Pesona Gadis Kecil, Milik Om-om Tua!
"Apa bibi sudah pulang?" Tanya larazati (Laraz) pada sang adik yang sedang duduk di kursi ruang tamu.
"Belum kak, biasanya jam segini sudah dirumah. Apa aku susulin saja kesana?" Leonardo (Leo) pin menatap ke arah pintu yang masih tertutup dengan rapat.
"Kita tunggu sebentar lagi, jika bibi masih belum pulang. Baru kita susulin kesana." Jawab Laraz yang juga merasa khawatir dengan keadaan bibinya.
Rasa khawatir itu kini semakin besar, dimana biasanya sang bibi Eliana (Ana) sudah tiba dirumah saat menjelang malam. Namun saat malam sudah semakin larut, wanita paruh baya itu belum juga terlihat sama sekali.
Tok tok tok...
Dengan segera, Leo membuka pintu yang terbuat dari perpaduan kayu dan juga seng itu. Lalu terlihatlah wajah yang begitu cukup lelah, membuat kedua saudara itu pun menghela nafas lega.
"Bibi!" Senyuman wanita itu merupakan sumber kebahagiaan bagi keduanya.
"Bibi Ana! Ah, bibi. Kami berdua sangat mencemaskan mi." Laraz segera menghampiri sang bibi dan membantunya berjalan masuk kedalam rumah.
Begitu jelas terlihat kelelahan diwajahnya, sejak awal akan berangkat pergi bekerja. Ana memang sudah merasakan dirinya tidak begitu sehat, akan tetapi ia tetap memaksakan diri atas rasa tanggung jawabnya terhadap pekerjaan.
"Laraz, Leo. Maafkan bibi sudah membuat kalian berdua khawatir, huh. Sepertinya, bibi akan berhenti bekerja. Tubuh bibi rasanya sudah terlalu lelah untuk pekerjaan disana." Bibi menghela nafasnya.
"Kalau itu sih harapan Leo bi, memang sudah saatnya bibi beristirahat saja dirumah." Leo mengerti jika kehidupan mereka tidak bisa terus mengharapkan bibinya untuk bekerja.
"Hanya saja, bibi harus mencari pengganti untuk bekerja disana. Apakah kalian berdua mempunyai teman yang mau bekerja seperti bibi disana?"
"Bibi, biar Laraz saja yang menggantikan bibi disana. Tidak apa-apakan?" Laraz menawarkan dirinya untuk menggantikan posisi sang bibi untuk bekerja.
"Kak!" Leo dan bibinya pun kaget dengan perkataan yang Laraz ucapkan.
"Laraz, apa kamu yakin nak? Masa depan kamu masih sangat panjang nak, impianmu adalah meneruskan sekolah. Jangan merasa terbebani dengan apa yang bibi katakan, mungkin saja nanti ada orang lain yang mau menggantikan bibi disana." Ana tahu jika Laraz menyayanginya.
Impian Laraz sesungguhnya ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu bisa kuliah pada salah satu universitas yang ada. Namun dengan pertimbangan yang ada, Laraz pun memutuskan semuanya dengan pertimbangan yang baik.
"Bibi, Leo. Laraz memilih ini semuanya, bukan karena apa-apa. Selain bisa membantu perekonomian keluarga, Laraz juga bisa menabung terlebih dahulu untuk bisa melanjutkan sekolah lagi." Lara berusaha menyakinkan bibi dan adiknya.
Mereka pun saling bertatapan satu sama lainnya, seakan diantara mereka saling menguatkan. Ana pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda jika ia menyetujui keputusan yang sudah Laraz ambil, begitu pula halnya dengan Leo. Ia hanya bisa mendukung semua keputusan sang kakak, dan ia tahu jika kakaknya sudah memikirkannya dengan cukup baik.
"Baiklah nak, terima kasih." Ana meneteskan air matanya.
Ana terharu dengan apa yang dilakukan oleh kedua keponakannya itu, Laraz dan Leo sudah ia anggap sebagai darah dagingnya sendiri. Walaupun mereka berdua tidak lahir dari rahimnya, melainkan milik sang adik. Dimana sang adik bersama suaminya mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal ditempat kejadian, Ana yang memang belum berkeluarga. Menyatakan dirinya yang akan mengasuh dan merawat kedua keponakannya dari mereka kecil hingga saat ini, walaupun mereka harus hidup dengan keadaan yang cukup sederhana.
.....................
Ditempat yang berbeda...
Suasana di pagi hari akan selalu terasa segar dan juga penuh dengan drama yang tidak akan pernah ada habisnya.
"Bunda!!" Suara teriakan dari salah satu kamar yang ada.
"Oh Tuhan! Huh, kebiasaan ini anak. Mecca, turun!" Balas Maudy (bunda) atas teriakan tersebut.
"Ada apa sayang?" Rasendriya (ayah) menghampiri istrinya yang sedang menata berbagai macam hidangan untuk sarapan pagi.
"Biasa, Yah. Anak perawan kita kambuh tantrumnya, pasti ini ada abangnya. Huh, mereka berdua kalau bertemu dan bersatu selalu saja seperti itu." Bunda menghela nafasnya yang terlihat sangat berat.
Tak lama kemudian, dua manusia yang sedang diperbincangkan menampakkan dirinya. Mereka pun saling mendahului satu sama lain untuk menuju meja makan, tak lupa adu mulut menghiasi perdebatan keduanya.
"Dasar pengangguran! Hush, sana." Ketus Mecca kepada abangnya (Kaivan).
"Heh, bocah sialan. Awas saja, uang bulananmu akan Abang sumbangkan saja." Ancam Kaivan pada Mecca.
"Busset! Ancaman lu mujarab banget bang, dasar bujang lapuk! (Pria yang berusia cukup mapan, namun belum menikah)." Mecca tak kalah ketus menghadapi ancaman Kaivan padanya.
"Eh tu mulut, mulut!" Kaivan pun menjadi geram atas julukan sang adik padanya dengan mengunakan kalimatnya.
Melihat dan mendengar kedua anaknya masih terus berdebat, bahkan mereka pun tidak menghargai keberadaan kedua orangtuanya disana. Membuat sang bunda menjadi emosi, bahkan ayahnya pun tidak bisa menghentikan jika istrinya sudah seperti itu.
"STOP!! Duduk, sarapan dan berangkat sana!" Bunda berteriak dan menghentikan semuanya.
Seketika suasana yang awalnya begitu tegang, langsung berubah hening. Namun tidak untuk ayah, ia hanya menahan tawanya agar tidak meledak.
"Sudah-sudah, ayo sarapan." Ayah menyudahi ketenangan yang ada.
Baik Kaivan dan Mecca pun menuruti perkataan ayahnya, acara sarapan pagi berlangsung sangat hening. Hanya terdengar suara dari peralatan makan yang digunakan, setelah selesai sarapan. Mecca berpamitan pada kedua orangtuanya dan pergi berangkat ke sekolah tanpa menghiraukan keberadaan Kaivan disana.
"Kapan tiba, bang?" Tanya ayah pada putranya.
"Tadi malam, Yah. Kangen sama masakan bunda." Kaivan hanya berani melirik ke arah bundanya.
"Kangen, kangen. Makanya cari pasangan, nikah, punya anak. Biar keadaannya berbalik, bunda yang kangen sama kalian. Ini, anak sama ayah sama saja. Sama-sama sibuk kerja." Celoteh bunda dengan wajahnya yang masam.
Kaivan hanya memutar kedua bola matanya dengan begitu malas, selalu saja yang menjadi pembahasan dikala ia tersudutkan adalah mengenai wanita.
"Benar apa kata bunda, sampai kapan abang mau sendiri? Pekerjaan tidak akan ada habis-habisnya, uang pun sudah banyakan abang dari ayah." Ayah juga ikut mendukung ucapan sang bunda.
"Bunda sama ayah sudah sangat ingin menimang cucu, bang. Usia kami juga sudah sangat matang, wajar saja Mecca menjuluki kamu 'bujang lapuk'. Kalau kamu tidak ada, biar bunda yang cariin. Bagaimana?" Bunda menatap Kaivan dengan sangat tajam.
"Loh! Enak saja, tidak mau. Abang tidak mau, lagian juga nanti kalau sudah ada jodohnya bakalan datang sendiri. Sudah ah, Abang pulang dulu." Kaivan pun berpamitan.
"Tumben pulang, biasanya kerja." Ledek bunda.
"Ampun bunda, abang mau mandi dan ganti pakaian dulu. Masa anak ganteng bunda penampilannya awut-awutan, apa kata dunia." Kaivan membela diri.
"Apa kata dunia, kalau usia 30 belum punya pasangan!" Kali ini, ayah ikut mendukung bunda.
"Ayah!"
"Hahaha." Ayah dan bunda tertawa bersamaan.
❄️❄️❄️
Salam semuanya, ini adalah karya outhor terbaru. Mohon dukungannya ya, dengan memberikan like, vote, hadiah dan juga komentar yang membangun.
Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments