Selasa sore Alice menghabiskan waktu dengan berenang bersama Rachel di rumahnya. Karena Rachel seorang pelayan restoran, dia tidak pernah mempunyai libur pada akhir pekan. Liburnya selalu ia ambil setiap awal minggu. Akhir pekan adalah hari yang luar biasa sibuk katanya.
Ponsel Alice berdering disisi kolam. Rachel yang berada disisinya menyerahkanya pada Alice.
Alice menerima ponselnya. Nomor asing. Apakah panggilan ini dari William melalui nomor yang berbeda? Mungkin saja dia meminta Alice mendatangi Anson malam ini. Seharusnya hari ini lelaki itu telah kembali dari urusan bisnisnya, jika jadwalnya tidak berubah.
"Halo."
"Hai Al, ini Daniel. bagaimana ajakanku kemarin? Apakah kau sudah berubah fikiran?" tanya Daniel diseberang. Sepertinya usaha Daniel terlihat sungguh-sungguh mendekatinya.
"Maaf Daniel, sepertinya aku tak bisa." Rachel yang tak jauh darinya menoleh secara kilat mendengar Alice menyebut nama Daniel. Dia berkata tanpa suara apakah Daniel yang Alice maksud adalah Daniel yang sama dulu. Alice mengangguk membenarkan dugaan Rachel.
"Oh ayolah Al. Pesta itu adalah pesta yang akan dihadiri banyak orang yang memiliki koneksi luar biasa dengan bisnis. Tidakkah kau ingin mencoba kesana? aku memiliki beberapa kenalan yang mungkin bisa berguna bagi perkembangan bisnismu." Baiklah. Harus ia akui Daniel merayu dengan cara yang luar biasa.
"Aku tidak tahu. Sepertinya tidak bisa."
"Kau yakin? Bagimana jika disana nanti kau bisa bertemu dengan investor baru atau orang hebat lain yang bisa memasarkan hunianmu dengan baik? tidak menyesal melewatkan kesempatan ini?"
Alice termenung. Keputusanya mulai goyah. Bisnisnya memang membutuhkan investor baru yang lebih kuat. Dia perlu melebarkan sayap.
"Baiklah. Beri aku waktu satu jam. Jika aku bersedia, aku akan menghubungimu kembali di nomor ini," putus Alice. Baiklah. Jika William tak menghubunginya, mungkin itu artinya dia bebas malam ini. Apa salahnya pergi keluar?
"Ada apa antara kau dan Daniel? kisah lama terulang kembali?" Goda Rachel. Alice hanya tersenyum kecut.
"Tidak. Dia hanya mengajakku ke sebuah pesta."
Rachel tampak terkejut. Dia menjerit senang.
"Jangan senang dulu Rachel. Aku dan dia tidak akan pernah ada apa-apa lagi. Cerita itu sudah lama berlalu." Alice berkata tegas. Semenjak pernikahanya dengan Alex, Alice menjadi tidak terlalu percaya dengan ikatan perkawinan. Dia memiliki trauma tersendirì.
"Oh sayang sekali. Kudengar dia semakin tampan dan berdompet tebal. Seharusnya dari awal kau mengincar dia saja dari pada melempar dirimu pada Ansonmu yang brengsek itu." Rachel merutuk kecewa.
"Tunggu. bukankah kau tak lagi bebas saat malam hari?" Rachel mulai teringat sesuatu.
"Dua malam ini Anson pergi mengurus bisnisnya. Saat ini seharusnya dia sudah pulang. Tapi aku tidak dihubungi untuk kesana. Mungkin malam ini aku bebas." Alice menjelaskan. Dia kembali menceburkan diri di kolam, berenang sebanyak dua putaran dan berhenti di depan Rachel. Mereka saling tersenyum. Sepertinya malam ini Alice memang akan ke pesta.
...
Setelah merasa yakin William tidak menghubunginya, Alice memutuskan untuk menerima ajakan Daniel. Alice dijemput olehnya sekitar pukul tujuh malam. Mereka melewati perjalanan dengan beberapa obrolan basa-basi.
Pesta ini diadakan di sebuah rumah model early clasdial revival, sebuah desain rumah klasik mewah yang mengusung arsitektur yunani dan roma kuno. Dengan gaun cokelatnya yang terkesan sopan Alice berbaur bersama tamu-tamu lain. Daniel menuntunya memasuki sebuah ruangan besar dengan atap melengkung seperti kubah. Sepertinya penyelenggara pesta ini bukanlah sembarangan orang. Alice tak menyangka Daniel memiliki koneksi setinggi ini.
Malam ini Daniel menepati apa yang ia janjikan. Dia memperkenalkan Alice dengan seorang wanita berusia lima puluh tahun yang berpotensi menjadi investor. Mereka berbicara panjang lebar dan saling bertukar kontak.
Daniel membawa Alice berkeliling untuk menyapa kenalanya yang lain. Dia terlihat bangga membawa Alice sebagai pendampingnya. Mereka baru saja menyapa leaki tua yang menjadi kolega Daniel saat Alice menemukan sosok yang tak asing.
Alice membeku. Tubuhnya seolah sulit untuk bergerak. Dia menatap tak percaya seorang laki-laki yang berdiri tak jauh darinya. Lelaki itu menggandeng seorang wanita seksi dengan gaun ketat yang menampakkan semua lekuk-lekuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam disanggul diatas kepala.
Bagaimana bisa Anson ada disini?
Anson yang merasa diamati menoleh ke arahnya. Pandangan mereka saling beradu. Tampak keterkejutan yang sama di mata Anson. Namun lelaki itu segera menyesuaikan keadaan. Dia menatap meremehkan ke arah Alice. Disisinya, wanita dengan gaun hitam semakin menggelayut manja, meminta perhatian lebih.
"Apa kau baik-baik saja?" Daniel bertanya curiga.
"Ya. hanya saja ...." Alice tercekat. Dia menatap Daniel dalam, seolah memintanya untuk segera pergi dari sini. Tetapi Daniel tak memahami isyarat yang Alice berikan. Dia justru menatap Anson dan berseru senang.
"Ayo. kuperkenalkan kau pada salah satu kenalanku. Dia orang yang sangat hebat. Dia penguasa bisnis property dan real estate. Asetnya banyak tersebar dimana-mana. Dia mungkin saja bisa menjadi investormu," kata Daniel semangat, menyeret Alice mendekati Anson dan pasanganya.
Ya Tuhan. Jangan. Ku mohon.
"Halo Mr. Mallory. Apa kabar? Saya adalah Daniel Stranger. Saya yang terakhir memasang semua perangkat lunak bisnis anda," katanya mencoba mengingatkan.
Alice merasa kebas. Dia seperti masuk dalam sebuah drama murahan. Dan sialnya, dia menjadi artis yang sangat buruk.
"Ya. Saya masih ingat semua jasa anda Mr. Stranger," kata Anson datar. Dia sama sekali tak tertarik dengan percakapan ini. Pandanganya semakin tajam seolah menembus diri Alice.
"Perkenalkan ini Alice White, teman saya," katanya menyentuh sisi lengan Alice, memintanya semakin mendekat.
Kedua tangan Alice sedikit bergetar. Dia terpaksa mengulurkan tangan memperkenalkan diri, seolah-olah mereka tidak kenal satu sama lain. Sandiwara yang kacau.
"Apa kabar Mr. Mallory, saya Alice White," ujarnya kaku. Sejenak Anson membiarkan saja uluran tangan Alice diudara. Dia seperti tak berminat menyambutnya. Hingga kemudian saat Alice akan menarik diri, Anson barulah menerima niatnya. Ada getaran yang familiar saat jemari mereka bertaut. Alice nyaris berteriak frustasi.
"Dia juga memiliki bisnis di bidang property sebagai developer rumah hunian. Bisnisnya meskipun tidak terlalu besar, namun kuat dan berkembang cepat. Saya berharap anda sudi mempelajari profil perusahaanya. Mungkin anda tertarik untuk berinvestasi jangka panjang padanya." Daniel mulai mempromosikan Alice. Dia tak menyadari suasana yang sudah mulai canggung diantara mereka.
"Jadi kau membawanya ke acara ini hanya untuk membuatnya mendapatkan investor? ini acara amal Mr. Stranger. Aku sedang tak tertarik membicarakan bisnis ataupun keuangan. Jangan mudah untuk dimanfaatkan oleh wanita, jika kau memberikanya sedikit saja kepedulian, mereka akan menuntutmu lebih besar lagi." Anson berkata sinis.
"Maaf Mr. Mallory, saya tak bermaksud begitu. Alice bukanlah wanita seperti yang anda katakan. Semua ini karena inisiatif saya sendiri." Daniel membela wanita disampingnya. Dia semakin erat merengkuh Alice, seolah berniat melindungi.
"Benarkah dia bukan wanita yang seperti itu? Wanita adalah artis yang hebat Mr. Stanger, dia mampu bersikap anggun untuk menutupi moralnya yang rendah. Banyak wanita ****** yang bisa berdandan seperti dewi yang suci, Mr. Stranger," tuturnya sangat menusuk. Semua kata-katanya seolah ia tujukan pada Alice.
"Dia wanita yang sangat istinewa bagi saya, sir." Alice tersentuh dengan setiap pembelaan yang Daniel lakukan untuknya. Tetapi ia semakin merasa tak pantas berdiri disini, menjadi bulan-bulanan Anson.
"Apakah wanita yang kau anggap istimewa itu layak kau bela, Mr. Stranger. Bisa saja dia wanita murahan yang bisa melemparkan tubuhnya pada sembarang lelaki hanya demi uang. Kau terpaksa harus membagi wanitamu dengan lelaki lain. Tak ada yang berharga dari dirinya sama sekali."
Cukup. Alice sudah tak mampu lagi berada disini. Dia menatap Anson dengan penuh kekecewaan.
"Terimakasih atas semua pujianmu Mr. Mallory, kuharap wanita disebelahmu memiliki kualitas yang lebih tinggi dariku." Alice menahan amarah.
"Ya. Tentu saja dia lebih tinggi darimu. Setidaknya dia bukan wanita munafik dan suka berpura-pura," ucapnya terlalu menusuk. Alice berbalik arah dan meninggalkan mereka semua, tak menghiraukan panggilan Daniel yang terdengar khawatir.
Alice menghabiskan setengah jam lebih di dalam kamar mandi. Dia hanya duduk diatas closet tanpa melakukan apapun. Menunggu amarahnya reda. Dia juga perlu memulihkan harga dirinya lebih dulu.
Alice menghubungi Daniel dan mengatakan bahwa ia telah pulang terlebih dahulu. Tampaknya hal tersebut tak berhasil membungkam Daniel. Dia masih saja menelpon berulang kali untuk menanyakan kondisinya. Namun Alice bertekad tidak akan menghiraukan. Dia semakin merasa tak pantas untuk lelaki setulus Daniel. Sudah seharusnya dia menjauhinya mulai sekarang.
Setelah merasa tenang, Alice keluar dari bilik toilet. Alice membenarkan sedikit riasanya dan berjalan hati-hati menuju arah pulang. Dia memilih jalan yang sedikit sepi, menghindari berpapasan dengan Daniel.
Setelah berhasil keluar gerbang, Alice mengamati keadaan sekitar untuk mencari taksi. Alice tak yakin jalur ini akan dilewati taksi mengingat daerah ini merupakan kawasan perumahan elit yang menjaga prifasi penghuninya dengan ketat. Sepertinya dia harus berjalan keluar dari kawasan dan mencari taksi di jalan utama nanti. Alice mendengus. Oh ayolah. Berjalan jauh dengan heels setinggi sepuluh centimeter bukanlah kegiatan yang menyenangkan.
Belum lama Alice berjalan, dia merasa didekati sebuah mobil Rolls-royce hitam.
"Masuklah." Sebuah suara yang tak asing. Milik seseorang yang sebelum ini melemparinya dengan kata-kata kejam.
Alice tersenyum sinis. Dia menatap Anson yang telah menghentikan mobil di sisinya. Wanita bergaun hitam yang tadi menemaninya telah lenyap. apakah ia telah membuangnya? Benar-benar lucu.
"Tidak!" tolak Alice.
"Jangan memancing amarahku. Apakah kau ingin aku menyeretmu langsung?" kata-katanya tak main-main. Lelaki itu keluar dari mobil dan berjalan tergesa kearah Alice.
"Baiklah. aku masuk." Alice membuka pintu penumpang dengan terburu-buru. Dia tak yakin sanggup menghadapi kemarahan Anson kali ini.
Setelah mereka berdua berada didalam mobil, Anson memutar sebuah lagu klasik untuk memecah keheningan. Alice tertawa dalam hati, merasa lagu itu tak akan pernah bisa cocok untuk lelaki sekejam Anson.
"Apakah kau juga melakukan transaksi pada lelaki itu? berapa hargamu kali ini?" Anson melemparkan pertanyaan yang menyesakkan. Alice bahkan tak tahu harus menjawab bagaimana.
"Terserah kau mau bilang apa, Anson. Aku benar-benar tak peduli," kata Alice pasrah. Dimata Anson dirinya hanyalah seorang wanita rendahan, biar saja dia berfikir buruk tentangnya.
"Jadi kau memang semurah itu. Apakah uang yang ku berikan tak cukup? Hingga mencari lelaki lain untuk menambah pemasukanmu?" Anson mencemooh.
"Mungkin. kau tahu wanita dengan sangat baik, Anson." Alice memejamkan mata, memilih menyerah dengan semua tuduhan Anson. Seribu kali ia menjelaskan tidak menjamin Anson mampu percaya.
"Kalau begitu, biar ku tunjukkan apa itu keliaran yang sebenarnya, Alice," katanya menjanjikan. Tatapan matanya menatap wanita disampingnya penuh arti.
Alice membuang wajahnya ke jendela, merasa semakin terjebak dengan situasi ini.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
airanur
orng br'duit biasa nya bisa ng'lacak posisi alis,, gmna khidupn nya,, ini mh diem² bae,, jadi weh pmbaca esmosi,, gereget tau,, 🤭🤣
2022-08-26
1
Wahyu
berasa LG baca novel terjemahan dari luar negeri thor
2020-07-27
6
syafa
nie Anson tanda tandanya udah ada rasa
2020-05-01
1