Sudah tiga hari Alice tidak dihubungi oleh William. Tidak masalah. Anson adalah seorang pebisnis yang sibuk, yang memungkinkan dirinya mengurus banyak hal. Seharusnya itu adalah alasan yang mampu diterima Alice.
Menyedihkanya, Alice tak semudah itu menerima. Ada sedikit egonya yang mengharapkan Anson menginginkanya kembali, setiap hari, sebagaimana yang Alice rasakan. Alice menyibukkan diri dengan pertemuan-pertemuan kolega dan memeriksa keadaan finansialnya yang telah membaik. Namun adaemosi yang tak bisa dipadamkan begitu saja. Bayangan Anson, membuat semua logikanya lenyap.
Setelah keadaan itu berlangsung nyaris sepuluh hari, Alice sudah tak mungkin lagi berkonsentrasi dalam hal apapun. Dia bahkan mulai mengalami sindrom insomnia. Semua fikiranya kalut memikirkan Anson.
Setelah dua minggu tak ada perkembangan apapun, Alice mengambil keputusan untuk menghubungi William terlebih dahulu. Setidaknya, jikan Anson bermaksud mengusir Alice, dia butuh mendengarnya secara langsung.
"Halo William." Alice membuka percakapan.
"Siang Ms. White, ada yang perlu dibantu?" Suara kepala pelayan terdengar kalut.
"Tidak. Aku hanya ingin memastikan apakah anda mendapat pesan dari Anson untuk memintaku berkunjung? Aku perlu memperjelas sesuatu," Kata Alice.
"Maafkan saya tak menghubungi anda Ms. White. Tetapi tuan baru saja mengalami kecelakaan. Tidak ada pemberitahuan apapun dari beliau"
Fakta yang disuguhkan William memukul telak harapan Alice.
"Kecelakaan? kapan?"
"Dua minggu yang lalu."
Bagus. Tidak ada yang menghubungi Alice sama sekali mengenai ini. Alice meradang.
Alice tersenyum getir. Tentu saja William tak akan repot-repot menghubungi, memangnya dia siapa? Hanya wanita simpanan.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Alice syok.
"Masih kritis." William seperti tak terlalu senang mendapat banyak pertanyaan dari wanita yang dianggapnya sebagai orang luar.
"Bisakah anda memberikan alamat rumah sakit dimana Anson dirawat?"
William terdiam sejenak. akhirnya dengan enggan dia menyebutkan sebuah alamat rumah sakit. Alice memejamkan mata mendengar alamat yang disebutkan. Sial. Rumah sakit itu terletak di negara bagian yang lumayan jauh. Alice harus bergegas mengambil penerbangan malam ini juga jika ia ingin segera sampai di sana besok.
Alice membeli tiket pesawat melalui sistem online dan segera meninggalkan kantor. Ia pulang ke rumah untuk membawa sebagian pakaian dan barang-barang penting ke dalam koper, mematikan seluruh lampu dan menghidupkan sistem alarm.
Anson kritis. Dia tak tahu akan berapa lama kepergianya kali ini. Mungkin ada baiknya jika ia menghubungi Rachel.
Setelah mengirimkan pemberitahuan singkat bahwa ia akan terbang ke LA malam ini melalui pesan suara, Alice mengantongi kembali ponsel ke dalam jaket kulitnya. Dia membawa beberapa penutup kepala dan pakaian hangatnya. Sebentar lagi musim dingin. Suhu cuaca pasti akan lebih menurun.
Setelah melakukan perjalanan menuju bandara terdekat, Alice menitipkan mobilnya di penitipan sekitar dan mencari sebuah restoran cepat saji untuk mengisi perut.
Alice memesan hidangan taco, tuna sandwich dan secangkir black coffee. Dia memejamkan matanya, menahan perasaan mual yang melanda. Mungkin kabar kecelakan Anson terlalu mengejutkanya, sehingga sistem tubuhnya ikut bereaksi. Secangkir kopi pasti bisa memperbaiki kondisinya.
Memikirkan Anson membuat Alice merasa kacau. Lelaki itu telah berhasil menariknya. Bukan hanya perasaanya saja yang membara, namun emosi-emosi lain pun iku bermunculan. Membuat Alice menyadari reaksi ini hanya ia rasakan untuk Anson. Bahkan Alex pun tidak bisa membuatnya seperti ini.
Kehidupan bisa menjadi sebuah tragedi untuk sebagian orang. Alice menjadi salah satu diantaranya. Ia sering membayangkan seandainya mereka bertemu dalam situasi lain, saat keuanganya baik-baik saja dan kehidupanya normal, apakah mungkin lelaki seperti Anson mampu meliriknya dengan cara yang berbeda? Apakah mereka akan memiliki kisah yang lebih baik?
Namun Alice tidak bisa terus terjebak dengan khayalan. Yang terjadi adalah ia bertemu Anson dengan keadaan dirinya yang telah berada di titik terendah dan melakukan kesepakatan murahan tanpa malu. Siapapun lelaki normal yang bisa berfikir rasional, pasti tetap akan menilainya rendah.
Setelah hari mulai petang, Alice berjalan dengan fikiran yang semakin kalut menuju bandara untuk melakukan check in. Emosinya semakin tak mudah dikendalikan. Perutnya seperti memprotes dan kian tak nyaman. Bahkan setelah Alice melakukan penerbangan nyaris selama lima jam, kondisi mentalnya tak kunjung membaik.
Dengan wajah yang sudah menyerupai zombi, Alice mencari motel terdekat. Dia memutuskan untuk menunggu pagi sebelum ia mengunjungi tempat Anson dirawat. Sepertinya malam ini ia membutuhkan banyak cafein lagi untuk menetralkan diri.
...
Keadaan Anson masih belum stabil. Dia belum mendapatkan kesadaranya. Meskipun Alice merasa lega saat William menyampaikan bahwa Anson telah berhasil melalui masa kritis. Pupilnya sudah mulai merespon cahaya dan kondisi vitalnya sudah mulai membaik.
Selama ini William lah yang menemani Anson di rumah sakit. Dia adalah satu-satunya orang yang sepenuhnya mengurus Anson. Bahkan dia juga yang mengurus semua administrasi. Dari pembicaraan William yang mampu Alice tangkap, tampaknya semua keluarga Anson telah lama tiada. Sebuah kondisi yang sama dengan yang Alice alami.
Alice memasuki ruang di mana Anson berada. Lelaki itu masih ditempatkan di UGD. Dokter menunggu keadaanya benar-benar membaik sebelum memutuskan untuk memindahkanya pada ruang rawat.
Alice merasa hatinya nyeri melihat Anson terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan. Sekilas keadaan Anson terlihat normal karena hanya bagian kepala dan lengan kirinya saja yang dililit perban. Namun, cedera kepala itulah yang menyebabkanya kritis.
William telah memeriksa CCTV tempat kejadian perkara. Kepala pelayan itu menjelaskan CCTV menunjukkan bahwa kecelakaan itu terjadi karena Anson ditabrak dengan cukup keras saat akan menghadiri pertemuan bisnis oleh seorang remaja bermotor hingga Anson terpelanting ke sisi jalan dengan kepala terlebih dahulu. Meskipun kondisi tubuhnya baik-baik saja, namun kepalanya mengalami cedera parah. Terjadi pendarahan hebat di kepala.
Remaja tersebut telah berhasil ditahan, namun dilepaskan kembali karena dia tidak cukup umur menerima tuntutan sidang.
Alice duduk di sisi ranjang menatap Anson prihatin. Beberapa alat untuk membantu pernapasan dan pendeteksi denyut jantung masih belum terlepas dari sisi Anson. Mungkin keadaan Anson masih cukup parah sehingga dokter tak ingin mengambil resiko.
Alice menggenggam jemari Anson dengan lembut. Dia melihat suatu alat sensor seperti penjepit terpakai diujung jemari telunjuk kanan Anson. Alice berhati-hati untuk menyentuh di bagian yang aman dan mengusapnya penuh perasaan.
"Hai bigman, aku dengar keadaanmu telah membaik. Cepatlah sadar dan segera pulang," bujuk Alice tercekat.
Melihat Anson seperti ini, lemah tak berdaya, membuat emosinya kacau.
"Apa kau tak merindukan putrimu? Kimi pasti telah merindukanmu juga," katanya berdialog seorang diri.
Bayangan gadis kecil dengan rambut hitam lebat terbayang di fikiran Alice.
"Aku tahu mungkin kau tak merindukanku. Tapi maukah kau membuka mata dan membuatku lega? Berbaik hatilah menyenangkanku kali ini." Alice meneteskan dua bulir air mata di ujung kalimatnya.
"Tahukah kau Anson. Kau adalah ******** yang telah berhasil merebut hatiku." Alice tersenyum getir.
"Dan aku telah menjadi wanita bodohmu yang menyerah dengan emosi. Padahal hubungan kita adalah sebuah tragedi. "
Alice berdiri menatap tekstur wajah Anson yang datar.
"Sekarang. Karena kau telah berhasil menarikku ke sini, beri aku hadiah. Bukalah matamu dan sadarlah Anson. Aku tak peduli seburuk apa kau memperlakukanku. Selama kau masih hidup, itu sudah menjadi hadiah terbesar bagiku." Alice mengecup lembut dahi Anson, mengusap luka permanen Anson di bagian mata kirinya dan kembali terduduk lemah.
Tak berapa lama kemudian, seorang dokter memasuki ruangan mereka. Dia membawa beberapa peralatan medis dan meminta ijin untuk mengontrol kondisi Anson.
"Apakah anda keluarga terdekat pasien?" Tanya dokter yang memperkenalkan diri sebagai Jack Turner.
"Ya. Saya Alice White, calon tunanganya" Alice berbohong secara spontan. Tidak mungkin dia akan mengatakan sebagai simpanan, bukan?
Dokter Jack membuka kelopak mata Anson, menyinari dengan sebuah alat dan menuliskan sesuatu di kertas laporanya. Dia juga mengecek kembali perban kepala Anson untuk memeriksa apakah terjadi pendarahan lagi atau tidak.
"Baiklah Ms. White, bisakah kita bicara di ruanganku sebentar?" Dokter itu tampak serius. Sepertinya dia ingin menyampaikan informasi penting.
Alice mengangguk, mengikuti dokter Jack dengan perasaan yang semakin kalut.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Ainun Najib
semoga setelah sadar akan baik pd aline
2021-02-14
0
Ning Nuri
ceritanya bagus sekali....
2020-11-03
0
👑 N¡e©hα💣
anaknya pengen ama bpaknya itu.. hhhhh
2020-07-18
0