Dari cara ibu Gandawasa menggambarkan anaknya, dia seperti santa, atau manusia setengah dewa. Berbakti, baik hati, setia, dermawan, dan kaya raya. Kepribadian yang sungguh tidak akan membuat orang ingin membunuhnya. Sebaliknya, akan beramai-ramai ingin mendekat padanya.
Lalu apa motif si pembunuh?
Sepertinya tidak mungkin karena dendam atau sakit hati. Perselingkuhan juga katanya tidak ada. Harta jelas di luar konteks.
Ini benar-benar membingungkan.
Persaingan bisnis?
Saat ini, hanya itu satu-satunya kemungkinan motif yang bisa dipikirkan Max. Jika demikian, bukan hanya nyawa Gandawasa yang dihilangkan, tetapi hidup Lily juga bisa terancam.
Setelah selesai berbicara dengan Nyonya Natadharma, Max pamit undur diri. Merenung sambil memperhatikan Andrea yang masih berbicara dengan Lily dari jarak yang tidak jauh, seraya mengamati ekspresi janda muda itu.
Wanita muda itu sungguh memesona. Bahkan dalam raut duka, keinginan Max untuk melindunginya kian mendesak. Max menyugar rambutnya dan menggelengkan kepala. Baru kali ini profesionalitasnya dipertaruhkan karena emosi pribadi.
Ia melihat Andrea bersalaman dengan Lily, kemudian saling berpisah. Lily berjalan mendekati ibu mertuanya yang masih duduk di sana, sementara Andrea menghampirinya.
“Ada yang didapat?” tanya Max begitu Andrea tiba di dekatnya.
“Miliuner itu seperti santa. Sepertinya satu-satunya motif yang mungkin adalah persaingan bisnis.” Ujar Andrea, menghela napas.
Max melebarkan mata. “Tepat seperti yang kupikirkan setelah berbicara dengan ibunya. Kita memang sehati.”
Andrea meringis. “Kalau tidak sehati, dengan perangaimu itu, tidak mungkin kita bisa cocok bermitra bertahun-tahun.”
Mereka berjalan bersisian menuju mobil Max.
“Coba cari informasi tentang racun yang disebutkan Dr. Jenkins. Di mana bisa memperolehnya, kalau kita mendapatkan lokasi tempat membelinya, kita bisa mulai menyelidiki dari situ.”
“Okay, Kap.” Setelah mengempaskan bokongnya di kursi penumpang di sebelah Max dan memasang sabuk pengaman, Andrea segera mengeluarkan ponsel untuk menjelajahi internet, mencari informasi tentang kedua jenis racun yang katanya sulit dideteksi itu.
“Nah ini dia.” Ujarnya tak lama kemudian, lalu mulai membaca, “Thallium sulfat tidak berbau dan tidak berasa, hingga tahun 1972 digunakan sebagai racun tikus dan semut.
6% hingga 15% telah dilaporkan sebagai keracunan thallium akut. 10 hingga 15 mg/kg merupakan dosis yang mematikan bagi manusia. Kematian masih dapat terjadi pada dosis yang lebih rendah.
Efek khas keracunan thallium, di antaranya adalah kerusakan saraf dan rambut rontok, tetapi rambut rontok umumnya hanya terjadi pada dosis rendah. Thallium merupakan senjata pembunuh yang efektif sebelum efeknya dipahami dan penawarnya ditemukan, yaitu Biru Prusia atau Radiogardase, yang diyakini mengikat thallium di dalam saluran usus, bahkan lebih efektif daripada arang aktif.
Mulai tahun 1975, penggunaan di Amerika Serikat dan banyak negara lain dilarang karena potensi bahayanya bagi manusia, dan untuk mencegah toksisitas akibat paparan yang tidak disengaja. Dan sejak tahun 1984 thallium tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat, semua thallium yang digunakan di Amerika Serikat diperoleh dari impor.”
“Impor dari mana?” Max yang sejak tadi menyimak, akhirnya bertanya.
“India.” Jawab Andrea singkat.
“India?” Max mengerutkan kening. “Pembunuhnya sangat berniat.”
“Aku rasa itu bisa dipesan secara daring lewat Amazon. Di zaman modern seperti sekarang, ke ujung dunia pun hanya membutuhkan satu jari telunjuk.”
“Ah. Ingatkan untuk bertanya pada Lily apakah suaminya mengalami kerontokan rambut. Bagaimana dengan Tetrodotoxin?”
Andrea kembali menjelajahi mesin pencari, dan tak lama telah menemukan informasi yang dicarinya.
“Tetrodotoksin adalah racun yang ditemukan pada hewan laut. Diketahui sebagai racun saraf yang mengganggu transmisi sinyal dari saraf ke otot dengan menghalangi saluran natrium, menyebabkan mati rasa perioral, mengakibatkan melemahnya dan kelumpuhan otot dengan cepat, termasuk otot saluran pernapasan, yang dapat menyebabkan napas berhenti dan kematian.
Ikan buntal adalah spesies hewan yang paling umum mengandung tetrodotoksin...”
“Ikan buntal?” Max menyela, “Berarti dari makanan?”
Andrea mengangguk, lalu melanjutkan.
“Karena tingkat keparahan toksisitas ikan buntal yang terkenal, banyak negara telah melarang impor, konsumsi, dan perdagangannya di seluruh dunia.
Meskipun demikian, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengizinkan impor ikan buntal secara legal ke Amerika Serikat secara terbatas, berdasarkan perjanjian antara FDA dan pemerintah Jepang.
Di Jepang, sushi ikan buntal dikenal sebagai fugu. Racun mematikan ini tahan panas dan tidak rusak jika dimasak. Tidak ada penawar khusus yang tersedia untuk keracunan tetrodotoxin. Juga tidak ada pengobatan definitif.”
“Dari sini bisa disimpulkan, sebenarnya yang paling mematikan itu racun ikan buntal, karena tidak ada penawarnya.” Andrea menutup informasi dengan sebuah analisis.
“Hm… intuisiku mengatakan, tetrodotoxin itu kecelakaan yang mempercepat kematiannya. Jangan lupa, ada thallium yang mungkin sudah memasuki aliran darah Gandawasa sekian lama dalam jumlah yang sangat kecil. Seharusnya itu tidak terdeteksi, dan akan tampak sebagai kematian yang wajar. Tetapi itu menjadi fatal setelah bercampur dengan tetrodotoxin.” Giliran Max menyampaikan buah pikirannya.
“Bukankah mereka baru pulang dari pesta yang diselenggarakan Presiden John Baker? Mengapa hanya Gandawasa yang mati? Apakah ada yang sengaja menyasar dia secara pribadi? Kita harus menyelidiki menu yang disajikan di pesta itu.” Max menambahkan.
Andrea mengangguk-angguk. “Kita harus minta surat perintah resmi untuk itu. Jangan lupa, ini menyangkut pesta yang diselenggarakan presiden Amerika Serikat. Bisa menjadi skandal besar.”
“Ya, hari ini kau urus surat izin itu. Besok sudah akhir pekan, hari Senin kita kembali ke mansion keluarga Natadharma untuk menanyakan kebiasaan makan Gandawasa.”
“Siap, Kap.”
Di hari Senin pagi, Max dan Andrea tiba di mansion Natadharma. Di depan gerbang, Max memandang mansion yang megah itu, dan merasakan aura misteri yang menyelimutinya.
Setelah menjawab interkom yang bertanya siapa yang datang, mereka menunggu gerbang dibuka, tanda dipersilakan untuk masuk.
Sementara itu, di dalam kamar tidurnya yang luas, Lily menatap cermin besar di depannya. Yang ia lihat di cermin adalah seorang wanita yang telah melalui banyak hal dalam hidupnya. Ia tahu bahwa dunia melihatnya sebagai istri muda yang cantik dan beruntung, namun hanya sedikit yang tahu perjuangan dan kesepian yang ia rasakan.
Mendengar suara langkah kaki mendekat, Lily menoleh untuk melihat siapa yang datang. Salah satu pelayannya menginformasikan bahwa Detektif Anderson dan rekannya kembali datang, dan meminta untuk bertemu.
Lily mengangguk, “Persilakan mereka untuk duduk di ruang tamu, dan sajikan minuman dingin. Saya akan berganti pakaian dulu.”
Pelayannya undur diri, dan Lily bergegas mengganti pakaian tidur satinnya dengan gaun polos selutut yang simple tapi berkelas. Warna krem gaun itu membuat kulitnya yang bersih semakin berkilau.
Dipersilakan pelayan, Max memasuki ruang tamu dengan langkah mantap. Postur tubuhnya tegap, dan matanya tajam, tampak sangat serius. Namun, tatapannya melembut ketika melihat Lily melangkah dengan anggun.
“Silakan duduk, Inspektur, Letnan.” Lily melambaikan tangan ke arah sofa, lalu ia sendiri duduk di seberang mereka. Semua tindak tanduknya sangat halus.
Max menatap Lily sejenak, wajahnya tampak lelah tetapi tidak mengurangi kecantikannya.
Di ruang tamu yang luas, melihat tubuh mungil Lily duduk di sofa besar, Max bisa merasakan bahwa di balik ketenangannya, hati Lily masih menyimpan kesedihan yang mendalam.
Max merasa ingin merengkuh Lily ke dalam pelukannya, mengatakan semua akan baik-baik saja, berjanji akan menangkap siapa pun yang telah merenggut suaminya dengan kejam. Lily tampak sangat mencintai suaminya, dan menyadari itu, hati Max terasa agak panas.
"Lily, saya mengerti ini sangat berat untuk Anda," Max membuka pembicaraan dengan suara lembut. "Tapi saya perlu menanyakan beberapa pertanyaan lagi untuk melanjutkan penyelidikan ini lebih jauh. Kami perlu mengetahui motif si pembunuh, dan media yang digunakan untuk meracuni suami Anda."
Lily mengangguk pelan, menandakan bahwa dia siap untuk menjawab apa pun yang dibutuhkan. "Tentu, Inspektur. Apa yang ingin Anda ketahui?"
Max mulai menanyakan pertanyaan dasar, tentang hari itu, kegiatan terakhir Gandawasa, dan siapa saja yang hadir di pesta. Sementara Max aktif bertanya, Andrea mencatat semua dalam buku.
Sebenarnya itu pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan di ruang interogasi, tetapi diulang untuk melihat jika ada detail yang terlewat. Atau kemungkinan Lily berbohong.
Jika dia jujur, ceritanya akan konsisten. Jika dia berbohong, ceritanya akan ada yang berubah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
adi_nata
dan efek racunnya sangat cepat, hitungan menit paling lama satu jam.
kalau memang Gandawasa keracunan makanan yang mengandung tetradotoxin saat acara jamuan, maka seharusnya dia sudah meninggal saat di perjalanan pulang, atau bahkan saat masih di acara jamuan.
lagipula apa iya acara jamuan presiden bisa seceroboh itu ?
2024-12-28
0
adi_nata
kalau keberadaannya sudah dilarang, tidak mungkin bisa dipesan lewat Amazon. kemungkinan besarnya dibeli dari pasar gelap.
2024-12-28
0
Reksa Nanta
jangan lupakan pertanyaan tentang apakah Gandawasa mengalami kerontokan rambut sebelum meninggal ?
2024-10-11
0