Rachel benar. Saat ia berfikir bisa hidup tanpa harus menggunakan uang pemberian Anson, fakta lain datang memperoloknya. Pihak bank mengirimkan pemberitahuan melalui pesan suara bahwa salah satu angsuran utama Alice telah terlambat cukup lama. Mereka hanya memberikan waktu tiga hari bagi dirinya untuk melakukan pembayaran. Jika tidak, pihak bank akan melakukan penyitaan pada rumah utamanya.
Alice tahu sertifikat rumahnya telah dijadikan agunan oleh Alex. Hanya saja dia tak tahu akan secepat ini masalah melandanya. Semuanya seolah sengaja menjebak Alice dan membuatnya semakin terpuruk.
Mungkin ia bisa menanggung jika harus kehilangan perhiasan, perusahaan, tabungan ataupun kendaraanya. Namun ia tak akan pernah sanggup melepaskan rumah yang telah menjadi saksi dari semua kenangan hidupnya. Bangunan itu tidaklah sekedar batu bata yang menjulang kokoh. Dia telah menjadi sebagian dari dirinya sendiri. Sudut-sudut rumah ini memiliki banyak cerita yang istimewa. Rumah ini telah dimiliki selama nyaris seratus dua puluh tahun dari pihak kakek buyutnya. Tidak. Ia tidak bisa kehilanganya.
Alice memutuskan untuk mencairkan cek dari Anson di sebuah bank di pusat kota. Dia menggunakan sepertiga uang tersebut untuk menutup pinjaman utama dan menyimpan sisanya untuk perputaran modal usaha dan pembayaran pinjaman-pinjaman lainya dengan jumlah yang lebih kecil.
Alice keluar dari bank saat hari telah berganti senja. Dia berjalan letih sepanjang dua blok dan berhenti di sebuah kedai kopi. Perutnya belum terisi apapun sejak pagi hari. Hanya dua gelas mug kopi jika itu bisa dihitung. Dia membutuhkan pasokan makanan yang cukup untuk menghadapi hari-harinya yang semakin mengerikan.
"Secangkir Americano Coffee dan dua porsi hot dog dengan ekstra keju diatasnya. Bawakan juga seporsi puding strowberry special!" Pintanya pada seorang pelayan berseragam.
Ponsel Alice bergetar. Dia merogoh kantong blezer hitamnya dan merutuk pelan. Tagihan apalagi kali ini?
Sebuah nomor asing tertera di layar ponselnya.
"Halo?" Alice memejamkan mata, menguatkan diri.
"Selamat sore Ms. White." Ternyata Mr. William. Alice menegakkan badan, teringat kemarin dia memberikan nomor ponsel ini kepada kepala pelayan rumah Anson.
"Ya, ada apa William?"
"Saya ingin menyampaikan pesan bahwa anda diminta untuk datang petang ini oleh Mr. Mallory!" pintanya datar, seperti biasa.
Bagus Anson. Bahkan kau menggunakan pelayanmu untuk menghubungiku. Sepertinya lelaki itu memang tak ingin membuat hubungan mereka lebih santai. Dia dengan sengaja menunjukkan siapa bosnya dan bagaimana seorang bawahan hanya sesuai berkomunikasi dengan sesama bahawan pula. Menggelikan.
"Baiklah, William." Alice memutuskan sambungan. Memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan selain tunduk dan menurut? Uang Anson sudah ia gunakan. ia sudah berhasil menanda tangani kontrak iblis dengan ******** itu.
Alice sudah tak berselera memakan apapun lagi. Dia meletakkan sejumlah uang diatas meja dan meninggalkan tempat ini, tanpa menyentuh pesananya sama sekali.
Setelah kembali ke rumah dan berganti baju, Alice kembali melajukan mobilnya menuju kediaman Anson. Dia memutar musik slow rock dengan volume keras, berharap bisa membantu memperbaiki suasana hatinya.
Dia menatap rumah besar yang sama dengan kemarin. Masuk ke dalam dan diarahkan ke ruang yang sama juga. Kali ini seorang wanita gipsi yang membawakan minumanya. Tubuhnya gempal dan wajahnya ramah penuh senyum. Mereka bercakap-cakap lumayan lama. Alice merasa menyukai wanita itu. Dia memperkenalkan diri sebagai Susan. Setelah Susan pergi, Alice merasa jenuh. Dia memutuskan berkeliling rumah selama menunggu Anson.
Bangunan rumah ini luas dengan dua sayap. Masing-masing disisi kiri dan kanan. Antara bangunan yang satu dengan yang lain terdapat koridor penghubung. Alice menjelajah selama sepuluh menit dan menemukan sebuah ruangan yang menarik.
Ruang ini seperti ruang keluarga dengan desain yang penuh warna. Berbagai macam karakter kartun ternama dilukis tiga dimensi di beberapa bagian. Hiasan-hiasan dan pernak pernik feminim banyak tersebar di ruang ini. Dua ruang yang saling terhubung disisinya juga tak jauh berbeda. Boneka-boneka hewan tertata rapi dalam sebuah etalase. Gambar krayon manual tetempel disalah satu dinding didekat pintu. Sebuah tulisan tangan anak kecil terukir disana berbunyi "love dad".
Suara langkah lari terdengar bersama celoteh riang anak kecil.
"Kau tak akan pernah bisa menangkapku Mrs. Helena," katanya lugu.
Seorang gadis berusia sekitar enam tahun berlari menghindar dari sang pengasuh dibelakangnya. Tawanya menggema mengisi seluruh ruangan. Dia nyaris saja menabrak Alice.
"Oh. Maaf" Katanya cepat. Rambutnya yang hitam legam diikat dua dengan pita berwarna jingga.
"Tidak apa-apa." kata Alice terkejut.
"Sepertinya anda tersesat, Nona. Ruangan ini bukan ruangan umum untuk tamu," kata sang pengasuh hati-hati. Dia memegang bahu sang anak lembut.
"Ya. Aku tadi hanya bermaksud jalan-jalan mengitari rumah ini. Maafkan aku," Alice merasa bersalah.
"Kau tampak luar biasa cantik. Siapa namamu?" tanya sang anak. Pengasuh yang tadi dipanggil sebagai Mrs. Helena menyentuh bahu sang anak, mencoba menghentikan tingkah ingin tahunya.
"Aku Alice White. Kau bisa memanggilku Alice. Dan siapa anak hebat didepanku ini?" Alice mencubit hidung sang anak dengan lembut. Dia menunduk lebih rendah dan menyadari wajah di depanya memiliki banyak kemiripan dengan Anson.
"Kimberly Mallory. Dad memanggilku Kimi. Kau bisa memanggilku dengan itu juga jika mau." Kimberly tampak riang, memamerkan sederet giginya yang putih.
"Maksudmu Anson Mallory?" Alice perlu menegaskan kembali dugaanya.
"Tentu saja dia daddy kesayanganku. Apakah kau teman barunya?"
Alice meringis. Ternyata memang bukan hanya dia temanya Anson. Teman dalam arti kata sesuatu yang sanggup dicerna oleh gadis sekecil Kimberly. Teman itu tentu saja menjadi konteks yang berbeda jika dihadapkan pada Anson.
"Ya, teman barunya." Dan mainan barunya. Lanjut Alice dalam hati.
"Apakah kau mau bermain kisah cinderella denganku?" Kimberly penuh harap.
"Tidak. Ms. White cukup sibuk. Ini sudah waktumu tidur. Bagaimana jika Dad bercerita tentang Thor sebelum tidur?" Anson menyela pembicaraan mereka. Alice terkejut menyadari kedatanganya yang tiba-tiba. Dia menatap Anson yang tampak luwes menggendong Kimberly ke sebuah ruangan yang Alice duga sebagai kamar.
"Aku ingin Alice yang bercerita. bolehkah?" pintanya mengiba menatap alice dari balik bahu Anson.
Alice mengambil langkah mendekat bermaksud melakukan apa yang diminta Kimberly. Namun Anson menatapnya tajam, tak menyetujui.
"Tidak. dia perlu melakukan sesuatu," ujar Anson mengusap lembut tengkuk putrinya penuh sayang.
"Pergilah ke ruang tengah. Aku akan menemuimu nanti disana!" perintah Anson tak ingin dibantah. Nadanya sangat dingin. Sebelah matanya yang masih berfungsi normal seolah memancarkan aura kebencian.
Alice menegang, mencoba melangkah pergi meninggalkan mereka. Dia tak tahu kesalahan apa lagi yang ia perbuat kali ini. Bagi Anson, semua hal yang dilakukan Alice selalu bernilai salah.
...
"Aku sudah membayarmu mahal. Bersikaplah profesional dan jangan bertindak semaumu. Aku tidak pernah memintamu untuk berkeliling rumah. Jangan lakukan lagi"
Setelah Anson membiarkan Alice menunggunya nyaris satu jam, dia masih melengkapinya dengan peringatan keras.
"Aku hanya berkeliling rumah. Apa kau fikir aku akan merampok dan mengambil hartamu secara diam-diam?" Alice tak terima. Anson sungguh kolot.
"Aku tak peduli jika kau mengambil hartaku secara diam-diam, karena itu sesuai dengan karaktermu. Tapi aku tak ingin kau mendekati lagi putriku. Jangan lagi berkomuniaksi denganya!" ancamnya dingin.
Anson menggemeretakkan gigi. Dia memejamkan mata, mencoba mengendalikan emosi.
"Oh tentu saja. Kau pasti berfikir wanita sepertiku tak layak mendekati putrimu, bukan? " Sorot mata Alice memberontak, tak terima.
"Ya. Aku tak ingin kau mengotori kepolosanya." Anton mendekati Alice perlahan.
"Kalau begitu, kenapa kau memilih rumahmu sendiri untuk kudatangi? jika kau memperhatikan pertumbuhan mental putrimu, seharusnya kau tak pernah memasukkan sembarang wanita ke rumahmu." Alice melangkah mundur melihat Anson dikuasai amarah.
"Aku memintamu kesini untuk mendatangiku, bukan mendatangi putriku. Seharusnya kau cukup tahu diri!" Anson tak ingin dibantah.
"Aku tahu itu sebuah kesalahan Anson, sebelum ini kau juga tak pernah berkata memiliki putri." Alice mencoba sedikit berdamai dengan Anson. Dia tak mungkin bisa melawan lelaki itu.
"Baguslah," kata Anson merasa puas.
Jika Anson memiliki putri, apakah itu artinya ia juga masih memiliki wanita yang menjadi ibu Kimberly? Alice merasa tak nyaman. Bukankah Anson pernah berkata ia tak memiliki istri ataupun tunangan? apakah Anson berbohong?
"Apakah kau masih terikat dengan ibu putrimu? Aku tak terlalu suka jika tiba-tiba dijadikan target pembunuhan oleh salah satu wanitamu." Alice berkata lirih. Logikanya mulai menipis memikirkan semua itu.
"Aku bisa jamin selama enam bulan kedepan, tak ada wanita yang akan melakukan hal semacam itu. Aku sudah tak terikat dengan wanita itu, sweet heart ...." Sebuah jawaban yang mampu menenangkan hati Alice.
"Sekarang, lakukanlah tugasmu!"
Alice memejamkan mata, menguatkan mentalnya. Dia sekarang hanya wanita simpanan. Ya Tuhan. Dia serendah itu.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Prilarisa
berarti nanti alice gabisa punya anak dr anson kan udh disterill
2020-06-18
0
Dwight
Seruuu
2020-05-16
0
Atik Supandi
hadirrr
2020-04-01
0