Sepeninggal Max dan Andrea, Lily mendesah. Dadanya terasa sesak. Siapa yang sangat berniat membunuh suaminya? Sampai detik ini, sepertinya belum ada titik terang.
Ia berjalan ke ruang tamu, menatap lama foto pernikahan mereka. Tiba-tiba ia merasa sangat merindukan Gandawasa.
“Siapa yang tega menghilangkan nyawamu Mas?” Ia berbisik lirih.
Lalu, tubuhnya merendah, duduk dengan lunglai di sofa.
Pikirannya melayang pada pertemuan pertama mereka.
Itu adalah sebuah hari bersalju di bulan Januari, hampir tujuh tahun yang lalu di New York City. Natal dan Tahun Baru telah lewat, musim dingin membuat orang-orang sebisa mungkin tidak ke luar rumah.
Namun, masih ada orang yang mencari hiburan, terutama di akhir pekan. Dengan hawa dingin menusuk yang bahkan menembus ketebalan mantel, tentu saja mereka mencari hiburan di dalam gedung. Termasuk Lily.
Salah satu tempat hiburan yang dipadati orang adalah Teater Broadway, dengan pertunjukan-pertunjukan berbeda yang dapat dipilih di empat puluh satu teaternya.
Saat itu, Lily baru selesai melakukan kunjungan ke MIT (Massachusetts Institute of Technology), salah satu universitas paling bergengsi di Amerika Serikat, yang memfokuskan pendidikan di bidang sains, matematika dan teknologi.
Lily telah mendapat dua penawaran beasiswa, satu adalah dari MIT di kota Boston, wilayah pesisir timur. Satu yang lainnya adalah dari Universitas Stanford di kota San Francisco, wilayah pesisir barat. Dua-duanya dalam ilmu sains komputer. Ia belum memutuskan akan menerima yang mana.
Karena telah terbang jauh-jauh dari pesisir barat ke pesisir timur, ditambah ini baru pertama kalinya ia berkunjung ke pesisir timur, Lily memutuskan untuk tinggal beberapa hari dan berkunjung ke beberapa kota di sekitarnya.
Tentu saja New York City tidak bisa dilewatkan. Dari Boston, NYC hanya sekitar tiga jam perjalanan dengan kereta, dan konon musim terindah di sana adalah musim gugur dan musim dingin. Autumn in New York membawa suasana romantis, sementara Winter in Manhattan memberi suasana magis.
Di pesisir barat tidak ada salju, sehingga Lily sangat menikmati jalanan Manhattan yang diselimuti hamparan putih dan kepingan-kepingan serupa kapas yang sesekali melayang ringan menerpa pipinya.
Meskipun harus mengenakan mantel berlapis-lapis, meliliti lehernya dengan syal maha tebal, menurunkan topi wol dalam-dalam, menutupi telinganya dengan earmuffs, dan menjejalkan kakinya ke dalam sepatu bot setinggi lutut.
Lily sudah melihat beberapa judul pertunjukkan yang sedang berlangsung di Broadway. Dan kebetulan, salah satu cerita yang sangat ingin ia tonton, Phantom of The Opera, sedang tayang di Teater Majestic. Jadilah ia membeli tiket secara daring, dan ke sanalah ia menuju.
Teater berkapasitas sekitar seribu enam ratus tempat duduk itu tidak terlalu penuh. Entah para penonton belum seluruhnya tiba, atau Phantom of The Opera telah kehilangan daya tarik karena telah dipertunjukkan lebih dari tiga belas ribu kali selama sejarah Broadway.
Lily memegang tiket di tangannya, mengedarkan pandang, mencari-cari baris dan nomor tempat duduknya. Ah itu dia, ia menemukannya, dan bergerak menuju ke sana.
Di sebelah kursinya, telah duduk seorang pria yang tampak berusia empat puluhan. Ketika Lily menempati kursinya, mereka saling menganggukkan kepala dan tersenyum.
Sementara pertunjukkan belum dimulai dan lampu belum dimatikan, mungkin untuk mengusir rasa canggung, atau mungkin hanya karena mencoba beramah tamah, pria di sebelahnya menyapa. “Kamu terlihat seperti orang Asia. Dari negara mana?”
Lily menoleh padanya, “Oh? Ya. Saya dari… Indonesia. Bali.” Setelah ragu sejenak, Lily menambahkan kata Bali, sebab banyak orang luar negeri yang tidak tahu Indonesia, dan lebih mengenal Bali.
“Ah… benarkah?” Pria itu terkejut sekaligus senang, langsung berubah menjadi berbicara Bahasa Indonesia. “Sama dong, saya Ganda. Gandawasa Natadharma.”
Ia langsung mengulurkan tangan sambil tersenyum. “Seneng banget bisa ketemu orang dari tanah air.”
“Waduh, dunia betul-betul kecil.” Lily tertawa kecil. “Teman setanah air bisa ketemu di NYC, duduk sebelahan di pertunjukkan Phantom of The Opera, sungguh ajaib.”
“Saya Lily. Lily Kanissa.” Lily menyambut uluran tangan Gandawasa.
“Sedang liburan?” tanya Gandawasa lagi.
“Eh… ya dan bukan. Bagaimana ya… saya baru selesai kunjungan ke MIT, tapi sekarang memang sedang liburan.”
Mendengar jawabannya, Gandawasa tertawa. “Masih kuliah?”
“Ehm… dapat beasiswa S2. Tapi saya belum memutuskan akan menerima atau tidak.”
Entah mengapa Lily langsung bercerita pada orang yang baru saja ia kenal. Mungkin penampilan Gandawasa yang ‘kebapakan’ membuatnya merasa lelaki itu tidak berbahaya. Atau karena lelaki itu sama-sama berasal dari Indonesia, sehingga ia merasa nyaman.
“Dapat beasiswa dari MIT dan belum memutuskan? Kenapa, bukankah itu universitas bergengsi? Tidak banyak yang akan melepaskan kesempatan emas seperti ini.” Ujar Gandawasa.
“Ya… karena saya… mendapat beasiswa dari tempat lain juga.”
“Dari mana, kalau saya boleh tahu? Sebagai orang tua, mungkin saya bisa sumbang saran.” Gandawasa berkata dengan serius.
“Orang tua?” Lily tertawa, “Kamu belum bapak-bapak.”
“Ya… kalau melihat penampilan, sepertinya kamu separuh umurku.” Gandawasa menggaruk dagunya yang tiba -tiba terasa gatal.
“Apakah ini cara licik kamu menanyakan usia seorang wanita?” Lily menatapnya tajam.
“Ah, tidak perlu dijawab kalau keberatan.” Gandawasa salah tingkah.
“Tidak keberatan. Bukan hal memalukan untuk diketahui usianya. Aku dua puluh tiga, memangnya kamu empat puluh enam?”
“Hampir,” Gandawasa terkekeh. “Aku tiga puluh delapan.”
“Beda lima belas tahun… yah satu setengah kali lipat. Jadi aku harus panggil bapak?”
“Panggil nama saja, ala bule. Jangan membuat aku merasa jadi kakek-kakek.”
Tawa mereka berderai.
“Jadi… satu lagi beasiswa dari universitas mana?” Tanya Gandawasa setelah tawa mereka berhenti.
“Stanford.”
Mata Gandawasa membelalak. “Luar biasa. Sepertinya otak kamu encer banget ya? Dapat penawaran beasiswa dari universitas-universitas paling bergengsi. Bidang apa?”
“Sains komputer.”
Gandawasa mengacungkan dua jempol. “Bidang yang menjanjikan.”
“Mungkin… sepertinya aku akan menerima yang Stanford saja.” Ujar Lily, setengah berpikir. “Bukan karena apa-apa, hanya karena tempat tinggalku di pesisir barat, jadi gak perlu repot pindah.”
“Tempat tinggal kamu di pesisir barat? Negara bagian mana?” Tanya Gandawasa lagi.
“California. San Francisco.”
Kini, mata Gandawasa membulat sempurna, bahkan mulutnya agak setengah membuka. Sejenak kemudian, ia geleng-geleng kepala. “Luar biasa. Beginilah kalau semesta sudah bekerja.”
“Memangnya kenapa?” Lily mengernyit heran.
“Kita sama-sama dari Indonesia, bertemu di Amerika, New York City, di hari ini, jam ini, pertunjukkan ini. Duduk bersebelahan. Dan ternyata, kita sama-sama dari pesisir barat, kota yang sama pula, San Francisco." Gandawasa berkata sambil menghitung dengan jarinya.
"Terlalu banyak kebetulan. Coba, sebagai orang eksakta, hitung secara matematika, berapa angka probabilitasnya? Menurut kamu, apakah ini bukan karena semesta bekerja untuk mempertemukan kita?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
adi_nata
wah kok tuduhannya begini amat ya 😅
2024-12-28
0
Reksa Nanta
mereka duduk di kelas yang sama ?
2024-10-12
0
Reni
aaaaa pertemuan yg manis 🤩🤩🤩
2024-10-11
0