivan tahu jika Laraz ingin menolaknya, namun ia sudah terlebih dahulu mengeluarkan kalimatnya.
Berbagai perdebatan yang terjadi, akhirnya mereka pun berangkat menuju salah satu mall yang ada. Tentunya setelah tiba disana, Kaivan langsung menyuruh Mecca berpencar. Dan itu dimanfaatkan Mecca tentunya, ia menggunakan istilah penutup mulut dari Kaivan. Tanpa ragu, Kaivan pun mentransfer sejumlah uang pada adiknya.
"Aku kesana dulu ya, nanti kabarin saja kalau sudah balik. Bye kak Laraz, tenang saja. Bang Kai tidak serem kok, hanya saja nyeremin. Hahaha."
"Mecca!!"
Laraz hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat dua tuannya itu, lalu Laraz bingung harus bagaimana. Karena awalnya, Mecca yang mengajaknya. Tapi tiba-tiba Kaivan hadir dan berakhir seperti ini.
Suasana ramai ditempat tersebut, ditambah dengan rasa kebingungannya. Laraz bagaikan patung yang sedang mengamati keramaian disana, nampak sekali Kaivan sedang memperhatikannya.
"Temani aku menemui klien, ayo." Kaivan meraih tangan kecil itu lalu menggenggamnya dengan sangat lembut, sikap itu membuat detak jantung Laraz semakin tidak karuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments