"Nanti malam, temani aku. Ada undangan sebuah jamuan kecil dari klien, nanti aku akan meminta izin pada bi Ana." Kaivan merebahkan tubuhnya di sofa.
"Tapi tuan, hanya hanya bekerja bukan untuk hal itu." Laraz merasa aneh dengan permintaan itu.
"Kenapa?" Kaivan menolehkan pandangannya Untu menatap ke arah Laraz yang sedang membereskan pekerjaannya.
"Tidak apa-apa, tuan. Oh iya, saya izin mau berbelanja sebentar. Bahan-bahan untuk masak dan juga sebagian keperluan yang lain sudah pada habis, ini catatannya." Laraz menghampiri Kaivan dan menyerahkan selembar kertas yang berisikan beberapa catatan yang akan di beli.
Kaivan menerima kertas tersebut dan membacanya, ternyata cukup banyak yang harus Laraz beli. Semenjak kehadiran Laraz di apartemennya, Kaivan lebih suka menikmati masakan Laras.
"Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan menemanimu." Kaivan beranjak menuju kamarnya.
Tak berapa lama kemudian, Kaivan yang baru saja pulang dari bekerja. Kini sudah berganti, ia mengenakan pakaian santainya. Dan itu membuat Laraz sedikit kagum dengan apa yang ia lihat saat ini, merasa diperhatikan. Kaivan pun menghampiri Laraz.
"Aku tampan kan?" Kaivan berbisik dan membuat lamunan Laraz menghilang.
"Aaa iya, eh tidak om. Aduh, maaf tuan. Tidak tuan." Perkataan Laraz menjadi terbata-bata.
Senyuman bahkan nyaris tertawa itu Kaivan berikan atas sikap Laraz yang sudah membuatnya bahagia, mereka pun akhirnya berangkt menuju ke sebuah pusat perbelanjaan khusus untuk kebutuhan sehari-hari.
Laraz segera menuju ke tempat dimana semua bahan-bahan yang diperlukan berada, sementara itu. Kaivan sambil mendorong troli dan mengikuti Laraz dari arah belakang, siapapun yang melihat mereka akan berpikiran jika keduanya adalah pasangan kekasih ataupun suami istri.
Disaat yang bersamaan, Leo yang saat itu sedang ingin membeli sedikit barang titipan dari teman kerjanya. Melihat ada seorang wanita yang masih menggunakan seragam sekolah, sedang menangis diparkiran sebuah toko buku.
"Hai, kamu kenapa?" Leo menghampirinya.
Wanita itu menaikan wajahnya saat ada orang yang menegurnya, dengan wajah yang sudah memerah. Wanita itu menghapus air matanya, tidak ingin terlihat begitu mengenaskan oleh orang lain.
"Tidak ada apa-apa, jangan sok kenal." Ketusnya ucapan dari wanita tersebut.
"Ya Tuhan, untung saja manusia. Kalau bukan, sudahlah." Leo akan beranjak dari sana, lalu suara tangisan itu kembali terdengar.
Ingin rasanya Leo pergi saja tanpa memperdulikan wanita itu, akan tetapi dirinya menjadi tidak tega. Ia memikirkan sang kakak, bagaimana jika dirinya berada diposisi seperti itu.
"Jangan sok kepedean, aku hanya tidak tega meninggalkan wanita dalam keadaan tidak jelas sepertimu." Leo kini duduk disamping wanita itu, yang ternyata adalah Mecca.
Mendapati Leo yang dengan beraninya duduk disisinya, membuat Mecca menatap pria itu dan menghapus Kembali air mata yang sudah hampir tidak terkendali untuk keluar dari matanya.
"Boleh pinjam ponselnya?" Mecca menatap Leo dengan begitu memelas.
Dengan menampakkan wajah yang seperti sedang menggerutu, Leo menggeluarkan ponsel jadulnya dan lalu memberikannya.
"Ini ponsel?" Tanya Mecca yang tidak percaya jika masih ada yang menggunakan ponsel jadul seperti itu.
"Menurutmu? Kalau tidak mau, ya sudah. Mau di tolong kok milih, aneh." Leo hendak memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
Sebelum benar-benar ponsel itu masuk ke dalam sakunya, Mecca langsung menyambar kembali benda itu dengan cepat.
"Sorry, aku pinjam ya." Tanpa menunggu jawaban dari Leo, Mecca langsung saja menggunakan ponsel tersebut.
Ia menghubungi seseorang, akan tetapi sudah beberapa kali ia mencobanya. Namun tidak ada satu pun yang berhasil, hingga air mata yang sudah berhasil berhenti dan kini kembali mengalir.
"Aish, kenapa menangis lagi? Buat masalah saja, disini tidak ada balon. Diam kenapa sih." Gerutu Leo yang panik saat Mecca menangis.
"Tidak ada yang bisa aku hubungi, jadinya aku harus bagaimana?"Tangisan itu semakin pecah, alhasil membuat Leo harus memutar isi kepalanya untuk menenangkannya.
"Memangnya kamu kenapa? Masih pakai seragam sekolah lagi, coba cerita." Tangisan Mecca membuat Leo penasaran dengan apa yang terjadi.
"Tadi maksudnya, aku mau beli buku sama makanan. Pulang sekolah langsung kesini, tapi tapi." Mecca menangis sesenggukan saat menceritakan semuanya kepada Leo.
"Tapi apa? Ingusnya disedot dulu gih, ngalir kayak air tuh." Leo memberikan handuk kecil miliknya.
Merasa malu mendengar apa yang Leo katakan, Mecca dengan cepat menerima handuk tersebut dan menghapus air yang keluar dari hidungnya.
"Aih, bunyinya jangan begitu juga kali. Jorok bener ni anak." Bahu Leo bergerak merinding.
"Ponsel, dompet aku hilang." Mecca menundukkan wajahnya dan memeluk lututnya.
Mendengar penuturan yang sudah disampaikan, membuat Leo ikut merasakan apa yang Mecca alami. Lalu ia menghela nafas beratnya, terdengar jika helaan nafas itu begitu berbeda.
"Jadi, kamu mau bagaimana? Kalau mau, nanti aku anterin pulang. Walaupun pakai motor tua, jangan minta duit. Karena aku juga lagi mencari dia (duit/uang), gimana?" Leo menawarkan bantuannya agar wanita itu berhenti menangis.
"Siapa juga mau minta uang sama kamu? Dasar sok pede banget, tapi. Boleh deh kalau kamu anterin aku, daripada nanti aku sampai kapan disini. Ayo." Mecca langsung mengiyakan tawaran yang Leo berikan padanya, dalam pikiran Mecca ia ingin segera pulang.
Leo pun kaget saat Mecca menariknya dan berdiri menuju parkiran dimana motor berada, namun saat tiba disana. Leo hanya berdiam diri dan tidak segera menuju motor miliknya, hal itu membuat kening Mecca berkerut.
"Dimana motornya? Cepetan deh, panas ni." Keluh Mecca yang memang pada saat itu, matahari sedang begitu terik.
Tangan Leo bergerak dan menunjukkan mengenai keberadaan motor miliknya, tiba-tiba saja mata Mecca menatap tajam pada arah yang telah ditunjukkan.
"Kenapa tidak bilang sih? Sudah jauh-jauh ke parkiran motor, tapi tahunya motor kamu ada disana. Mana sudah panas-panasan begini, menyebalkan sekali." Rasa geram itu sudah bercampur menjadi satu dengan amarah yang luar biasa.
"Lah, kamu saja tidak nanya. Untuk apa aku mengatakannya kalau tidak ada yang bertanya, lagian kamu asal narik saja. Mau marah? Bodo amat, pulang sendiri sana." Gerutu Leo semakin panjang dan juga membuat isi kepalanya seakan mendidih menghadapi Mecca.
Melihat Leo yang sudah berjalan meninggalkan dirinya sendirian di parkiran motor, dengan segera Mecca menyusulnya. Pada akhirnya mereka pun sepakat, Leo pun menghidupkan mesin motornya. Suara yang teramat bising terdengar, ada perasaan malu yang Mecca rasakan. Namun harus bagaimana lagi, jika dirinya menolak pertolongan Leo. Maka sudah dipastikan dirinya akan begitu lama berada disana, bahkan ia bingung harus bagaimana.
"Motornya berisik banget." Tanpa sadar, Mecca menggerutu saat sepeda motor itu berjalan.
"Suara lu yang lebih berisik dari suara motor ini, maka diem dah. Bagus, sudah ditolong. Ini sudah di tolong, mengomel tidak jelas. Awas lu bersuara lagi, aku turunin beneran lu di tengah jalan." Ketus Leo yang sudah hampir hilang kesabarannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments