Anson menggendong Axel dengan penuh perasaan. Dia menatap mata elang putranya, mengecup keningnya dan bersenandung lirih mencoba menidurkan.
Sulit untuk menbuat Axel tertidur. Makhluk mungil ini selalu menuntut untuk menyesap ASI, sementara para pengasuh hanya mampu memberinya susu formula. Sepertinya, tiga hari bersama ibunya telah mampu membuat mereka terikat. Seharusnya Anson tidak mengijinkan Alice menyentuh putranya selama itu.
Alice.
Nama itu telah menjadi nama yang terlarang baginya. Sejak awal seharusnya ia menyadari wanita itu terlalu berbahaya. Wanita secantik dia, sesempurna dia, seindah dia, bagaimana mungkin mencintainya secara tulus.
Dari awal, wanita hanyalah sebuah antagonis yang selalu terpaksa ia masukkan peranya ke dalam kehidupanya yang gersang. Mereka hanyalah sebuah transaksi yang ia sepakati jenis pembayaranya. Tak ada yang berbeda dari mereka.
Alice datang, mengaku sebagai calon tunanganya, sesuatu hal yang sangat mustahil untuk terjadi. Dia bersandiwara dengan sempurna layaknya dewi penggoda. Keluguan dan ketulusanya nyaris menghancurkan semua yang Anson miliki. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia sanggup memberikan apapun untuk seorang wanita. Apapun ... hanya untuk membuat wanitanya tersenyum. Wanita yang ia kira menjadi miliknya.
Namun semuanya bagaikan fatamorgana sesaat. Anson ditakdirkan sendiri. Dia tidak layak untuk ditemani, dalam segala hal.
Pantas saja Alice selama ini selalu menolak menikahinya. Dulu ia sempat mengira alasan Alice memang tulus. Namun sekarang ia tahu alasan itu hanyalah sebuah alibi baginya agar tak pernah terikat dengan Anson. Wanita itu mungkin jijik. Mungkin tak sudi. Mungkin juga muak untuk mengikat janji suci dengan sosok yang tak sempurna seperti dirinya. Alice hanya memanfaatkan keadaan selama mungkin untuk mengeruk keuntungan dari Anson. Setelah ia puas mengambil, ia akan pergi tanpa dibebani ikatan mereka. Sangat cerdas.
Empat bulan lalu saat Anson menyadari semuanya, ia merasa sangat marah. Marah dengan Alice. Marah dengan keadaan. Marah dengan dirinya sendiri.
Ternyata Alice hanyalah simpananya, wanita bayaran , wanita yang rela tunduk demi lembaran dollar.
Anson sempat terjebak. Ada saat-saat dimana ia ingin menjaga rahasia itu, hanya agar bisa memiliki Alice. Ada saat dimana dia ingin terus berpura-pura, hanya untuk membohongi dirinya sendiri lebih lama.
Andai ia tetap diam dan memilih tidak tahu? Apakah ia mampu mempertahankan Alice sepanjang hidupnya? berapapun yang Alice ambil darinya, mungkin ... jika akhirnya wanita itu berhasil ia miliki, Anson tak akan keberatan.
Namun semua itu mustahil. Alice bagaikan lebah. Dia menyesap setiap madu dari ribuan mahkota bunga, dan tetap akan mencari mahkota lainya lagi. Kebebasan adalah segalanya. Selama ada yang menggodanya dengan iming-iming besar, dia pasti akan menerima.
Ketidak setiaan Alice adalah sebuah hal yang konstan. Dia tak akan terikat hanya dengan satu lelaki sepanjang kehidupanya. Mustahil bagi Anson memilikinya secara penuh.
Anson telah melihat riwayat Alice. Ada Alex, mantan suaminya. Ada Daniel, mantan kekasihnya. Dan ada dirinya, mantan kekasih gelapnya.
Profil perusahaan Alice menjelaskan kebangkrutan besar saat dipegang oleh Alex. Anson yakin pasti penyebab kebangkrutan itu adalah gaya hidup Alice yang berlebihan. Setelah Alex meninggal, perusahaanya membaik dengan cukup signifikan. Anson curiga proses itu terjadi karena Alice menggunakan daya tariknya sebagai nilai jual.
Anson menjadi salah satu korbanya. Bukan hal yang mustahil juga andai Alice melakukan transaksi serupa dengan lelaki lain.
Setelah cukup lama Anson menidurkan Axel, dia membaringkan bayinya dengan perlahan. Dengan penuh kasih sayang ia mencium putranya lembut, seolah menjanjikan bahwa segalanya baik-baik saja.
"Kita akan menciptakan surga kita sendiri, putraku. Kita tak perlu kehadiran ibumu," ucapnya protektif.
Anson berjalan keluar, meninggalkan suara lembut putranya yang tertidur lelap.
"Tuan." William menyapa Anson di balik pintu kamar. Sepertinya dia cukup lama menunggu kehadiranya.
" Saya mendapat informasi Ms. White telah empat kali mengunjungi rumah lama anda selama seminggu ini," katanya menundukkan kepala.
"Dia belum tahu alamat rumah ini, bukan?" tanya Anson tajam.
"Sepertinya, belum Tuan."
"Baguslah. Biarkan dia melakukan apapun yang dia inginkan, selama itu tak mengganggu kita. Dia hanya mencari cara baru untuk mengambil perhatian agar aku bersedia mendanainya lagi," ucapanya ketus.
Setelah Anson membawa Axel pergi bersamanya meninggalkan Alice, dia memutuskan untuk memenangkan hak asuh Axel secara hukum. Tak peduli dia harus melalui cara kotor ataupun jika dia harus mengumbar kebejatan Alice. Pengacaranya telah bekerja untuk membuat tuntutan hukum yang berlaku andai Alice menentangnya.
Selain rencana pemgambilan hak asuh, Anson juga memutuskan untuk meninggalkan rumah lamanya dan mencari rumah baru yang lokasinya cukup sulit ditemukan. Dia tak ingin terjebak terlalu lama dengan rumah yang nyaris setiap dindingnya berisi kenangan tentang Alice.
"William."
"Ya, Tuan."
Anson menatap pelayanya lama. Fikiranya terlihat tak tenang.
"Kau tahu dari awal Alice hanya wanita simpananku. Kenapa kau mendukung kebohonganya dan mengakui sebagai calon tunanganku?" tanya Anson dalam.
William sedikit mendongak, menangkap sekilas kemarahan yang terpendam dalam mata elang milik lelaki yang telah lama ia layani.
"Karena saya berharap, Anda akhirnya akan menemukan kebahagiaan," ujarnya penuh ketulusan.
Anson terkekeh getir. Bahkan pelayanya mulai memimpikan sesuatu yang mustahil.
"Dia bukan kebahagiaan. Dia lambang dari kehancuran. Kali ini aku memaafkanmu. Jangan pernah lakukan kebohongan lagi padaku," pinta Anson tegas.
...
Alice terbaring, matanya terbuka nyalang. Semua kekuatan yang ia miliki telah berada di titik terendah. Semua kepercayaanya telah terkoyak dengan sangat parah. Tak ada apapun yang tersisa untuknya.
Apakah kau tahu definisi kehancuran? Saat kau merasa kehilangan sesuatu yang menjadi poros hidupmu? atau saat harapanmu dihempaskan dengan kejam? atau saat kau ingin berjuang dengan semua yang kau miliki dan terbentur ketidak berdayaan?
Jika semua itu adalah definisi kehancuran, mungkin Alice telah mengalami klimaks puluhan kali dengan keadaan yang demikian. Kesedihanya bergulung semakin membesar setiap detiknya. Dia tak pernah pernah mengira kehilangan mampu memporak porandakan seseorang.
Pantas seseorang bisa divonis gila karena kehilangan. Pantas seseorang mampu bunuh diri karena kehilangan. Karena hal itu menjadi tragedi yang sesungguhnya dalam sebuah kehidupan. Tuhan memiliki caranya sendiri dalam mendidik makhluknya .
Alice berbalik, merasa tak nyaman dengan payudaranya. ASI nya terus saja berproduksi sementara bayinya tak lagi ada di sisinya. Membuat ia sangat menderita setiap saatnya. Bukan hanya payudaranya yang terasa sakit. Hatinya puluhan kali lebih sakit dan tersiksa.
Anson lenyap bagai ditelan bumi. Keberadaanya bagai angin yang terhapus begitu saja.
Sepulangnya Alice dari rumah sakit, William mengantarnya ke rumah dan membawakan serta semua barang-barang miliknya dari rumah Anson. Termasuk semua perhiasan yang diberikan Anson untuknya. Saat itu Alice melemparkan semua perhiasan itu dihadapan William dan mencaci makinya. Namun kepala pelayan itu tentu saja tak mengindahkanya. Kesetiaan utamanya hanya untuk Anson. Alice bagaikan pengganggu kecil yang merepotkan.
Alice mendatangi rumah Anson dua hari kemudian. Dengan terkejut, rumah besar itu telah kosong tanpa seorang pun penghuni. Gerbang utamanya tertutup rapat dan tak ada aktifitas apapun di dalamnya. Alice tetap meyakinkan diri mendatanginya berkali-kali, berharap rumah itu akan kembali berpenghuni. Namun nihil. Sepertinya Anson berniat untuk pergi menjauh dari Alice, ke tempat yang ia tahu tak mungkin Alice jangkau.
Alice lelah untuk menangis, Alice lelah untuk menghujat, Alice lelah untuk memberontak. Dia bahkan tak memiliki motifasi untuk melanjutkan hidup. Rachel sudah nyaris gila menghadapi kondisi sahabatnya.
Alice, hanya sebuah makhluk bergerak yang semakin lama kehilangan emosinya. Jiwanya terlalu kacau untuk menerima perbaikan.
Suara bel terdengar. Beberapa saat kemudian, terdengar suara bip pelan, menandakan sang tamu memiliki akses untuk memasuki rumah miliknya. Pasti Rachel. Dia memiliki kode akses keamanan rumah ini.
Alice berdiri dengan lemah, berjalan keluar kamar melewati beberapa ruangan dan mendapati Rachel telah berada di ruang utama. Bersama Daniel.
"Hai Rachel, Daniel ... selamat berkunjung. Ambillah minuman di belakang dan anggap saja rumah sendiri," katanya datar, bersiap meninggalkan mereka.
Daniel telah mengetahui keseluruhan ceritanya, Alice tak perlu lagi berpura-pura dihadapanya. Setidaknya kejujuran Rachel tempo dulu pada Daniel tentang kondisinya, membuat Alice sekarang tak perlu bersandiwara.
"Alice, apakah kau sudah makan?" Rachel bertanya khawatir.
"Aku tak tertarik makan," kata Alice dengan ekspresi kosong. Ya Tuhan, Rachel semakin ikut kacau oleh kehancuran yang menimpa Alice.
"Mari kita buat sesuatu dan makan bersama di dapurmu. Kupikir, Daniel cukup handal untuk menjadi koki." Rachel mengedipkan sebelah matanya pada Daniel, memberi sinyal.
"Aku tak tertarik." Alice berjalan pergi meninggalkan mereka.
Daniel dan Rachel saling berpandangan. Seolah-olah mereka saling memperingatkan satu sama lain tentang kondisi mental Alice.
"Al, Daniel memiliki sebuah informasi untukmu tentang Anson. Kufikir kau pasti akan tertarik. Kita bicarakan sambil makan malam," pinta Rachel, membujuk Alice secara halus. Sahabatnya itu perlu makan untuk tetap hidup. Rachel tak ingin menemukan jenazah Alice yang membeku kelaparan karena depresi.
Alice membalikkan badan secepat kilat, matanya menyorot penuh pengharapan pada mereka. Ini adalah ekspresi pertama yang Alice tunjukkan selama seminggu ini. Rachel merasa sedikit lega.
"Apakah kau mencintai Anson?" Daniel bertanya datar. Dia sudah berusaha melepaskan wanita ini secara perlahan dari hatinya. Bagaimanapun juga, melihat Alice hidup dengan baik lebih ia sukai daripada melihatnya hancur perlahan. Daniel tak keberatan untuk menarik Alice kembali agar hidup lebih lama. Setidaknya, dia perlu membantunya.
"Ya," Jawab Alice mantap.
Daniel tersenyum kecil. Rasa sakit itu masih saja ada.
"Apa kau tahu siapa Anson sesungguhnya?" tanya Daniel memancing respon Alice.
"Siapapun dia, aku sudah terlanjur mencintainya," kata Alice tanpa ragu.
"Kau tak tahu siapa dia, Alice. Apakah kau tahu kronologi kecacatanya dan semua peristiwa yang melatar belakanginya? Masihkah kau akan tetap mencintainya setelah kau tahu jati dirinya yang sesungguhnya?" tantang Daniel penuh keyakinan. Dia penasaran, apakah wanita dihadapanya ini akan tetap bertahan dengan emosinya andai Daniel beberkan semua riwayat kelam milik Anson?
"Siapa dia sebenarnya, Daniel?" Alice menatap penuh rasa ingin tahu
"Dia adalah iblis yang tanganya berlumur darah, bahkan hingga saat ini."
...
Hayo... coba tebak bang Anson punya rahasia apa 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
airanur
anson bodoh,, mana uang mu itu,, katanya bnyk, tapi gk bisa cari inpo mslh alis
2022-08-26
0
Lilyana Willy
Mafia kelas kakap
2020-07-07
1
ChauLa
hissshh,..si thOr dEmEn tEbAk2an..
ada jAck pOt nya y...😁
2020-07-04
1