Kenneth Wanjiru, bergabung dengan Silver Fox Game, Inc. tiga tahun yang lalu, setelah memenangkan sebuah perjanjian bisnis baru yang sedang dikembangkan Gandawasa.
Karena keberhasilannya, ia langsung diberi posisi sebagai wakil presiden.
Pria Amerika berdarah Jepang itu semula adalah managing partner -mitra pengelola di kantor pengacara Atsumi & Wanjiru Advocates, LLP yang ditunjuk Gandawasa untuk menangani perjanjian-perjanjian bisnis, juga memainkan peran penting dalam mengarahkan pertumbuhan perusahaannya menjadi salah satu korporasi terkemuka di California saat ini.
Ketika Max mendatangi kantor lamanya untuk mendapatkan data dan latar belakangnya, ia mendapati bahwa kantor pengacara itu telah diubah namanya menjadi Atsumi & Associate, PC.
“Itu diubah karena Wanjiru sudah bukan lagi mitra di perusahaan pengacara ini, sejak menjadi wakil presiden di perusahaan baru Tuan Natadharma.” Kaito Atsumi menjelaskan, setelah terdiam karena terkejut atas kedatangan seorang detektif dari Investigasi Strategis.
Sebagai warga San Francisco dan sebagai pengacara, meskipun pengacara bisnis, Kaito sangat paham bahwa salah satu yang ditangani Investigasi Strategis adalah kejahatan yang berkaitan dengan pembunuhan.
Tentu saja, ia langsung menghubungkan dengan kematian pemilik perusahaan dimana Kenneth bekerja, yang memenuhi pemberitaan di surat kabar beberapa waktu lalu.
“Apakah Kenneth yang membunuhnya?” Kaito bertanya dengan syok.
“Bisakah Anda menceritakan bagaimana karakter Tuan Wanjiru?” tanya Max, alih-alih menjawab pertanyaannya.
“Kenneth pendiam, serius, tidak banyak bicara, jarang bercanda tapi tidak mudah marah. Karena itu, jika dia sampai nekat membunuh, pasti itu sudah jauh melampaui batas kesabarannya. Kenneth sangat mudah menyerap ilmu. Mempelajari kasus dan menyusun strategi adalah hobi baginya.” Kaito menjelaskan.
“Aku memang tahu bahwa Kenneth dipecat dengan tidak hormat sekitar enam bulan yang lalu, tapi membunuh? Aku benar-benar tidak terpikir dia bisa melakukannya.” Kaito geleng-geleng kepala.
“Kami masih mengumpulkan bukti-bukti.” Max tidak mengiyakan, juga tidak menyangkal. “Apakah kalian masih menyimpan data-data Tuan Wanjiru?”
Kaito mengangguk. “Jika memang dibutuhkan, kami masih menyimpan data-datanya. Riwayat pendidikan dan alamat rumahnya. Tapi aku tidak yakin dia masih tinggal di sana. Itu alamat ketika dia pertama kali bergabung di sini sekitar sepuluh tahun yang lalu.”
“Tidak masalah,” ujar Max. “Informasi apa pun, akan kami gunakan untuk menelusuri keberadaannya.”
Kaito menelepon Manajer Personalia agar mengirimkan arsip tentang Kenneth ke emailnya, kemudian mencetaknya untuk Max.
“Semoga bukan dia. Dia adalah seseorang yang memiliki otak cemerlang. Sayang sekali jika dia menyia-nyiakan isi kepalanya hanya karena dendam dipecat dengan tidak hormat. Seharusnya dia bisa melupakan dan membalas dengan cara lain. Dengan kesuksesan yang lebih besar, bukan dengan menghancurkan masa depannya.” Ujar Kaito sambil menyerahkan berkas yang telah dicetak ke tangan Max.
“Jika masih ada yang bisa kami bantu, silakan menelepon atau datang kembali, Inspektur.” Kaito menambahkan, seraya membuka pintu dan mempersilakan Max ke luar.
Max melangkah ke luar dari kantor pengacara itu, membawa sebundel berkas Kenneth di tangannya.
Dengan tidak sabar, Max langsung membuka berkas itu begitu duduk di dalam mobilnya, dan membaca lembar demi lembar.
Kenneth Wanjiru berusia tiga puluh satu ketika menjadi mitra pengelola di kantor pengacara Atsumi & Wanjiru Advocates LLP, setelah tujuh tahun bergabung sebagai associate -rekan.
Pria yang berperawakan kurus dan mengenakan kacamata minus itu, adalah lulusan fakultas hukum di Universitas Yale, sekolah hukum ranking pertama di Amerika Serikat, dengan GPA 3.98. Bukan hanya itu, Kenneth masih melanjutkan dengan program master di Universitas Stanford, salah satu sekolah hukum paling kompetitif di Amerika Serikat.
Kemudian dia diangkat sebagai wakil presiden di perusahaan Gandawasa tiga tahun yang lalu. Berarti usianya sekarang tiga puluh empat. Dia belum menikah.
Jelas, Kenneth bukan orang sembarangan. Mungkin kecerdasannya hampir setara dengan Lily. Jika melihat tampangnya, dia memang terlihat seperti kutu buku, sebagaimana orang pintar pada umumnya.
Pantas saja, cara membunuhnya begitu rumit. Itu bukan hanya membutuhkan pemikiran yang mendalam, melainkan juga riset dan percobaan-percobaan.
***
Sementara itu di Washington DC.
Andrea yang telah mendapatkan foto Kenneth dari Max, langsung berbalik arah kembali ke kantor MPD, setengah berlari mencari Brian Eldridge.
"Eldridge," Andrea berseru begitu tiba di kantor detektif MPD itu. "Aku sudah mendapatkan wajah si pembunuh."
"Wah, begitu cepat?" Brian terkejut. "Padahal aku sudah berpikir kita akan sangat sulit menangkapnya. Dia sangat licin, sampai terpikir memecahkan piring."
Andrea terkekeh, "Tidak ada kejahatan yang sempurna." Ia mengacungkan ponselnya, "Anderson baru mengirimkan fotonya padaku. Tuhan sedang berpihak pada kita. Ada korban kedua, sebetulnya korban yang bukan korban, karena itu kecelakaan yang akhirnya mengungkapkan senjata si pembunuh."
"Apa yang dia gunakan?" Brian tampak penasaran.
"Teh mahal yang biasa diminum miliuner itu, diminum oleh wakil presidennya dan wakil presidennya itu masuk rumah sakit juga. Anderson meminta dr. Smith mengambil sampel darahnya untuk dikirim ke lab, dan ternyata dia juga keracunan thallium."
"Kita harus mulai mencari wajahnya di antara para pelayan kontrak," ujar Andrea. "Aku sudah mengirimkan fotonya ke alamat emailmu, silakan dilihat."
Brian mendekat ke komputer untuk mencocokkan foto yang dikirim Andrea, dengan dua ratus foto pelayan kontrak di perjamuan presiden.
"Oh, ternyata wajah Asia. Ini menguntungkan bagi kita, karena mempersempit pilihan." Brian terdengar senang.
"Apa kataku, Tuhan sedang berpihak pada kita." Andrea menepuk pundak Brian.
Mereka duduk berdampingan dan menyaring dua ratus foto itu, menyingkirkan yang berkulit putih dan hitam, sehingga hanya menyisakan sekitar lima puluh foto berwajah Asia. Lalu menyusutkan lagi menjadi dua puluh delapan, setelah menyingkirkan yang berjenis kelamin perempuan.
Setelah mengamati dengan saksama dua puluh delapan foto itu, mereka menemukan kemiripan pada salah satunya. Memang ada sedikit perbedaan, yaitu sang pelayan kontrak tidak mengenakan kacamata minus dan berkumis, model rambutnya pun berbeda.
Demi memastikan profil wajahnya persis sama, Brian memanggil petugas dari tim digital untuk memroses kedua foto itu.
Setelah menunggu sambil menahan napas, mereka mendapat kepastian, kedua foto itu adalah orang yang sama. Brian dan Andrea saling memberi high five -tos.
Dengan wajah berseri-seri, keduanya membaca keterangan di bawah nama sang pelayan kontrak.
Nama: Evan Toshiro.
Usia: dua puluh dua tahun..
Status: mahasiswa tahun terakhir Program Manajemen Perhotelan dan Pariwisata Universitas District Columbia, Washington DC.
Tentu saja semua data itu palsu.
Namun, setidaknya mereka tahu bahwa Kenneth benar-benar pernah menyusup ke perjamuan presiden. Dan sangat yakin, dia juga pelayan yang pura-pura tersandung dan memecahkan piring, untuk melenyapkan barang bukti.
Pertanyaannya, jika dia telah membubuhkan racun ke dalam teh dengan sangat sabar dan hati-hati, buat apa masih susah-susah menyusup ke perjamuan presiden yang keamanannya berlapis-lapis, demi menambahkan racun tetrodotoxin, dengan risiko tertangkap?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
adi_nata
tapi Wanjiru agak ceroboh karena memberikan teh yang mengandung racun secara langsung. walau ga langsung meninggal tapi tetap bisa dilacak dengan mudah teh itu dari siapa ?
2024-12-29
0
adi_nata
apa staf kepresidenan yang merekrut ga mengkonfirmasi dulu ke pihak Universitas tentang mahasiswa yang bernama Evan ini ? kok bisa sampai kecolongan ?
2024-12-29
0
Reksa Nanta
tapi kenapa ya aku tidak yakin kalau Kenneth pelakunya. aku merasa dia hanya dijadikan kambing hitam.
2024-10-13
0