“Bagaimana pertunjukannya?” Gandawasa bertanya setelah sekitar dua setengah jam duduk diam memfokuskan perhatian ke panggung.
“Yah… aku tidak terlalu terkesan karena sudah terlalu hafal dengan ceritanya.” Lily tertawa kecil. “Tapi setidaknya sudah tidak penasaran, karena telah melihat langsung di panggung Broadway. Sudah datang ke New York, masa gak masuk ke Broadway.”
Gandawasa mengangguk-angguk. “Aku sependapat. Percaya atau tidak, sebetulnya aku hanya memilih secara acak. Karena itu aku percaya bahwa pertemuan kita ini takdir.”
“Hayo mulai lagi,” Lily mengacungkan jari, isyarat untuk memperingatkan Gandawasa agar jangan berlebihan.
Gandawasa tertawa. “Baiklah. Walau bagaimana, aku senang bertemu dan kenal kamu. Kamu menginap di mana?”
“Di dekat sini.” Jawab Lily singkat.
Gandawasa melirik jam yang melingkar di tangannya. Jam yang tampak sederhana tapi klasik dan tidak mencolok, tetapi harganya tidak murah karena merknya Rolex. Yang paling murah saja $5,000, bahkan ada yang mencapai $100,000.
“Sudah hampir jam sebelas malam, ayo aku temani.”
“Gak apa-apa, aku jalan kaki saja. Gak jauh kok, cuma dua blok dari sini.” Lily berusaha menolak.
Yang dimaksud blok adalah sekumpulan bangunan di suatu area. Biasanya, blok ini dibatasi oleh jalan, jalur setapak, atau fitur geografis, seperti jalur kereta api atau sungai. Blok terdiri dari beberapa bidang tanah yang saling bersebelahan.
Di Manhattan, ukuran standar satu blok adalah sekitar 80 meter x 274 meter. Dua blok berarti sekitar 160 meter atau 548 meter, tergantung menghitung dari sisi panjang atau lebar.
“Lily, ini sudah hampir tengah malam. Meskipun New York adalah the city that never sleeps -kota yang tak pernah tidur, tapi hal-hal yang tidak terduga bisa saja terjadi. Bukan aku mendoakan hal yang buruk, tapi sebagai sesama orang Indonesia, apalagi aku jauh lebih senior, rasanya tidak bertanggung jawab kalau aku membiarkan seorang wanita berjalan kaki sendirian di tengah malam.”
Lily mengamati penampilan Gandawasa tanpa kentara, dan berkata dalam hati. ‘Setelah malam ini toh kita gak akan ketemu lagi. Lelaki ini tampak tidak berbahaya, sederhana dan dewasa. Baiklah...’
Berpikir seperti itu, Lily mengangguk. “Kalau begitu, ayo.”
Ia mendahului Gandawasa bangkit dari tempat duduk dan mulai melangkah menuju ke pintu keluar.
“Masih berapa lama kamu akan berlibur di New York? Besok acara kamu ke mana saja, sudah ada ide?” Gandawasa bertanya seolah sambil lalu, menjajari langkahnya.
Mereka berjalan santai, menyusuri sepanjang 53rd street, melewati perempatan 7th Avenue.
“Hm… aku sudah mem-booking hotel untuk empat malam. Besok rencananya aku mau ke MOMA (The Museum of Modern Art).”
“Aah… ternyata kamu suka seni juga? Setelah itu, tempat mana lagi yang menarik minat kamu?”
“Tentunya aku ingin berkunjung dan menyapa Lady Liberty,” Lily tertawa kecil.
“Harus naik helikopter supaya bisa melihat dari dekat, sekalian melihat keseluruhan Manhattan dari udara.”
“Sewa helikopter sepertinya terlalu buang-buang uang,” ujar Lily.
“Boleh aku temani? Aku juga belum pernah melihat Manhattan dari udara.”
Tentu saja Gandawasa berbohong. Ia sudah sering pergi ke gedung-gedung pencakar langit dengan rooftop yang bisa memandang keseluruhan Manhattan baik di siang hari maupun malam hari.
Ia benar-benar tidak ingin melepaskan kesempatan mengenal Lily lebih jauh. Bahkan dari obrolan singkat, Gandawasa telah bisa menilai, wanita muda ini sangat menarik.
Bagaimana tidak?
Pertama, wajahnya jelas cantik. Manis dan imut, meskipun tadi mengaku usianya dua puluh tiga, dia tampak masih seperti anak SMA.
Kedua, otaknya encer, bayangkan saja, dia mendapat dua beasiswa sekaligus dari salah dua universitas paling bergengsi di Amerika Serikat, dan bidangnya sains komputer.
Ketiga, berbicara dengannya terasa mengalir. Dia tidak ketus meskipun diajak mengobrol oleh lelaki yang jauh lebih tua.
Meskipun banyak uang, Gandawasa bukan seorang playboy yang suka berpesta pora, ke sana ke sini
menggaet perempuan sembarangan, atau bercinta semalam seperti hewan lalu meninggalkan wanitanya tanpa pernah mengetahui namanya. Itu bukan dirinya.
Malahan, Gandawasa sangat tidak suka para wanita yang berusaha mendekatinya terang-terangan. Ia sadar, wajahnya tidak tampan, bahkan tubuhnya tidak tinggi berotot, apalagi memiliki perut seperti roti sobek. Ia bukan jelmaan Christian Grey.
Tingginya bahkan di bawah rata-rata, hanya seratus tujuh puluh dua, dan tubuhnya agak gemuk. Jadi para wanita yang berusaha menarik perhatiannya itu pasti hanya mengincar uangnya.
Gandawasa tidak dilahirkan dengan sendok emas di mulutnya. Semua hartanya ia kumpulkan dolar demi dolar hingga menjadi lumbung uang. Karena itu, ia tidak rela jika hasil jerih lelahnya dihabiskan istri atau kekasihnya untuk bermewah-mewah.
Bukan karena ia pelit. Ia sendiri suka membelanjakan uangnya untuk prestise dan kepuasan diri. Tetapi penampilannya tidak mencolok. Jika orang-orang yang tidak mengenalnya melihatnya, tidak ada yang akan mengira ia memiliki uang dengan angka nol berderet panjang. Semua yang menempel pada tubuhnya memang bukan merk sembarangan, tetapi modelnya selalu sederhana.
Lily, entah karena tidak tahu identitasnya, atau karena merasa ia adalah teman setanah air yang lebih tua, memang bersikap sangat wajar. Tidak agresif, tidak juga menjaga jarak. Dia bukan wanita kalangan atas, juga pasti bukan keluarga miskin. Mungkin kelas menengah, tetapi tingkah lakunya sangat berpendidikan dan berkelas.
Gandawasa telah memutuskan untuk mencari tahu latar belakang Lily. Jika akarnya baik, mungkin ia akan melanjutkan pertemanan mereka di San Francisco nanti. Mungkin juga mengajak Lily berkencan.
“Ini hotelku,” tiba-tiba Lily menghentikan langkah. Mereka telah melewati 6th Avenue dan tiba di depan pintu Hotel Hilton.
Gandawasa lagi-lagi tertawa. “Hotelku kurang lebih dua menit lagi dari sini. Bahkan hotel pun kita tetanggaan.”
“Benarkah?” Mata Lily membulat, “Kamu menginap di hotel apa?”
“Baccarat.”
Jawaban Gandawasa singkat. Tetapi membuat Lily terperangah.
Itu hotel bergaya Eropa yang sangat mewah, dengan hiasan-hiasan dinding, lampu-lampu chandelier, bahkan vas dan peralatan makan, semuanya dari kristal Baccarat. Harga kamarnya $1,500 per malam, hampir empat kali lipat dari hotelnya yang ‘hanya’ $400 per malam.
Dari hotel tempatnya menginap saja, Lily sudah tahu, Gandawasa bukan lelaki biasa-biasa saja. Tadi dia menawarkan untuk menyewa helikopter, baginya itu mungkin seperti meninggalkan uang kembalian di supermarket.
“Besok aku jemput? Ke MOMA?” Gandawasa menatap wajah imut di depannya dengan penuh harap.
Lily mengangguk.
Gandawasa tersenyum lega. “Selamat malam, Lily. Selamat beristirahat. Sana masuk.” Gandawasa menggebah Lily, dan Lily memutar tubuh untuk memasuki lobby hotel.
Sebelum benar-benar masuk, Lily menoleh, melihat Gandawasa masih berdiri di sana, dan ia tersenyum pada lelaki itu.
Setelah tubuh Lily menghilang di balik pintu lobby, barulah Gandawasa melangkah menuju hotelnya sendiri. Hatinya terasa ringan, tiba-tiba ia ingin bersenandung.
Lily belum benar-benar pergi. Ia bersembunyi sambil menghitung sampai tiga puluh, setelah itu melongokkan kepala, dan melihat Gandawasa benar-benar telah tidak ada di sana. Hatinya merasa kehilangan, tiba-tiba ia ingin hari segera pagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
adi_nata
dari kalangan menengah nginepnya di Hilton Hotel sampai empat malam pula? setidaknya Hiton masih terlalu mahal untuk ukuran kelas menengahnya orang Indonesia.
2024-12-28
0
Reksa Nanta
dua insan yang saling jatuh cinta di pertemuan pertama.
2024-10-13
0
Reksa Nanta
bagi orang Indonesia 172 sudah termasuk tinggi.
2024-10-13
0