" masalah seperti itu pun kamu nggak bisa menghandle sendiri, mas? Sebenarnya yang menikahiku itu kamu atau Ibu? Kenapa masalah seperti ini saja kamu nggak bisa mengambil keputusan sendiri. Apa kamu pikir dengan aku datang ke rumah akan membuat Ibu berhenti untuk melakukan semua yang dia mau? Atau kamu memintaku pulang untuk dijadikan sebagai alat untuk mencegah Ibu?"
" Aku serius, Nayla. Pulanglah ke rumah kita. Aku ingin hanya kamu yang menjadi istriku. Untuk permintaan Ibu yang satu ini, aku nggak ingin menurutinya. Pernikahan itu bukan untuk uji coba," ucapku memberi penjelasan.
" Maafkan aku mas. Habisnya aku merasa aneh mendengar informasi yang baru saja kamu sampaikan," jawab Nayla sinis.
" Dimana letak keanehannya? Kamu adalah istriku dan aku adalah suami sekali gus Ayah dari anak kita. Sudah seharusnya kita tinggal di atap yang sama. Bukan malah berjauhan seperti ini."
"Seharusnya kalau kamu sadar posisimu sebagai seorang suami. Kamu akan melakukan apa pun untuk mempertahankan rumah tanggamu, mas. Ada aku atau nggak di rumah, kamu juga harus bisa memberi penjelasan pada Ibu untuk tidak menikahi perempuan lain. Kecuali kalau kamu memang menginginkan seperti yang Ibu mau. Jadi apa pun yang terjadi, keputusan ada di tangan kamu sendiri. Walau dengan kamu mengembalikan aku pada Ayah dan Ibu sekali pun. Aku nggak berkomentar apa-apa. Ku hargai semua keputusanmu."
" Dengan cara apa kamu menghargaiku sebagai suami Nayla? Selama ini aku sudah capek-capek bekerja. Apa kamu pernah bertanya apa yang ku rasakan? Kamu hanya tahu Ibu selalu mengganggu. Tapi kamu nggak pernah mau tahu gimana aku harus bersikap adil pada kalian,"
" Sudahlah mas . Aku benar-benar sudah muak dengan semua ini. Bukan tugasku untuk memahami semua perasaan orang. Dengan aku berusaha untuk memahami perasaan orang. Belum tentu juga orang lain akan melakukan hal yang sama padaku," ucapnya Nayla membuat Arga semakin kesal.
" Terserah kalau kamu masih nggak mau pulang. Tapi jangan salahkan aku kalau keputusanku salah."
" Kamu benar-benar aneh, mas. Memangnya sejak kapan kamu mengambil keputusan yang benar? Bukankah selama ini semua yang dikatakan Ibu kamu anggap benar? Kalau pun kamu sampai menyetujui permintaan Ibu. Bukan kamu yang patut untuk dikasihani. Tapi wanita yang dipilih Ibu itulah yang seharusnya dikasihani. Siapa pun yang akan menjadi istrimu, kalau sikapmu sama seperti sekarang nggak akan ada yang bertahan,"
Sebelum mendengar ocehan Nayla lebih banyak lagi, aku langsung mengakhiri telepon dan membuangnya ke sembarang arah.
Aku heran dengan cara berpikirnya. Aku sudah berjanji untuk memperbaiki segalanya. Bukan malah saling mendukung. Justru ia malah tak peduli dengan semua yang ku katakan. Semakin lama aku benar-benar merasa kesulitan untuk mengendalikan Nayla. Dia benar-benar seperti sudah tak menganggapku lagi.
***
Kesialan benar-benar selalu datang menghampiriku. Lagi-lagi aku kesiangan untuk pergi bekerja. Bahkan untuk menyiapkan sarapan pagi ini pun sudah tak ada waktu lagi.
Jalan satu-satunya untuk mengisi perut hanya dengan menumpang makan di rumah Ibu. Semoga saja ia tak akan mengusirku karena kedatanganku sama sekali tidak menguntungkan.
" Assalamualaikum, Bu," ucapku ketika sampai di depan rumah Ibu.
" Wa'alaikumsalam, masuk saja nak. Kenapa hanya berdiri di luar. Tumben banget kamu datang ke rumah Ibu. Padahal biasanya Ibu yang datang berkunjung ke rumahmu. Apa kepergian Nayla beberapa hari ini yang membuatmu berani datang ke rumah Ibu?"
Dugaan ku sangat tepat. Kedatanganku tepat pada saat Ibu dan Ayu sarapan pagi.
Tak menunggu lebih lama lagi, aku langsung masuk ke dalam rumah dan ikut duduk bersama Ibu dan Ayu.
" Arga mau ikut sarapan bareng, Bu," ucapku sembari meraih piring yang di hadapanku.
" E—eh kenapa nggak bilang-bilang dulu sama Ibu, kalau kamu mau ikut sarapan bareng disini. Kalau kamu bilang kan Ibu bisa masakin buat kamu sekalian," jawab Ibu sembari menghabiskan sisa makanannya.
" Tapi aku lapar, Bu. Dengan Arga ikut makan disini nggak akan membuat semua makanan yang Ibu masak langsung ludes tak tersisa."
" Nggak bisa gitu dong. Ini semua untuk jatah makan pagi dan siang Ibu dengan Ayu. Kalau kamu mau, mendingan kamu makan pakai telur aja, kan simpel."
Aku mengernyit mendengar penuturan Ibu barusan. Setiap Ibu minta uang walau dengan jumlah yang banyak sekali pun aku tak pernah perhitungan. Aku hanya minta makan untuk mengisi perut sebelum bekerja, kenapa Ibu seperti tak rela membaginya denganku. Dan Ayu? Ia juga sama saja. Serakah sekali mereka, padahal aku bekerja bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk semua termasuk Ibu.
" Iya, maaf. Seharusnya Arga nggak datang," jawabku singkat dan segera pergi meninggalkan Ibu dan Ayu.
TING!
Bunyi ponselku pertanda ada pesan baru masuk. Ternyata Dania, aku lupa telah memberi nomor ponselku padanya.
" Hai!" Balasnya saat melihat pesan yang sebelumnya sudah terbaca olehku.
" Kamu udah berangkat, mas? Aku ada di depan rumahmu bawa sarapan," terkirim lagi pesan dari Dania dengan emoji senyum.
Alangkah menyenangkan jika yang mengirim pesan itu adalah Nayla. Aku tidak ingin bertukar pesan dengan siapa pun selain dari istriku. Tapi apa hendak dikata, semua sudah terlanjur terjadi dan itu karena kesalahanku sendiri. Kalau aku tak memberi nomor ponselku kemarin, mungkin ia tak akan nekat menghubungiku dan sampai datang ke rumah orang yang sudah menikah sepertiku.
Ku harap tidak ada gosip yang beredar sampai ke telinga Nayla. Kalau sampai itu terjadi, mungkin ia akan benar-benar meninggalkanku dan tak akan pernah kembali lagi padaku.
Benar saja, ternyata Dania benar-benar ada di depan rumah dengan menenteng tas yang entah apa isinya.
" Apa sudah lama?" Ucapku pada Dania saat mempersilahkannya masuk.
Lagi-lagi aku berharap tidak terjadi apa-apa dengan kami. Biar bagaimana pun aku adalah seorang pria yang ditinggal pergi oleh istrinya. Walau Nayla belum benar-benar pergi meninggalkanku. Tapi tetap saja ia tidak ada di rumah saat ini.
Jauh lebih baik seharusnya aku tak menerima tamu saat istriku tidak ada. Saat ia tahu hanya ada Dania dan aku sebagai pemilik rumah yang ada saat ini. Pasti ia akan kecewa lagi padaku. Bahkan ia bisa saja berpikir aku melakukan hal yang tidak-tidak di belakangnya.
" Lumayan sih tapi nggak apa-apa kok. Aku juga datang bertamu tanpa bilang-bilang dulu," ucapnya sembari tersenyum.
Dan tanpa permisi ia merapikan baju dan dasiku. Entah apa yang ia rapikan aku juga tak tahu. Jelas-jelas aku sudah memakainya dengan rapi seperti saat biasanya Nayla mempersiapkannya untuk ku pakai.
" Maaf, mas. Kalau gini kan enak dilihat. Tadi baju kamu kusut dan dasi yang kamu pasangkan juga terlalu longgar," ucap Dania menjelaskan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments