Bab 7.

"Kak, kenapa ya saat aku menghantarkan kakak bekerja. Si om-om itu selalu ada dan juga berbicara ketus sama aku. Aneh tidak?" Leo menceritakan apa yang ia alami saat menghantarkan Laraz bekerja.

"Om-om? Om-om siapa nak?" Bi Ana mengkerutkan keningnya ketika mendengar Leo berbicara.

"Om-om maksud Leo itu adalah tuan muda Kaivan bi, iya ya. Laraz jadi ikutan latah menyebutnya dengan om bi, tapi umurnya memang pantas dipanggil om-om kan?" Dengan polosnya Laraz mengatakan hal itu.

"Bener tuh, dasar om-om aneh." Balas Leo.

Bi Ana hanya menggelengkan kepalanya mendengarkan cerita dari kedua keponakannya itu, bagaimana tidak. Kaivan memang usianya sudah begitu matang untuk seorang pria, wajar saja jika kedua keponakannya itu menyebutnya seperti Om-om.

Untuk melepas rasa penat setelah melewati semua aktivitas pada hari itu, Laraz dan Leo bermaksud untuk berbelanja sedikit makanan ringan sebagai teman minum teh atau pun di saat bersantai.

"Kak, sini." Leo sudah duduk dengan sebuah mie cup yang aromanya begitu lezat.

"Kamu ya, kebiasaan yang selalu saja terjadi. Kenapa pesannya cuma satu? Terus, kakak makan apa?" Laraz menatap Leo yang sedang asyik menyeruput mie tersebut.

"Kakak mau? Tinggal pesan lagi saja, repot bener dak perempuan."

"Apa kamu bilang?! Coba bilang sekali lagi, kakak mau dengar." Kedua mata Laraz sangat tajam menatap Leo yang sengaja memancing emosi sang kakak.

"Loh, beneran kok kak. Kalau kakak mau ya Tinggal pesan lagi, soalnya kalau aku pesanin duluan nanti mienya jadi nggak enak. Mengembang gitu, jangan marah dah." Leo tersenyum kecut saat melihat sang kakak sudah begitu tajam melihatnya.

"Apa kamu bilang, hah! Dasar adik tidak peka, banyak banget alasannya."

Keduanya pun saling meluapkan kekesalannya, terlihat lucu namun jika tahu sebenarnya apa yang terjadi.

Namun tiba-tiba ada sebuah tangan kekar yang menarik Laraz dari sisi Leo saat itu dengan sangat kuat, hal itu membuat kedua kaget dan tercengang.

"Apa-apaan kamu, hah?! Kamu lagi, ayo pulang." Orang itu adalah Kaivan.

Kaivan yang saat itu tahu Laraz pulang dari apartemennya bersama dengan Leo, ia pun merasa khawatir dan mengikutinya secara diam-diam. Disaat melihat kedua pergi dan bersendau gurau bahkan terlihat seperti sedang bertengkar, membuat Kaivan tidak terima jika Laraz diperlakukan seperti itu. Hal itu dikarenakan Kaivan belum mengetahui siapa Leo.

"Kamu ini, apa patut seorang perempuan bersikap seperti itu bersama laki-laki? Ini sudah malam lagi, apa kamu tidak takut kalau terjadi apa-apa." Kaivan mengemudikan mobilnya dengan terus mengomel.

"Tuan, dia itu adalah a..."

"Diam lah! Lain waktu, aku tidak ingin melihat kamu bersama laki-laki itu lagi." Ketus Kaivan.

"Tapi tuan." Lagi-lagi Laraz tidak bisa meneruskan penjelasannya.

"Tapi apa? Bela saja trus laki-laki brondong itu, kamu itu tidak pantas buat dia." Kaivan terus menyudutkan Leo dihadapan Laraz.

"Maksud tuan apa? Leo itu pemikirannya sudah jauh lebih dewasa, bisa saja kan penampilannya seperti itu tapi tidak dengan pemikirannya." Jelas saja Laraz tidak mau sang adik direndahkan seperti itu.

"Masih terus membelanya, aku juga lebih dewasa dari dia. Dan aku juga jauh lebih mapan." Kaivan membanggakan dirinya.

"Apa-apaan ini, kenapa tuan Kaivan sangat tidak menyukai Leo? Benar kata Leo, om-om aneh. Seharusnya aku menyebutnya om tua, bukan tuan." Gumam Laraz yang tidak habis pikir dengan jalan pemikiran kaivan, dan gumaman itu terdengar di telinga Kaivan.

"Apa kamu bilang, om-om aneh, om tua?! Usiaku masih muda, seharusnya kamu senang dan bangga bisa berada di dekatku."

"Eh, bangga dan senang om? Eh salah, maaf maafkan saya tuan." Laraz menutup mulutnya dengan cepat lalu menundukkan wajahnya.

Mendengar Laraz menyebutnya dengan sebutan om-om, Kaivan hanya bisa menghela nafasnya dengan begitu berat.

"Terserah kamu lah." Kaivan mengakhiri perdebatan diantara mereka.

Ketika telah sampai dan anehnya, Laraz mengkerutkan keningnya ketika menyadari jika Kaivan mengetahui dimana rumahnya berada.

Karena masih merasa canggung dan malu, Laraz segera turun dari mobil tersebut dan tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Kaivan. Sebelum mendapatkan jawaban, Laraz sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumahnya.

Rasa kesal tentunya Kaivan rasakan, ia benar-benar tidak habis pikir kenapa ia bisa bersikap seperti itu kepada Laraz. Ia pun merutuki sikap dirinya, tanpa habis pikir ia langsung meninggalkan tempat tersebut.

Pada hari-hari berikutnya, Laraz memilih untuk berangkat sendiri saat akan bekerja. Dirinya tidak mau menambah permasalah yang terjadi diantara dirinya dan juga Kaivan, sebelumnya Laraz merasa lelah jika harus melakukan pekerjaannya yang sama saja tidak bekerja. Namun nasihat dari bi Ana menjadi pertimbangan dirinya, dan juga dimana sang adik masih membutuhkan tanggung jawabnya sebagai kakak.

Datang hingga pulang, tidak ada yang bisa Laraz lakukan. Karena apartemen itu selalu rapi dan tertata, namun anehnya. Sejak terjadinya peristiwa dimana Kaivan dan Leo saat itu. Pekerjaan yang sebelumnya tidak ada, malah menjadi bertumpuk-tumpuk.

"Wah, ini namanya kerja keras. Padahal pakaian yang ada masih cukup bersih dan rapi, tapi ini semuanya ada di keranjang pakaian kotor." Laraz menggelengkan kepalanya.

Selesai dengan permasalahan pakaian, Laraz pun berpindah menuju dapur. Sebelumnya catatan yang ada, jika lapar tinggal pesan saja. Tapi kali ini, ada beberapa catatan menu makanan yang diminta bahkan juga bersama dengan makanan penutup.

Laraz pun melakukannya dengan cepat, karena Kaivan berpesan setiap waktu makan siang tiba. Dirinya akan pulang dan makan disana, maka dari itu. Laras mempercepat pekerjaannya, lalu dilanjutkan dengan sedikit membereskan ruangan disana.

Tepat waktu makan siang tiba, suara pintu terbuka terdengar.

"Selamat datang, om. Ah, tuan." Laraz langsung menutup mulutnya.

"Hah, terserah kamu sajalah. Am om am om, aku lapar." Kaivan melewati Laraz dengan melonggarkan dasi pada keras kemeja yang ia kenakan.

Menatap setiap makanan yang sudah tertata begitu baik di atas meja, membuat perut Kaivan semakin merasakan lapar. Dari aroma dan penampilan masakan tersebut, ternyata begitu menggoda.

"Silahkan tuan, semoga anda menyukainya." Laraz mempersilakan Kaivan untuk mulai menikmati makanan tersebut.

Dengan begitu cekatan, Laraz membantu untuk mengambil dan meletakkan berbagai menu makanan yang ada diatas piring Kaivan. Mendapatkan perlakuan seperti itu, Kaivan sangat terpesona atas sikap Laraz padanya.

"Terima kasih, ayo duduk. Aku tidak bisa makan kalau kamu hanya berdiam diri." Kaivan meminta agar Laraz ikut makan bersamanya.

"Tidak tuan, saja nanti saja. Lagian saat ini belum terasa lapar." Tolak Laraz agar Kaivan tidak tersinggung.

Sekeras atau sekuat apapun Laraz untuk menolaknya, namun apa daya semuanya tidak bisa terjadi.

"Duduk, mataku sakit melihatmu berdiri disana. Aaaak." Kaivan membuka mulutnya dan mengarahkan sendok yang sudah berisikan makanan tepat didepan mulut Laraz.

Laraz menatap Kaivan dengan penuh pertanyaan, disana juga terdapat kebingungan atas sikap Kaivan tersebut. Menolak juga tidak akan bisa membuat Kaivan kapok, Laraz akhirnya hanya bisa pasrah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!