Alice duduk membeku di depan Dr. Jack, menunggu informasi yang akan ia sampaikan setelah melakukan beberapa pemeriksaan dasar pada Anson.
"Ms. White. Sepertinya dugaan saya sebelumnya benar terjadi. Mr. Mallory mengalami retrograde amnesia. Sebuah kondisi dimana ia kehilangan sebagian ingatan masa lalunya. Namun dia tak kehilangan fungsi kognitif. Dengan kata lain, dia masih ingat siapa dirinya, masih mampu menggunakan pengetahuan dasarnya dan mengingat semua kondisi sekitarnya. Memori yang hilang dari Mr. Mallory hanyalah ingatan terbarunya selama dua tahun sebelum ini," jelas Dr. Jack.
"Mr. Mallory berfikir bahwa ini adalah bulan januari 2018. Ingatanya mundur nyaris selama dua tahun ke belakang. Sepertinya otaknya telah memblokir memori dari masa 2018 hingga sekarang. Namun selain itu, dia masih ingat semua teman, perusahaan dan bahkan putrinya. Sayangnya, anda tidak termasuk dari ingatanya," jelas Dr. Jack jujur. Ada rasa simpati yang ia tujukan untuk Alice.
"Saya sudah menjelaskan keadaanya secara jujur pada Mr. Mallory. Saya juga telah memberitahu bahwa anda adalah calon tunanganya. Yang harus anda lakukan adalah tetap sabar menemaninya, dan bawa ia pada tempat-tempat yang bisa membuatnya mengingat anda."
Alice mengangguk tak berdaya.
"Jangan sedih Ms. White, kondisi ini hanyalah sementara. Perlahan-lahan memorinya pasti akan kembali."
"Baiklah Ms. White, anda bisa menjenguknya sekarang. Saya sudah menempatkanya di ruang rawat mengingat kondisinya membaik dengan cepat"
Alice mengucapkan terimakasih dan berlalu pergi meninggalkan ruangan Dr. Jack. Dia berjalan menyusuri lorong menuju ruang rawat yang disebutkan oleh Dr. Jack. Di sana tampak William sedang menjaga Anson. Kepala pelayan itu sepertinya telah mengetahui keadaan Anson dengan cukup baik. Mereka berdua sedang bercakap-cakap.
William masih menjadi orang kepercayaanya Anson. Memori Anson tentang William tidak terhapus begitu saja. Mungkin karena William sudah mengabdi cukup lama bagi Anson.
"Hai," sapa Alice canggung, berhasil membuat mereka menoleh.
"Ms. White." William mengangguk sopan.
Anson menatap Alice secara menyeluruh. Dia tetap saja merasa asing dengan wanita itu.
"William, dr. Jack berkata bahwa dia adalah calon tunanganku, tapi aku tak ingat apapun lagi. Apakah itu benar?" tanya Anson meminta kepastian pada sang kepala pelayan.
Alice menunduk dalam. Dia merasa kalah. William pasti tahu kebenaranya. Dia dengan lancang mengakui diri sebagai calon tunangan Anson. Apakah kebohonganya akan terbongkar secepat ini?
Alice tersenyum getir. Dia berjalan mundur bermaksud meninggalkan mereka. Jika kebohonganya memang harus terbongkar, Alice tak ingin berada disini. Terpuruk dan tak berdaya.
"Ya. Dia adalah Alice White. Calon tunangan anda," katanya menundukkan kepala semakin dalam dan keluar dari ruangan ini melewati Alice.
Alice menatap kepergian William dengan sorot penuh terimakasih. Apapun alasan William mendukung kebohonganya, Alice patut bersyukur.
Anson mengamati lama sosok Alice. Rambut merah bergelombang, kulit seputih susu, tekstur wajah unik dan artistik, mata keemasan, dan tubuh indah berlekuk yang nyaris sempurna.
Anson menarik bibir, tersenyum tulus. Sesuatu yang baru kali ini ia lakukan untuk Alice.
"Kemarilah," pintanya lirih. Suaranya masih terdengar lemah.
Alice mendekat menatap Anson. Kepala lelaki itu masih diperban. Sebelah matanya yang cacat tampak semakin menganga dengan bekas-bekas sayatan. Apakah Anson merasa kesakitan?
Alice duduk dikursi sisi ranjang. Jemarinya saling menggenggam, berusaha untuk bersikap normal.
"Maaf. Aku bahkan tak mengingatmu sama sekali," ucapnya. Sebelah tanganya menyentuh sisi wajah Alice dengan lembut.
Alice seakan tersentak dengan kontak yang Anson lakukan. Dia menatap Anson semakin intens.
"Tidak masalah. Bukankah ini hanya sementara? " kata Alice terus terang.
Alice menelan ludah. Jika ini memang sementara, ia akan menggunakan waktu singkat ini dengan sebaik-baiknya.
"Ini sedikit sulit diterima," kata Anson sedikit tajam.
Alice menegang. Apakah Anson mencurigainya?
"Kalau begitu. Aku tak akan memaksamu. Jika kau pikir hubungan ini tak akan berhasil, kau bisa pergi dan meninggalkanku." Alice tersenyum getir. Bahkan tanpa ingatan buruknya, Anson masih saja sulit menerimanya.
"Maafkan aku. Aku membutuhkan waktu untuk menerima semua ini." Nadanya melembut.
Alice mengangguk. Memang apa lagi yang ia harapkan? Anson memeluk dan memujanya? Mustahil.
Alice menatap nampan sarapan berisi bubur dan kaldu ayam. Tampaknya belum tersentuh sama sekali. Dia mengambilnya dan menawarkan pada Anson
"Maukah?" tanya Alice lembut.
Anson terdiam cukup lama. Dia menggeleng lemah.
"Tubuhmu membutuhkan asupan." Alice membujuk.
"Bisakah kau membiarkanku sendiri?" pinta Anson.
Alice mendorong kursinya kebelakang secara tiba-tiba. Terdengar suara berderit nyaring. Dia berdiri, meninggalkan Anson.
"Alice," panggil Anson gamang.
Alice menoleh datar. Tampak bibirnya berusaha mengulas senyum.
"Maaf," pinta Anson melemah. Ada rasa bersalah di matanya.
"Tidak apa-apa," jawab Alice ringan.
Alice membuka pintu, menahan semua emosi yang memberontak ingin keluar.
Dari awal dia tahu posisinya. Tetapi kenapa ia tetap saja merasa sakit setiap kali tertolak.
...
Alice menatap nyalang tiga cangkir kopi disisinya. Dengan mata terpejam, ia menyesap cairan hitam kental dari cangkir terakhir yang tersisa. Dinikmatinya efek pahit tersebut dan ditelanya perlahan. Sebuah sensasi yang selalu disukainya.
Alice berdiri di balkon kamar hotel terindah di LA. Dia menikmati angin musim dingin yang mulai menyapa lengan telanjangnya. Pemandangan kota dibawahnya tampak sebagai lampu-lampu kecil berkelap-kelip. Terlihat menggoda. Tampak mempesona.
Selama sepuluh hari lebih Alice telah menempati kamar hotel ini selama ia menemani perawatan Anson. William telah mengurus semua keperluanya. Sepertinya selain sebagai kepala pelayan, William juga dipercaya mengurus keuangan keperluan Anson. Termasuk Alice di dalamnya.
Anson telah mengalami banyak perkembangan selama sepuluh hari terakhir. Dia juga melakukan beberapa terapi dasar. Mungkin sebentar lagi dia akan diijinkan pulang.
Berbanding terbalik dengan perkembangan kesehatan Anson, hubungan mereka justru mengalami penurunan. Anson masih saja menganggap Alice sebagai orang asing. Pembicaraan mereka hanya berkisar hal-hal dasar. Tak ada petunjuk apapun ikatan mereka mampu membaik begitu saja.
Awalnya, Alice berharap dengan status baru yang ia akui sebagai calon tunangan akan mendekatkan hubungan mereka. Dia sempat terinspirasi dari drama dan serial cerita tentang sepasang kekasih kontrak yang mengalami amnesia, hubungan mereka membaik dan semakin romantis. Tapi kau tak bisa menerapkan semua tindakanmu hanya berdasarkan cerita fiktif yang dikarang orang. Nyatanya yang Alice lakukan malah membuat jarak mereka kian melebar, membentuk jurang yang mungkin sebentar lagi menelan mereka tanpa dasar.
Satu-satunya hal positif yang berubah setelah pengakuan dirinya adalah sikap Anson yang tak lagi merendahkan dan meremehkanya. Anson semakin menjaga setiap kata yang ia lontarkan. Mau tak mau Alice merasa dihargai dengam cara Anson memperlakukanya. Setidaknya, kebohonganya menghasilkan sedikit poin tambah.
Alice membawa tiga cangkir kopi yang telah kosong ke ujung ruangan. Perutnya terasa semakin tak nyaman. Mungkin efek cafein yang berlebih. Selama ia berada disini, konsumsi cafeinya semakin menggila, sementara asupan makanya semakin berkurang.
Alice mendengar dering ponsel. Tampak Rachel memanggil untuk ketiga kalinya hari ini.
"Ya Rachel," kata Alice lelah. Dia lelah secara fisik dan emosi.
"Ya Tuhan Alice. Akhirnya kau mengangkat teleponku. Aku telah berfikir mungkin kau sudah mati disana dan aku harus menyiapkan pemakamanmu." Nada Rachel meninggi.
"Aku mungkin akan lebih bahagia jika mati sekarang. Sayangnya aku masih hidup dengan sangat sehat," kata Alice getir.
"Oh. Apakah ada masalah disana? Apakah kondisi Anson memburuk?"Rachel sedikit khawatir.
"Kondisinya membaik. Hubungan kami yang memburuk," ujar Alice putus asa.
"Oh ayolah. Bukankah dari awal hubungan kalian memang buruk? Jangan mainkan drama apapun lagi. Sudah kukatakan mengaku sebagai calon tunanganya bukanlah hal yang tepat. Sekarang pulanglah dan urusi bisnismu. Keuanganmu sudah semakin membaik. Jangan meninggalkanya terlalu lama jika kau tak ingin timbul masalah baru." Rachel terdengar khawatir.
Alice tersenyum. Setidaknya dalam semua keterpurukan, dia masih memiliki Rachel sebagai temannya.
"Kau benar Rachel. Mungkin aku memang harus keluar dari hidup Anson dan mulai menata hidupku kembali. Besok aku akan mencoba membicarakanya pada Anson."
Terdengar teriakan lega dari Rachel. Alice tertawa lepas mendengar reaksi temanya. Sepertinya besok dia benar-benar perlu berbicara serius dengan Anson.
Alice menekan perutnya menahan rasa yang kian tak nyaman. Dasar kopi sialan. Dia harus segera menghentikan kebiasaanya mengonsumsi cairan hitam itu.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Icha
berasa baca harlequin
2020-08-17
0
Atik Supandi
hadirrr
2020-04-01
0
Merry
pasti AIice hamil
2020-03-24
2