“Aku memiliki reasonable doubt -keraguan yang wajar. Belum ada bukti yang jelas.”
Max dan Andrea masih duduk berhadapan di kantor Max. Berdiskusi tentang kasus yang sedang mereka tangani, yang belum juga berkembang ke arah yang signifikan.
“Keraguan yang wajar tidak boleh berdasarkan simpati,” ujar Andrea.
“Juga tidak boleh berdasarkan prasangka,” balas Max. “Kau menuduhku bersimpati, tapi kau sudah berprasangka.”
Andrea terdiam.
“Presumption of Innocence, Davis.” Lanjut Max, “Dan ingat, no motive no crime -Tidak ada motif, tidak ada kejahatan. Semua tindakan ada motifnya. Bahkan yang sepele seperti membunuh nyamuk, motifnya adalah karena kita tidak ingin digigit dan menjadi gatal, atau tidak ingin nyamuk itu terus berdengung di dekat telinga. Apalagi membunuh manusia, pasti ada sesuatu yang mendasarinya.”
Andrea semakin bungkam. Harus diakui, perkataan Max ada benarnya.
Namun, entah mengapa ia tetap tidak dapat mengenyahkan perasaan, bahwa Lily tidaklah setidak berdosa itu. Tetapi agar tidak memperpanjang perdebatan, ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Tidak dapat dipungkiri, Andrea benar-benar khawatir, kali ini pengamatan Max tidak akan setajam biasanya. Dalam hati ia berpikir, atasannya ini telah dikaburkan penilaiannya.
Memang baru pertama kali ini mereka menemui orang yang terlibat kasus pembunuhan, secantik, seberkelas dan seanggun Lily. Andrea tidak menyalahkan rasa ketertarikan Max. Apalagi ia tahu rekannya itu sudah lama tidak berkencan dengan wanita, bahkan hanya bercinta satu malam pun tidak.
Sudah bertahun-tahun mereka bekerja bersama. Selain secara profesional, mereka juga berteman di luar pekerjaan, sehingga Andrea sangat mengenal Max. Mereka juga saling mengenal pasangan kencan masing-masing, sering double date -kencan ganda di akhir pekan jika sedang tidak ada kasus.
Andrea bisa melihat bagaimana cara Max memandang Lily. Itu sorot yang dipenuhi hasrat, meskipun atasannya itu berusaha menekannya, dan janda miliuner itu tidak menyadarinya.
Tetapi tertarik pada orang yang bisa menjadi terduga kasus pembunuhan, apalagi menginginkannya, itu melanggar etika.
Karena itulah Andrea bertekad akan terus menyelidiki wanita itu. Latar belakangnya sebelum menikah dengan Gandawasa, telah ia sampaikan kepada Max.
Lily memang tampak bersih. Wanita itu sepertinya tidak memiliki motif, mungkin dia benar-benar jatuh cinta pada lelaki yang hampir dua kali lipat umurnya. Meskipun Andrea yakin, uang tetap menjadi pertimbangan utama.
Pertimbangan seorang wanita untuk menerima cinta seorang lelaki itu hanya didasarkan pada dua hal: rupa, atau isi dompetnya.
Jika rupa lelaki itu tampan, maka dompetnya kosong pun seorang wanita mungkin mau menerimanya. Ini jika wanita itu bodoh.
Jika rupa lelaki itu buruk, maka pertimbangannya pasti isi dompetnya. Itu jika sang wanita mempunyai otak. Dan Lily, jelas sangat pintar.
Jika Gandawasa tidak kaya raya, misalnya, jika ia hanya seorang staf IT di sebuah perusahaan, dengan penampilannya yang seperti itu, tidak mungkin Lily menerimanya.
Ayolah, jangan munafik, tidak ada yang tidak menyukai uang. Andrea mendecih dalam hati.
Bagaimana dengan hati? Atau permainannya di ranjang? Itu hanya bonus, sebab itu baru bisa diketahui setelah bersama sekian lama. Apalagi hati bisa berubah. Dan ranjang, sepanas apa pun, akan mendingin seiring waktu.
Ia juga menyelidiki kehidupan pasangan miliuner itu setelah pernikahan. Untuk melihat kemungkinan bau amis yang mencurigakan, sekecil apa pun.
Karena jika yang dicari adalah motif, sebenarnya itu mudah. Motif pembunuhan, jika bukan uang, adalah cinta.
Uang dan cinta adalah akar kejahatan. Itu bisa berkembang ke arah keserakahan, kecemburuan, kemarahan, dendam.
Kecuali, pembunuhnya adalah psikopat gila seperti para pembunuh berantai yang tidak mendasarkan tindakannya pada uang atau cinta. Mereka hanya membunuh untuk eksistensi diri, hanya mencari pengakuan dan kepuasan. Bahkan korbannya acapkali acak.
"Bagaimana dengan kehidupan mereka setelah pernikahan?" Tanya Max, membuyarkan diskusi tunggal yang berlangsung di benak Andrea.
“Aku juga sudah mendapatkannya. Tapi tidak banyak.”
“Aku siap mendengar.” Max menatapnya dengan sorot ingin tahu.
“Sepertinya mereka sangat harmonis. Jarang ada pemberitaan aneh-aneh. Tapi aku menemukan satu skandal.” Ujar Andrea.
“Skandal?” Max mengerutkan kening.
“Ya. Rupanya Gandawasa pernah dituntut seorang wanita yang menuduh dia telah melecehkannya.” Andrea menggulir tabletnya untuk menunjukkan berita yang dimaksud.
“Hm… itu sangat di luar karakternya yang beberapa hari ini kita dengar, bahwa dia seperti sosok setengah dewa.” Max merenung, menerima tablet yang disodorkan Andrea, “Bagaimana akhir skandal itu?”
“Damai.” Jawab Andrea singkat.
Max yang sedang menunduk baru akan membaca halaman terbuka di tablet, langsung mengangkat kepala, alisnya naik.
“Baca sendiri,” Andrea menunjuk tabletnya yang ada di tangan Max.
Max membaca sekilas, kemudian bergumam menyimpulkan.
“Tuduhan itu dicabut. Wanita yang menuduh mengatakan bahwa itu hanya salah paham? Setelah dengan bersemangat menuduhnya? Apakah ada uang yang dilibatkan di sini? Gandawasa membayar wanita itu untuk mencabut tuntutan?” Max bertanya-tanya sendiri.
“Aku tidak tahu. Tidak ada pemberitaan lebih lanjut, hanya itu berita yang kutemukan tentang tuduhan itu.” Ujar Andrea.
“Bukankah ini agak aneh? Apa motif wanita itu?” Max mengernyit.
Lagi-lagi motif. Setiap tindakan memang seharusnya ada motif yang melatarbelakanginya.
“Bagaimana tanggapan Lily? Apakah ada media yang meliput atau bertanya padanya?”
“Mungkin banyak yang bertanya, tetapi tidak ada yang menaikkannya menjadi berita. Satu-satunya jawaban mereka atas tuduhan itu adalah kemunculan mereka berdua di pernikahan Putri Eugenie, putri sepupu Pangeran Charles di London. Mereka tampil mesra, bahkan berpose untuk media. Itu hal yang jarang terjadi, dan telah menjadi jawaban telak yang mematahkan tuduhan skandal itu.” Andrea menjelaskan, lalu menunjukkan foto mereka yang ada di media.
Dalam foto itu, Gandawasa berpegangan tangan dengan Lily di taman istana, di antara para undangan lain di latar belakang. Gandawasa mengenakan jas tuksedo berwarna abu-abu tua.
Sementara Lily memakai gaun selutut berwarna kuning dilengkapi fascinator, topi yang dipadukan dengan bulu dan dipakai agak miring di kepala, yang biasadipakai para wanita saat menghadiri acara resmi dan formal di Inggris, misalnya ke pernikahan atau ke gereja.
“Ada baiknya aku bertanya langsung pada Lily.” Max memandang sekilas foto pasangan yang tersenyum itu, dan mengembalikan tablet kepada Andrea. "Sebab skandal itu bisa menjadi salah satu motif."
“Bagaimana dengan surat izin untuk menghubungi Gedung Putih, apakah kau sudah mendapatkannya?” Tanya Max kemudian, ingat bahwa mereka masih harus menyelidiki tentang oktopus beracun itu.
“Sudah, baru tadi pagi. Aku akan berangkat ke DC besok. Bagaimana denganmu, Max? Apa yang akan kau selidiki?”
“Aku akan ke kantor Gandawasa untuk menanyai orang-orang di sana.”
Mereka membagi tugas untuk efisiensi waktu dan biaya, sebab San Francisco Police Department hanya bersedia membiayai satu orang untuk terbang ke Washington DC. Karena itu, Andrea yang akan pergi, sementara Max akan melanjutkan penyelidikan di San Francisco.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
adi_nata
bukankah ada saksi yang mengatakan kalau pasangan ini sering bertengkar ?
2024-12-29
0
Minartie
cerita yg menarik penuh intrik ....luar biasa .
2024-12-26
0
Reksa Nanta
penilaian yang realistis, tapi jangan lupakan kemungkinan bahwa perempuan cerdas bisa mendadak bodoh jika berurusan dengan cinta karena sejatinya perasaan itu lebih mendominasi jiwa perempuan.
2024-10-13
1