Hingga tak terasa, kini Laraz sudah bekerja selama satu bulan. Ia pun dengan sangat senang melakukan pekerjaannya, bahkan dirinya tidak merasa terbebani oleh hal tersebut.
"Raz, kamu mau ikut belanja nggak?" Kara menawarkan pada Laraz apakah mau ikut atau tidak.
"Hhmm, boleh. Lagian pekerjaan yang lainnya juga sudah selesai, memangnya mau belanja apa?"
"Biasa, belanja bulanan sama titipan dari nyonya. Puput dan Lisa juga ikut, sekalian kita cuci mata dan refreshing. Hehehe." Kara dengan sikap randomnya, membuat Laraz menahan senyumannya.
"Baiklah, aku ikut."
Mereka yang akan pergi berbelanja sudah siap, namun disaat akan pergi. Tiba-tiba saja Mecca datang dan menahan Laraz, hal tersebut membuat semuanya kaget.
"Kak, kak Laraz! Mau kemana?" Mecca berteriak dengan cukup keras.
"Eee mau berbelanja nona, apa ada yang bisa saya bantu?"
"Kakak temenin aku ya, biar kak Kara dan yang lainnya saja yang berbelanja. Ayo kak." Mecca langsung saja menarik tangan Laraz agar mengikutinya.
Dan semuanya yang sudah siap berangkat berbelanja dibuat geleng-geleng kepala, mereka juga tahu kalau sikap dari anak majikannya itu selalu tiba-tiba dan membuat orang lain bingung.
"Mecca! Kenapa Laraz kamu tarik begitu?" Bunda mengerutkan keningnya disaat melihat anaknya.
"Mecca mau ajak kak Laraz ke apartemen bang Kai, Bun." Teriak Mecca dengan terus berjalan.
"Mau ngapain? Memangnya Kaivan ada disana? Bukannya lagi tugas diluar kota?" Kening bunda semakin berkerut.
Alih-alih menjawab pertanyaan bundanya, Mecca melepaskan tangannya dari Laraz. Lalu ia mengambil ponsel dari tas mini yang digunakannya, menunjukkan sesuatu kepada bundanya.
"Apa? Kalian." Bunda menatap tajam ke arah putrinya.
"Ssstthh! Ish bunda, nanti aja kalau mau penjelasan dan itu ceritanya panjang. Mecca pergi dulu ya, jangan lupa uang jajan Mecca ya Bun." Seringai Mecca yang memanfaatkan situasi untuk menambah uang tabungannya.
"Uang jajan? Minta sama abang lah, kan kalian berdua ada misi. Kenapa malah bunda yang tekor (rugi)." Bunda pun memilih bungkam.
"Ya elah, Bun. Sama anak aja pelit, bunda sama abang sama saja." Gerutu Mecca lalu ia mendekati Laraz kembali dan mereka pun segera pergi.
Setibanya di apartemen Kaivan, Mecca langsung saja mengajak Laraz untuk memasak. Tidak ada tanda-tanda jika Kaivan sedang berada dirumah, Mecca yang sebelumnya sangat anti untuk masuk ke dapur. Apalagi sampai memasak sesuatu, itu tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi, hari ini telah merubah segalanya.
"Kak, ini kok pedes banget ya. Mata aku sampai mengalir gini, huhuhu." Mecca yang sedang mengiris bawang merah, tidak tahan akan matanya yang sudah perih.
"Bawang merah memang seperti itu, non. Biar saya saja, nona lebih baik duduk saja ya." Laraz tidak ingin jika majikannya kenapa-kenapa, maka dari itu ia memilih untuk mengambil alih semuanya.
Awalnya Mecca masih mau membantu Laraz, dengan berbagai cara pula Laraz membuat Laraz beristirahat saja. Yang akhirnya dimenangkan oleh Laraz, membuat Mecca ngedumel sampai ketiduran.
Karena asyik dan fokus dengan memasak, membuat Laraz tidak menyadari akan kehadiran seorang yang baru saja keluar dari kamar utama.
"Non, jangan dibantuin lagi ya. Ini juga sudah mau selesai, non Mecca duduk saja." Laraz menyudahi masakan terakhirnya, tanpa menyadari siapa yang ia ajak bicara.
Saat ia akan membawa makanan tersebut untuk dihidangkan, alangkah terkejutnya terdapat sesosok manusia dengan wajahnya yang begitu khas baru bangun tidur.
"Arkh!" Teriak Laraz.
"Ah maaf. Makanannya hampir saja jatuh." Kaivan yang dengan refleks menahan tubuh mungil Laraz agar tidak terjatuh.
Kedua tatapan itu saling beradu satu sama lainnya, membuat detak jantung keduanya juga saling bersautan tidak teratur. Dengan cepat sadar, Laraz segera menarik dirinya dari Kaivan.
"Maafkan saya tuan muda." Laraz menundukkan sebagain tubuhnya dihadapan Kaivan.
"Tidak apa-apa, lain kali kamu harus hati-hati. Keselamatan itu lebih penting." Kaivan dengan bijaksananya memberikan wejangan.
Merasa sudah tidak ada apa-apanya, Laraz segera berlalu dari hadapan Kaivan dan meletakkan makanan penutup itu di atas meja. Lalu ia pun menghampiri Mecca yang rupanya tertidur dengan keadaan televisi yang masih menyala.
"Non, non Mecca." Laraz menggoyangkan bahu Mecca agar ia terbangun.
"Hoam! Kak Laraz, kenapa? Aduh, aku ketiduran ya. Maaf ya kak." Dengan wajah khas bangun tidurnya, Mecca segera memulihkan kesadarannya.
"Non, ada tuan muda." Baik Laraz yang masih merasa jantungnya berdetak cepat.
"Abang ada toh, ish. Dari tadi dicariin nggak ada, ini tiba-tiba ada. Dasar bujang la..."
"Apa?! Mulutnya tidak ada rem lagi, kebiasaan bocah." Geram Kaivan yang selalu saja mendapatkan panggilan aneh itu dari sang adik.
"Makanya, kalau nggak mau dibilangin begitu. Cari pasangan dong, jomblo akut nggak hilang-hilang. Ya kan kak Laraz." Mecca melirik Laraz yang sudah tidak karuan perasaannya.
"Tidak usah aneh-aneh, usia Abang juga masih dibilang mapan. Makanya jangan selalu usil, ni mulut juga jangan dibiasakan ngomong yang aneh-aneh. Nanti balik ke kamu, baru tahu rasa." Kaivan merangkul pundak Mecca dan menahannya agar adiknya itu tidak bisa lari.
"Alasan, buktinya. Lak Laraz saja sudah ada yang punya, masa kalah sama kak Laraz." Ledek Mecca semakin usil.
Lalu tatapan Kaivan beralih kepada orang yang dimaksud, tatapan itu begitu berbeda. Membuat Laraz menjadi semakin takut, bahkan Kaivan beranjak dari sisi Mecca dan beralih pada Laraz yang masih menundukkan wajahnya.
"Apa benar?" Kaivan bertanya pada Laraz.
"Apa tuan?" Dengan suara yang bergetar, Laraz menjawabnya.
"Apa benar, pria yang menjemputmu sepulang bekerja adalah orang terdekatmu?" Kaivan begitu serius mempertanyakannya.
"Eh abang, kak Laraz takut tahu. Ngapain sih nanya-nanya begitu? Kak Laraz, ayo kita makan saja." Ketus Mecca pada Kaivan dan lalu ia menarik Laraz.
Meninggalkan Kaivan yang masih terdiam, Mecca tahu jika abangnya itu memiliki perasaan pada Laraz. Namun sikap tengilnya dapat memanfaatkan situasi yang ada, lagi pula ia tahu jika Laraz orang yang polos. Pasti akan kaget jika berhadapan dengan orang yang merupakan tuannya ditempat bekerja.
"Kak, maafin abang ya. Ayo kita makan saja." Mecca memecah ketegangan di wajah Laraz
"Non mecca makan saja, saya sudah sarapan dan bisa nanti non." Tolak Laraz.
"Ayolah kak, masa aku makan sendiri." Protes Mecca.
Laraz nampak ragu untuk mengikuti ajakan tersebut, namun apa yang terjadi. Kaivan menarik tangannya dan membawa dirinya duduk disamping pria itu, tentunya tanpa ekspresi apapun dari wajah dinginnya Kaivan.
"Makanlah, tolong ambilkan untukku." Kaivan dengan mudahnya mengatakan hal tersebut.
"Hahaha, kak Laraz itu kaget bang. Ayo kak, ambilin saja makanan untuk bang Kai. Nanti dia tantrum, hahaha." Mecca semakin usil.
"Kaivan, abang. Jangan suka mempersingkat namaku." Kaivan melirik tajam pada sang adik.
Perdebatan diantara dua saudara itu, membuat Laraz segera mengambilkan makanan untuk Kaivan. Agar dirinya tidak menjadi fokus untuk diperbincangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Intan Wulandari
mantap
2024-12-23
1
Sandy
Gak nyesel baca cerita ini, recommended banget!
2024-08-16
1