Setelah pembicaraan yang terjadi antara Alice dan Anson di mobil dua minggu yang lalu, fokus Alice menjadi kacau. Dia seperti wanita pengidap fobia dengan unsur yang tidak jelas. Setiap saat dia selalu terbayang kebohonganya terbongkar begitu saja, dan kehilangan Anson selamanya.
Semua aktifitas yang Alice lakukan banyak yang terganggu. Hatinya hancur secara perlahan menyadari cepat atau lambat tragedi pasti akan terjadi. Setiap ia terbangun, maupun setiap ia terpejam, dia berusaha menguatkan diri jika sewaktu-waktu kesempatanya untuk berada disisi Anson terenggut begitu saja.
Sempat terfikir bagi Alice agar ia jujur mengakui semuanya pada Anson. Tetapi mengingat bagaimana bencinya Anson pada wanita simpanan, Alice segera mengurungkan niatnya. Mengakuinya secara langsung tak jauh berbeda dengan menabuh genderang perang lebih cepat.
Hingga lama-lama kemudian Anson merasa ada yang tidak beres. Dia mengamati setiap perubahan wanita tersebut. Anson beberapa kali bertanya langsung, namun Alice selalu mengelak. Wanita itu bertingkah semakin tak masuk akal.
Akhirnya, Anson memutuskan untuk memberi sebuah kejutan kecil bagi Alice. Dia menyiapkan makan malam istimewa di area kebun belakang rumah untuk mereka. Anson menyiapkan kejutan tersebut dengan matang nyaris selama sehari. Dia mengaturnya sedemikian rupa untuk memberikan efek sesuai dengan yang ia inginkan.
Setelah malam menjelang, dengan semua hal yang dirahasiakan, Anson menbawa mereka ke kebun belakang. Hanya mereka berdua. Kimberly berhasil dibujuk oleh Helena untuk bermain di ruangan lain.
"Oh My God, Anson!" teriak Alice tak percaya melihat semua tatanan dinner romantis yang telah disulap oleh Anson.
Sebuah meja dengan sepasang kursi kayu melengkung saling berhadapan tampak tertata indah. Jalan setapak yang dihiasi lusinan lilin beraroma melati menambah romantis suasana. Di tengah meja, tampak sebuket mawar merah dengan sebuah lilin besar yang menjadi pencahayaan utama. Berbagai jenis bunga yang tak diketahui Alice namanya ikut menjadi latar belakang diletakkan di dalam guci yang berjejer memutar disekitar kursi. Aroma semerbak menyentuh indera penciuman mereka.
Anson mengenggam tangan Alice, membimbingnya dengan lembut menduduki kursi yang telah diasiapkan olehnya. Anson mengambil tempat dihadapan Alice, tersenyum hangat dan mencium kening Alice penuh perasaan.
"Kau baik-baik saja?" Anson bertanya khawatir, melihat air mata Alice mengalir turun.
Alice mengangguk cepat. Membuat rambut ikal yang ia ikat bergoyang-goyang.
"Kau melakukan semua ini untukku?" tanyanya dengan air mata yang semakin deras.
"Tentu saja. Apakah ada yang salah? Maaf, aku tak pernah melakukan semua ini sebelumnya. Pasti ada sesuatu yang tak beres, bukan?" Anson semakin khawatir. Dia menoleh mengamati sekelilingnya, mencari sebuah kesalahan yang mungkin saja tak sengaja ia lakukan.
"Tidak, Anson. Ini sempurna. Aku hanya tak terbiasa menerimanya. Ini terlalu ... terlalu luar biasa. Aku ... Ya Tuhan Anson ... Kau membuatku terharu," katanya tersenyum. Air matanya masih saja tak berhenti.
Anson tersenyum lega. Dia mengusap sisi wajah Alice, menghentikan air matanya.
"Jangan menangis. Kau tahu aku sulit melihatmu menitikkan air mata seperti ini," pinta Anson menepuk wajah Alice mesra.
"Tidak. Aku tak menangis," kata Alice mengusap wajahnya dengan lengan cukup keras, namun air matanya justru semakin deras tak terbendung.
Anson berdiri dan memeluk Alice erat. Dia menepuk-nepuk bahu wanita itu menenangkan. Wanita benar-benar makhluk yang sulit dimengerti. Saat sedih menangis, saat senang juga menangis.
"Apakah ini semacam hormon kehamilan?" tanya Anson setelah tangis Alice mereda. Dia kembali duduk di kursinya semula.
"Tidak. Aku memang tergolong cengeng untuk hal-hal seperti ini." Alice mengangkat bahu, menyerah.
"Apakah itu artinya aku akan terpaksa melihat air matamu sepanjang hidupku? Bahkan saat kubuat senang pun kau menangis," Anson tersenyum kecil. Alice tertawa menanggapinya. Yah. Anson harus menerimanya jika dia berniat terikat sepenuhnya dengan Alice.
Susan dan dua pelayan lain membawakan makanan utama untuk disajikan. Dia juga membawakan dua gelas lemon tea untuk mereka..
"Aku berencana memberikan makanan pembuka dengan wine terbaik. Tapi mengingat kau sedang hamil, kupikir ini cukup," kata Anson mengangkat gelasnya mengajak bersulang. Alice menyambutnya dengan hal serupa.
"Jadi Tuan, dalam rangka apa kau menyiapkan semua ini?" Alice mulai tak bisa menahan rasa penasaranya.
"Untuk menghiburmu karena akhir-akhir ini kulihat suasana hatimu tak begitu baik."
Alice terdiam tanpa suara. Apakah sejelas itu hingga Anson bisa menyadarinya?
"Sebenarnya, ada masalah apa Alice? Apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku? Mungkin aku bisa membantumu."
Alice menggeleng dengan cepat. Suasana hatinya mulai kacau.
Dia menatap Anson dengan intens. Ya Tuhan, jika waktunya telah tiba, sanggupkah ia kehilangan lelaki ini? Akan sekosong apa hidupnya nanti?
"Kau yakin?" Anson semakin menyadari ada yang salah dari sikap Alice.
"Yakin. Aku baik-baik saja. Hanya sindrom kehamilan kurasa." Alice mencoba tersenyum, menenangkan dadanya yang berdegup kencang.
Mereka melanjutkan menyantap makanan yang telah tersaji dengan obrolan ringan. Anson beberapa kali membuat lelucon untuk menghidupkan suasana di antara mereka. Dia menampakkan sisi pribadinya yang lain. Hangat dan menyenangkan.
Setelah setengah jam lebih mereka menghabiskan waktu di tempat romantis ini, Anson mengeluarkan sebuah kotak beledu merah berbentuk sedikit pipih. Dia mengangsurkanya ke Alice dengan senyum tulus.
"Terimalah," Katanya.
Alice tersenyum lemah. Entah ini sudah keberapa kalinya Anson memberinya hadiah. Lusinan kotak yang sama telah Alice terima semenjak kehamilanya. Isi dari semua pemberian Anson adalah perhiasan dengan jenis batu-batuan mahal yang langka.
"Anson. Kau harus berhenti memberikan perhiasan lagi padaku. Aku sudah terlalu banyak mendapatkanya darimu. Kutaksir semua nilainya pasti bisa setara dengan rumahmu sekarang." Alice menggeleng tak percaya.
"Ini yang terakhir, aku berjanji. Terimalah. Aku pikir ini cocok denganmu." Anson menarik lengan kanan Alice, dan meletakkan kotak tersebut dalam genggamanya.
"Terakhir kali kau juga berkata demikian. Tapi pasti kau melakukanya lagi jika menurutmu ada yang cocok." Alice tertawa mengingat sikap Anson yang terlalu boros.
Alice membuka kotak pipih itu perlahan, menemukan sebuah kalung emas berbandul permata merah terang berbentuk kotak panjang. Alice menatap terpesona pemberian Anson. Dia tak menyangka Anson seloyal itu menyenangkan hatinya.
Anson mengambil kalung itu, dan berdiri memakaikanya secara langsung. Kalung itu tampak indah menghiasi leher jenjang Alice. Permata merahnya sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
"Indah," puji Anson penuh damba. Dia menatap mata kecokelatan Alice penuh arti.
Alice tersenyum menyadari tatapan Anson yang ambigu.
"Kulihat kau mulai tergoda denganku." Alice mengerling sebelah matanya, sedikit menggoda Anson. Semenjak hubungan mereka semakin berkembang, Alice belajar banyak hal dari Anson. Dia bahkan bisa terang-tetangan menggodanya sekarang.
"Kau memang dewi penggoda, Alice" Katanya terkekeh ringan.
"Kau tak jijik dengan tubuhku yang nyaris sebesar gajah ini?" Alice menatap perutnya yang terlihat semakin membesar setiap waktu.
"Kau gajah yang seksi," goda Anson teetawa lebar.
"Aku gajah yang membengkak," rutuk Alice mengamati sisi-sisi tubuhnya yang ikut berisi di beberapa bagian. Kehamilan ini menyenangkan, tapi juga membuat tubuhnya melebar dengan cepat.
Anson memeluk Alice dengan penuh rasa sayang. Dia membisikkan banyak hal yang membuat wajah Alice semakin memerah. Mereka meninggalkan kebun belakang dengan tangan saling bergandengan.
"Kupikir, sebentar lagi, pernikahan kita akan segera terlaksana, Alice," kata Anson riang. Tampak kegembiraan yang meluap-luap dari lelaki itu.
"Oh ya? Kau bermaksud memaksaku lagi? Sudah kukatakan aku tak akan menikahimu sebelum ingatanmu kembali." Alice mengerucutkan bibirnya, merasa jengkel dengan sikap kerasa kepala yang Anson miliki
"Akhir-akhir ini beberapa ingatanku mulai kembali perlahan-lahan. Aku masih belum juga mengingatmu, tapi kata terapisku sebentar lagi pasti akan terjadi. Hanya masalah waktu saja pernikahan kita pasti akan segera dilaksanakan."
Alice membeku saat itu juga. Ujung-ujung jemarinya mulai terasa dingin dalam genggaman Anson. Dia menggigit bibirnya sekuat tenaga, menahan semua kepedihan.
"Alice, kau baik-baik saja?" Anson bertanya khawatir.
Alice menatap Anson hampa. Sesuatu yang ia takutkan akan segera terjadi.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Ainun Najib
jujur aja lice,dr pda nanti jdi bumerang,atau sebenarnya ansor udh tau semua klo alice bohong
2021-02-15
0
Linda Edi
visual ny dong thor....
2020-07-29
0
Nonoe Mooduto
jujur sj alice
2020-07-28
0