Pagi hari Lily selesai mandi dan sedang mengeringkan rambut dengan hair dryer, ketika telepon kamar berdering.
Ia menghentikan kegiatannya dan berjalan ke meja nakas di samping tempat tidur dimana telepon terletak.
Suara staf Front Office hotel menyapa pendengarannya, “Selamat pagi, Nona Kanissa. Ada yang mencari Anda, Tuan Natadharma.”
“Baik, silakan sambungkan,” jawab Lily.
“Selamat pagi, teman setanah air, apakah aku mengganggu tidurmu?” Suara Gandawasa terdengar cerah, secerah pagi ini dimana langit mendung telah diusir cahaya mentari. “Untung aku ingat nama lengkap kamu, jadi bisa meminta FO untuk menghubungi kamar kamu. Aku tunggu di lobby ya. Gak perlu buru-buru, take your time.”
Ah, Lily tidak mengira Gandawasa akan sedisiplin ini. Ia meraih ponselnya untuk memeriksa waktu. Ternyata sudah jam delapan!
Ia langsung malu sendiri. Ia yang kesiangan, malah menuduh Gandawasa yang kepagian. Lily cepat-cepat menyelesaikan kegiatannya yang tertunda.
Jika bukan musim dingin, ia akan membiarkan rambutnya yang panjang kering alami oleh angin. Tetapi keluar rumah dengan rambut basah di hawa sedingin ini, meskipun matahari terang benderang, bukan ide bagus. Bisa-bisa ia masuk angin.
Lily memilih dengan cepat pakaian di antara yang tergantung di dalam lemari hotel, lalu melengkapi dengan segala penghangat, syal, topi baret, sarung tangan, earmuff, dan sepatu bot.
Setelah membubuhkan bedak tipis dan mengolesi bibirnya dengan lip tint warna peach agar bibirnya tidak kering, ia juga menyemprotkan parfum. Lily melihat penampilannya sekali lagi di cermin.
Sempurna. Ia tampak segar dan alami. Tidak berlebihan. Ia meraih tasnya dan melenggang ke pintu, lalu turun ke lobby untuk menemui Gandawasa.
Ia melihat lelaki itu sedang duduk bertumpang kaki di salah satu sofa. Lily mendekat dan Gandawasa menoleh. Matanya tampak agak melebar melihat penampilan Lily.
Wanita muda itu bahkan lebih memesona di pagi hari. Wajahnya sangat imut dan polos, ketika tersenyum bahkan ada lesung pipit kecil di bawah bibir di sudut dagunya, yang tidak dilihat Gandawasa kemarin malam.
“Pagi Lily, you look fabulous, sudah sarapan?” tanya Gandawasa.
Lily menggeleng. “Aku bangun kesiangan.”
“Tidak apa-apa, itu artinya tidur kamu nyenyak semalam. Hawa dingin memang enaknya bergelung di bawah selimut,” Gandawasa tertawa kecil, penuh pengertian. “MOMA juga belum buka jam segini. Silakan kalau kamu mau sarapan dulu, aku temani minum.”
Hotel biasa di-booking bersamaan dengan makan pagi, Gandawasa sendiri sudah sarapan di hotelnya sendiri tadi.
Mereka duduk berhadapan di cafe hotel itu, Lily menikmati sarapan, sementara Gandawasa menyeruput kopinya.
“Kamu ada keperluan apa di New York?” Lily membuka pembicaraan, “Apakah urusan kamu gak keganggu kalau menemani aku?”
“Santai saja. Aku punya banyak waktu.” Ujar Gandawasa.
Sebenarnya urusannya sudah selesai, dan sudah waktunya ia kembali ke California. Tetapi karena Lily mengatakan akan tinggal empat hari di sini, Gandawasa menunda kepulangannya dan menjadwal ulang pesawat jet pribadinya.
Ia telah memutuskan akan menemani Lily selama empat hari ini, setiap hari. Ia tidak ingin melepaskan kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, anggap saja penjajakan awal. Dalam sebuah bisnis, perlu survei untuk mengetahui apakah ia tertarik menanamkan modal. Apalagi ini untuk teman hidup.
Usianya sudah hampir empat puluh, bukan waktunya lagi untuk main-main. Jika ada kesempatan, harus digenggam seerat-eratnya hingga dapat. Tetapi jika tidak ada peluang, lebih baik dihentikan segera. Tidak ada gunanya buang-buang waktu.
Gandawasa bahkan bersedia berjalan kaki. Selain New York memang lebih asyik ditelusuri dengan berjalan kaki, ia juga menikmati perasaan berdampingan dan dekat dengan gadis itu.
Ia mendampingi Lily menikmati karya-karya seni modern seharian di MOMA. Terkadang Lily berhenti di depan sebuah lukisan, menelengkan kepala ke kiri ke kanan dengan kening mengernyit, tampak berusaha memahami lukisan itu.
Terkadang Lily terpekik kegirangan ketika melihat pernak-pernik lucu berwarna-warni, seperti anak sekolah yang baru mendapat hadiah yang sudah lama diidam-idamkan.
Gandawasa mengamati semua reaksi Lily sambil tersenyum-senyum, seperti seorang ayah yang bangga.
“Hari masih sore. Sebentar lagi sunset. Bagaimana kalau sambil mendekati hotel, kita mampir ke Winter Village Bryant Park, kamu bisa ice skating?” Gandawasa mengusulkan setelah mereka selesai mengunjungi semua ruangan di MOMA.
Mata Lily berbinar. “Mau mau… aku mau banget seluncur es.”
Gandawasa tertawa, lalu menambahkan. “Nanti di sana kita bisa sekalian makan malam dan minum coklat panas di Igloos.”
Lily mengangguk penuh semangat.
Dan ke sanalah mereka menuju.
Bryant Park adalah lahan terbuka yang terletak di tengah gedung-gedung pencakar langit. Setiap musim dingin tamannya dialihfungsikan menjadi gelanggang seluncur es.
Saat ini tempat itu cukup ramai, dipadati orang-orang baik lokal maupun turis. Bryant Park memang salah satu destinasi wajib kunjung di musim dingin, tempat paling terkenal untuk seluncur es di NYC.
Orang-orang dengan warna-warni kostum musim dingin lalu lalang di gelanggang.
Lily dan Gandawasa saling kejar mengejar di gelanggang seluncur es, tertawa-tawa, dan sesekali ketika satu orang berhasil menyusul, tangan mereka bersentuhan. Padatnya gelanggang juga membuat tubuh mereka sesekali saling bertumbukan.
Puas berputar-putar, perut mereka terasa lapar. Gandawasa mengajak Lily duduk menghangatkan diri di Igloos, kafe yang dibuat berbentuk igloo, terbuat dari bahan transparan, hanya muat maksimal empat orang.
Igloo dilengkapi penghangat dan lampu-lampu kecil berwarna kuning, memberi kesan romantis. Meskipun mereka bukan pasangan, mau tidak mau suasana syahdu melingkupi ruangan itu.
Ketika coklat panas disajikan, Lily segera meraihnya, mendekatkan cangkir ke bibirnya. Aroma coklat memasuki penciumannya, coklat selembut kapas menyentuh lidahnya. Rasa manis gurih membuat matanya terpejam. Lily mendesah dengan nikmat.
Semua gerak-geriknya, tidak lepas dari pengamatan Gandawasa.
Lily entah memang melakukannya secara alami, atau sedang berusaha menggodanya. Tetapi semuanya membuat Gandawasa terpesona. Ia sungguh tidak ingin melepaskan gadis ini.
Malam itu mereka berpisah di depan lobby hotel Lily, dengan janji untuk kembali bertemu esok harinya.
Esok harinya, mereka berkunjung ke Bleecker Street. Sebuah jalan yang menghubungkan Greenwich Village di Manhattan dengan East Village.
Bleecker Street kaya akan sejarah yang masih hidup hingga kini. Berbagai toko elegan, bar dan klub malam yang trendi, butik bohemian, dan toko merk kelas atas, berjajar memenuhi jalan itu.
Tanpa ragu Lily menyeret tangan Gandawasa memasuki Magnolia Cupcakes, yang dikunjungi Carrie Bradshaw dan teman-temannya dari serial TV terkenal “Sex And The City”.
Menjelang sore, mobil telah disewa Gandawasa datang menjemput. Mobil itu akan membawa mereka ke Essex County Airport di New Jersey, tempat berkumpul para turis yang ingin melihat keseluruhan Manhattan dari udara dengan helikopter.
Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam.
Pilot helikopter telah menunggu mereka, siap menghidupkan mesin. Sebenarnya helikopter ini untuk empat orang, tetapi Gandawasa telah membayar hanya untuk mereka, ia tidak ingin ada orang lain yang hadir. Ia hanya ingin menikmati waktu berdua dengan Lily.
Ketika helikopter mulai naik, matahari meluncur turun. Semburat jingga menyebar di seantero langit, membuat awan seolah membara. Gedung-gedung pencakar langit Manhattan diselimuti warna kemerahan, beberapa dengan jendela-jendela kaca memantulkan cahaya itu.
Itu pemandangan yang spektakuler.
Gandawasa menoleh pada Lily. Warna kemerahan juga terpantul di wajahnya yang imut. Bibir Lily yang lembap dan berwarna peach agak terbuka ketika matanya menatap takjub pada paparan hutan beton itu.
Jantung Gandawasa berdegup kencang. Ia nyaris terdorong untuk mendekat dan mengecup bibir itu, tetapi tahu bahwa itu bukan tindakan yang tepat. Mereka baru kenal tiga hari. Ini belum waktunya.
Helikopter berputar, lalu agak merendah, dan Lily terpekik senang ketika sang Lady Liberty tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Lily melambaikan tangan dan berseru, seolah itu manusia dan bukan patung raksasa.
“Hai… Lady Liberty, aku Lily dari Indonesia, dan ini temanku Gandawasa. Kamu apa gak cape pegang buku dan angkat obor terus?”
Lalu tawanya yang renyah pecah, diikuti tawa Gandawasa, bahkan sang pilot ikut tersenyum.
Lily menatap Gandawasa dengan mata berbinar, bibirnya bergerak dan berucap lirih, “Terima kasih untuk dua hari ini. Aku gak akan melupakan semua yang kita lakukan bersama.”
Gandawasa balas tersenyum. “Anytime. Aku yang senang boleh menemani kamu. Aku senang melihat kamu tertawa.”
Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat. Membiarkan percik-percik listrik beterbangan.
“Lily…” Gandawasa berkata kemudian, “Apakah kamu bersedia tetap bertemu denganku setelah pulang ke San Francisco nanti?”
Lily tertegun, sebelum balik bertanya tanpa menjawab, “Apakah ini ajakan kencan?”
“Hanya jika kamu tidak keberatan,” ujar Gandawasa.
“Jawabannya hanya ya atau tidak?” Tanya Lily lagi.
“Hm…”
“Akan aku jawab sebelum kita berpisah di depan hotel nanti.”
“Baiklah, jangan merasa tertekan. Aku sadar perbedaan usia kita sangat banyak.” Gandawasa berusaha menekan harapan, jangan sampai itu timbul ke permukaan padahal di atas telah siap satu palu untuk menenggelamkannya.
Turun dari helikopter, mereka memasuki mobil untuk kembali ke NYC. Kali ini mereka tidak berjalan kaki, tetapi ketika mobil berhenti, Gandawasa tetap mengantarkan Lily hingga di pintu lobby.
“Selamat beristirahat Aku sangat menikmati waktu kebersamaan kita. Terima kasih.” Gandawasa mengucapkan salam perpisahan, siap berbalik kembali ke mobil.
“Um… Ganda…” Lily memanggilnya, membuat Gandawasa urung berbalik dan kembali menghadapnya.
“Jawabannya bukan tidak.” Lily hampir berbisik, pipinya merona.
Namun, Gandawasa mendengarnya. Sangat jelas.
Dan senyumnya terkembang. Sangat lebar.
Gandawasa meraih kedua tangan gadis itu, dan meremasnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
adi_nata
di hotel, free breakfast biasanya disediakan di restaurant utamanya, bukan di cafenya.
2024-12-28
0
adi_nata
free breakfast untuk dua orang kecuali kamar dipesan tanpa breakfast alias room only.
2024-12-28
0
adi_nata
rambutnya bisa membeku lalu patah.
2024-12-28
0