Anson menatap Alice terkejut. Wajahnya tampak sedikit berbahaya. Alice duduk beringsut menjauhi Anson.
Bagus. Sekarang Anson terlihat mulai marah.
"Kau tak ingin menikah denganku?" tanya Anson dingin.
Alice mencari kata-kata yang tepat untuk memberikan penjelasan. Tatapan Anson berhasil mengintimidasinya.
"Apa kau juga tak menginginkan bayi ini? Kau berniat menggugurkanya?" tuduh Anson.
Alice memang tak berencana menciptakan bayi. Dengan situasi mereka yang kacau dan hubungan mereka yang mengerikan sebelum ini, tentu saja Alice tak mengharapkan anak yang hadir ditengah-tengah mereka. Namun bukan berarti Alice sanggup menyingkirkanya setelah janin ini memilih tumbuh dan bertahan dalam rahim miliknya. Tidak. Ia tak akan pernah sanggup membayangkan janinya diambil paksa dan dihentikan nafas kehidupanya.
"Aku tak ingin kita menikah dalam kondisi yang seperti ini. Hubungan kita belum berhasil diperbaiki. Bagaimana bisa kita memutuskan untuk menikah?" Alice bertanya skeptis.
"Tapi kau mengandung anakku.Apa kau berniat membiarkan anak ini lahir tanpa orangtua yang lengkap? " Anson berargumen.
"Percayalah, Anson. Aku menginginkan yang terbaik untuk anak ini. Tapi masalahnya ingatanmu masih belum pulih. Aku tak ingin menikah dalam keadaan seperti ini. Kau bisa saja menyesal menikahiku setelah ingatanmu kembali." Alice menjelaskan setengah putus asa.
"Bukankah kau calon tunanganku? jika ingatanku kembali, aku hanya akan semakin yakin untuk menikahimu. Tidak akan ada penyesalan."
Ada. Anson. Kau akan membenciku setengah mati karena berfikir aku menjebakmu ke dalam pernikahan dengan wanita bayaranmu sendiri. Setelah ingatanmu kembali, hidupku akan menjadi seperti neraka jika terlanjur menikah denganmu. Alice membatin getir.
"Kalau begitu. Tunggulah ingatanmu kembali dan nikahilah aku. Jika aku menikahimu saat ini, aku hanya akan dituduh memanfaatkan kondisimu." Alice keras kepala. Dia telah memutuskan apapun yang terjadi, dia tak akan pernah menikahi Anson selama kondisi ingatanya masih kacau.
"Bagaimana jika ingatanku tak kembali?" tantang Anson.
"Kita lihat saja nanti. Aku yakin pasti akan kembali" Alice menatap Anson, menantangnya sengit.
Anson terkekeh melihat betapa keras kepalanya wanita ini. Dia merasa menemukan lawan yang seimbang.
"Baiklah aku akan melamarmu nanti setelah ingatanku pulih. Sebelum itu terjadi, mari kita berdamai dan mulai memperbaiki hubungan kita. Beri aku kesempatan untuk mengenalmu dari awal," pinta Anson menggenggam tangan Alice. Dia meremasnya pelan, menjanjikan banyak hal.
...
Setelah keadaan Alice membaik, Anson memutuskan membawa Alice kembali ke New York keesokan harinya. Anson berhasil membujuk Alice tinggal bersamanya, mengingat kondisi Alice masih lemah dan membutuhkan pengawasan darinya. Beberapa baju dan keperluan pribadi diantarkan oleh Rachel. Sahabat Alice itu tampak meragukan keputusan gegabah Alice untuk tinggal bersama. Namun Rachel cukup tahu diri untuk tidak mendebat Alice secara langsung. Dia hanya mengedipkan matanya dua kali, memberikan alarm peringatan.
Anson memaksa Alice untuk menyantap makan siang sebelum akhirnya ia menempatkan Alice di sebuah kamar yang berhadapan dengan kamar utama miliknya. Anson menyuruh Alice untuk beristirahat dan meninggalkanya seorang diri.
Alice tidur lebih dari empat jam. Dia berendam air panas beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Saatnya kembali melakukan aktifitas. Dia tak ingin diperlakukan sebagai pesakitan selamanya.
Hari telah cukup petang saat ia menuruni tangga melingkar, mencari keberadaan Anson.
"Ms. White. Makan malam sebentar lagi siap," kata Willian dari bawah.
"Ya. Aku akan ke ruang makan. William, dimana Anson?" tanya Alice.
"Tuan baru saja kembali dari urusan bisnis. Dia sedang mandi di lantai atas. Tunggulah di ruang makan. Sebentar lagi tuan pasti menyusul ke bawah."
Alice menggelengkan kepala. Workaholic sejati. Bagaimana lelaki itu masih memiliki stamina untuk bekerja padahal dia baru saja sembuh dari sakit?
Alice berjalan perlahan menuju ruang makan. Dia sudah merasa familiar dengan setiap ruangan rumah ini. Tak jauh dari tempatnya berada, Alice mendengar suara Kimberly dan Susan dari arah dapur. Sepertinya mereka sedang sibuk membuat sesuatu.
"Hai kalian. Sedang sibuk?" tanya Alice melihat gadis enam tahun dengan kuncir ekor kuda sedang mengaduk tepung di sebuah wadah plastik.
"Hai Alice. Aku tak berhasil menyingkirkan anak ini dari tadi. Dia sangat mengganggu," keluh Susan namun dengan wajah berbinar riang. Sepertinya dia sama sekali tak keberatan dengan keberadaan Kimberly.
"Hai Alice. Aku sedang membantu Susan membuat kue. Kau mau melakukanya juga?" tawar Kimberly dengan wajah polos. Dia menyodorkan wadah miliknya.
"Oh baiklah. Kupikir tidak ada salahnya membantu putri cantik sepertimu," kata Alice mencubit sebelah pipi Kimberly.
"Kupikir aku tak akan bisa melihatmu lagi. Aku sangat senang melihatmu datang ke rumah ini. Apakah kali ini kau akan berada lama di sini?" tanya Kimberly penuh harap.
Alice menatap prihatin pada gadis kecil disampingnya. Sepertinya, dia cukup merasa kesepian.
"Mungkin ya, kita lihat saja nanti," jawab Alice jujur.
"Hai gadis nakal. Masukkan ini kedalam adonanmu." Susan memutus pembicaraan mereka. Dia mengangsurkan dua telur dan beberapa bahan kue. Kimberly menerimanya dengan tawa riang.
"Dad neninggalkanku cukup lama kemarin. Katanya dia mengalami kecelakaan di tempat yang cukup jauh. Susan selalu melarangku untuk menyusul Dad. Apakah kau bersama Dad saat itu? Katanya kepala dan tangan kiri Dad diperban." Kimberly melanjutkan kembali pembicaraanya dengan Alice. Wajahnya semakin membulat penuh ekspresi.
"Ya. Aku disana. Dokter sudah melepas semua perban ayahmu, dia sudah sembuh dan bisa beraktifitas lagi. Yang terpenting sekarang dia sudah pulangkan? kalian bisa bermain bersama kembali." Hibur Alice menyentuh sisi wajah Kimberly. Wajah anak itu menjadi berwarna putih ternoda tepung. Mereka saling tertawa.
"Apa kau akan bermain bersama kami? Dad tak pernah mengijinkanku bermain bersama teman-temanya selama ini."
Teman yang dimaksud Kimberly pastilah teman yang memiliki arti tersendiri bagi Anson. Sebelumnya, Alice juga menjadi salah satu diantaranya. Dia tak tahu akan sejauh mana Anson mengijinkan Alice untuk memasuki kehidupan mereka.
"Entahlah Alice. Aku harap aku bisa," jawab Alice jujur. Susan yang mendengarnya hanya berdehem pelan, seolah ingin menghentikan pertanyaan Kimberly yang tak ada habisnya.
"Hai Kimi. Merindukan Dad?" Alice menoleh terkejut. Anson telah berdiri di ujung dapur merentangkan tanganya menyambut Kimi yang berlari kearahnya dengan histeris.
Alice mengamati mereka penuh haru. Dia merasa Anson telah berhasil menjadi ayah yang hebat untuk Kimberly.
"Pergilah kalian. Aku akan melanjutkan kue ini. Setengah jam lagi makan malam pasti telah siap," kata Susan riang. Dia mendorong Alice dan Anson dari dapur.
"Dad bolehkah Alice membacakanku cerita?" pinta Kimberly penuh harap. Alice tersenyum lemah. Dia masih ingat terakhir kali Kimberly meminta hal yang sama, Anson menolaknya keras.
"Baiklah. Bagaimana kalau kita mendengar cerita Alice di ruang tengah?" tawar Anson tersenyum.
Alice mengikuti mereka dengan perasaan yang semakin membuncah. Harapan-harapanya mulai berhamburan keluar satu persatu.
Alice menghabiskan waktu yang cukup lama dengan mereka. Bahkan setelah makan malam berakhir, Kimberly masih saja menahanya. Anak itu baru berhasil ia tinggalkan setelah terlelap cukup lama di ranjang micky mouse miliknya. Alice tersenyum bangga, menyelimutkan kain lembut bermotif frozen.
"Dia sudah tidur?" tanya Anson menunggu Alice di ruang tengah. Suhu di ruang ini cukup hangat dengan perapian yang telah menyala.
"Ya," kata Alice puas.
"Kemarilah," pinta Anson menepuk sofa disisinya.
Alice mendekati Anson dengan sedikit ragu.
"Kau takut padaku?" Anson mengamati ekspresi Alice.
"Tidak. Hanya sedikit canggung," jawab Alice tersenyum.
"Duduklah di sisiku. Aku ingin mengenalmu kembali," kata Anson mengulangi permintaanya.
"Berapa lama hubungan kita berlangsung?" Tanya Anson setelah Alice berada didekatnya.
Berapa lama? Alice tercenung. Apakah dia harus berbohong juga?
"Kita saling mengenal selama enam bulan. Tapi baru sekitar dua bulan kau membawa hubungan ini lebih serius." Baiklah. Berbohong sedikit sepertinya tidak terlalu berbahaya.
"Dimana kita bertemu pertama kali?" tanya Anson.
"Di sebuah pesta amal," kata Alice spontan.
"Apakah aku langsung mengejarmu saat itu juga?" tanya Anson sedikit tertawa.
Wajah Alice berubah merah. Dia tak tahu harus menjawab apa.
"Katakanlah, kita saling tertarik." Alice mencari jawaban yang tepat.
"Saling tertarik? Itu mustahil Alice. Wanita sesempurna dirimu tak akan mungkin langsung tertarik dengan wajah seperti ini." Anson menunjuk sebelah matanya yang menggunakan penutup luka.
Alice tertawa getir. Bahkan seandainya Anson tidak ia gunakan sebagai penunjang finansial, Alice tetap akan tertarik pada Anson. Aura yang Anson miliki mampu menjerat Alice secara telak.
"Kau merendahkan pesonamu sendiri, Anson." Alice berkata lirih.
"Kau yang merendahkan dirimu sendiri dengan melemparkan diri pada lelaki cacat sepertiku." Anson menatap heran pada Alice. Sebenarnya apa yang Alice lihat dari dirinya?
"Kau selalu meragukan perasaanku. Kau selalu menganggapku tidak tulus." Alice merasa tersudut.
Anson merengkuh tubuh Alice hati-hati dan mengusapnya lembut.
"Maafkan aku. Sudah kubilang semua ini sulit untuk diterima." Anson memejamkan kepalanya, merasa bersalah.
"Kau tidak percaya hubungan kita nyata?" Alice mulai bergetar. Apakah hubungan ini hanya akan menjadi sesuatu yang terus Anson curigai?
"Aku hanya sulit menerima hubungan kita cukup kuat untuk bertahan, Alice. Sebenarnya apa yang kau lihat dari diriku?" tanya Anson lemah.
"Sudah kubilang aku tak akan memaksamu jika kau berfikir hubungan ini tak akan berhasil" Alice sudah kehabisan alasan. Biarkan saja mulai saat ini terserah Anson yang mengambil tindakan. Bukankah Alice sudah berinisiatif untuk mengakhiri hubungan mereka tetapi Anson menolak dengan alasan kehamilanya? kenapa sekarang Anson seakan terus mencurigai setiap tindakan Alice?
"Kau wanita yang penuh teka-teki Alice." Anson mengusap lembut perut Alice yang masih rata. Ada sikap posesif dari Anson yang ia tujukan untuk janin di dalam rahim Alice. Tiba-tiba, mimik muka Anson berubah dan sedikit merasa terganggu.
"Beristirahatlah Alice. Aku tak bisa menahan diriku lebih lama lagi jika kita tetap berada disini," kata Anson berdiri dan meninggalkan Alice.
Sialan Anson.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Atik Supandi
hadirr
2020-04-01
0
Reza Agustin
Aw aw aw
Beraktifitas >> beraktivitas
2020-03-14
1
☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ
nexxtt
2020-03-05
1