"Kita akan terikat hanya pada malam hari. Masing-masing dari kita berhak memiliki kesibukan sendiri tanpa harus dicampuri oleh satu sama lain." Alice mengajukan syarat pertama yang mendapat persetujuan dari Anson.
"Boleh." Anson memahami syarat tersebut.
"Dan kita akan menyembunyikan hubungan ini dari publik."
"Baiklah. Kau berhasil menawarkan hubungan yang dangkal dengan harga setinggi langit, sweetheart." Anson menatap wajah anggun Alice penuh arti.
"Jadi apakah kita akan tinggal bersama? Aku tak terlalu suka mengalami kerepotan hanya untuk berkunjung di tempatmu." Anson menjentikkan jarinya perlahan. Seolah waktunya adalah uang, sehingga dia enggan membuang waktunya dalam perjalanan untuk Alice.
"Kau bisa mengirimkan alamat tempat tinggalmu. Aku akan menuju kesana setiap kali kau membutuhkanku dan akan kembali lagi tanpa perlu kau usir, bagaimana?" Alice mengusap kedua telapak tanganya saat memikirkan kemungkinan ini.
"Baiklah." Anson memberikan alamat rumahnya pada Alice. Dia tersenyum dingin.
"Datanglah mulai besok petang. Aku akan menyiapkan bayaranmu." Anson mengecup sisi wajah Alice secara mendadak dan pergi meninggalkanya seorang diri di gazebo.
Lelaki itu sangat aneh. Dia bisa bersikap dingin tapi menggoda pada saat yang bersamaan.
Perlahan Alice memejamkan matanya. Dia mulai ragu apakah langkah yang ia lakukan adalah langkah yang benar. Secara teori dia telah melakukan sesuai rencana, tapi kenyataanya ia seperti sengaja bunuh diri melalui tindakanya sendiri.
...
Kertas-kertas tagihan berserakan di meja Alice. Beberapa lembar laporan keuangan setahun terakhir menumpuk tak tertata di sudut rak. Tiga mug black coffee telah kosong dihadapanya.
Alice memijat kepala. Sepertinya ia membutuhkan aspirin sore ini. Tiga jam lebih memahami kondisi keuangan perusahaan membuat emosinya memburuk. Alex, selama dua tahun ini berhasil menciptakan rekor sebagai trouble maker sejati. Semua jejak tapaknya menunjukkan kebobrokan.
Surat peringatan jatuh tempo dari berbagai lembaga keuangan seperti teror tanpa ujung. Alice sempat tergoda untuk mencopot pemasangan telepon rumah hanya untuk menghindari panggilan tagihan. Tapi mengingat dia juga masih membutuhkan benda terkutuk itu untuk mengurus bisnisnya yang tersisa, ia terpaksa membatalkan niatnya.
Hari telah menjelang petang saat ia berdiri untuk mengguyur tubuhnya. Semua sendinya bergemeretak menunjukkan protes. Tapi persetan dengan semuanya. Hidupnya jungkir balik dan ia membutuhkan solusi nyata dari kebangkrutan. Kesehatan tubuhnya ada di dalam prioritas paling akhir sekarang. Dan uanglah yang berada di urutan teratas.
Setelah memulas wajahnya dan berpakaian semenarik mungkin, Alice mengemudikan mobil berjenis mini cooper keluar dari garasinya. Mobil ini salah satu benda kenangan yang masih mampu ia pertahankan.
Alice mengatur GPS menuju alamat yang diberikan oleh Anson kemarin malam. Jika kondisi jalan lancar, mungkin ia akan tiba dalam waktu satu setengah jam dari sekarang.
"Hebat Alice. Kau berhasil bermetamorfosis dari tuan puteri menjadi wanita simpanan. Seharusnya tahun ini kau mendapatkan piala Oscar untuk peranmu." Alice bermonolog.
Dengan getir Alice mencermati riasan wajahnya melalui cermin mungil. Bayangan di depanya menampakkan seraut wajah wanita berpengalaman dengan gincu merah maroon. Dressnya memiliki potongan yang cukup berani. Rambut merahnya dibiarkan tergerai tak beraturan, seperti wanita nakal.
Sebuah lagu writing's on the wall dari Sam Smith mengalun lembut. Saat lagu sampai pada lirik
When you're not here I'm suffocating, Alice berteriak marah.
"Saat kau tak disini aku tercekik, Alex. Aku tercekik nyaris mati untuk membereskan semua hutang-hutangmu. Sialan kau Alex! Pergilah ke neraka!" Alice memukul kemudi sepenuh tenaga. Mengingat Alex selalu mampu membuatnya marah.
Sekitar satu setengah jam kemudian, Alice memasuki sebuah kawasan perumahan elit. Dia terus saja mencari rumah bernomor 53 sepanjang jalan.
Alice tertawa getir menatap sebuah rumah berpagar tinggi di hadapanya. Bahkan dengan standar tinggi yang Alice miliki, rumah Anson jauh berada di atas bayanganya. Berdiri di sini hanya membuat wanita itu semakin merasa kerdil.
Seorang kepala pelayan berdiri menyambutnya. Lelaki itu mempersilakan Alice masuk dan membiarkan pelayan lain memarkirkan mobil Alice.
"Silakan lewat sini, Ms White. Anda dipersilakan menunggu di dalam," kata kepala pelayan, berjalan lurus melewati taman luas membimbing Alice memasuki bangunan rumah.
Kemegahan seolah menyambut Alice saat ia berjalan memasuki ruang utama rumah ini. Lukisan karya seni ternama berderet di sepanjang dinding bercat krem. Guci-guci antik terpajang indah ditempat-tempat strategis. Dua set kursi berlapis kulit terletak persis di tengah ruangan. Benda-benda seni berukir dari kayu menghias di setiap sudut ruangan. Sebuah jam dinding besar bermotif kuno terpasang di salah satu sisi dinding.
Bagus. Rumah ini berhasil mengintimidasinya telak. Semakin Alice mengamati sekelilingnya, semakin Alice merasa nilainya menurun drastis. Otaknya meneriakkan berulang kali bahwa dia wanita murahan yang terlalu banyak bermimpi.
"Silakan anda menunggu disini Ms. White. Biarkan pelayan mengambilkan minuman dan makanan ringan untuk anda." Kepala pelayan yang memperkenalkan diri sebagai William mempersilakan Alice duduk di ruang tengah.
"Anson dimana?" tanya Alice.
"Tuan nanti akan menemui anda di sini," jawabnya formal dan meninggalkan Alice seorang diri. Tak berapa lama kemudian seorang wanita dengan baju pelayan berusia lima puluh tahun membawakan segelas minuman dam beberapa makanan ringan untuknya.
Alice duduk di sebuah kursi kayu berlengan di samping perapian. Meskipun rumah ini modern, namun perapianya tetap didesain alami dengan beberapa tungku kayu dibiarkan menyala. Sekarang musim gugur, cuaca mulai terasa dingin.
Menit berlalu berganti jam. Waktu bergulir terasa lama. Alice nyaris saja tertidur saat suara ketukan sepatu yang berirama mendekatinya dari belakang.
"Sudah menunggu lama?" tanya sebuah suara yang terasa familier. Nadanya dalam dan menggoda.
"Ya. Aku terpenjara di ruangan ini cukup lama. Jika saja aku tahu jam berapa kau pulang, akan kusesuaikan waktuku untuk ke sini," kata Alice meradang.
"Maaf," katanya santai tanpa rasa bersalah.
Sebuah penutup mata masih setia ia pakai. Dengan jas dan celana kerjanya, penampilan Anson semakin dominan. Alice memalingkan wajah. Pikiranya mulai membayangkan banyak hal. Dan itu tak baik.
"Keberatan jika aku mandi?" tanya Anson datar.
"Baiklah." Alice mengangguk. Dia juga tak siap melakukanya sekarang. Dia akan menerima alasan sekecil apa pun untuk menangguhkan kesepakatan mereka selama mungkin.
"Dimana aku harus menunggu?" Alice bertanya polos.
Anson menatap tajam wanita itu dan menarik bibirnya sedikit.
"Dimanapun kau mau, Alice. Kau bisa menungguku di sini. Atau pun menungguku di kamar."
Alice mundur mendadak dan berbalik arah. Itu jawaban yang sedikit tak sopan tentunya. Tapi apalagi yang dia harapkan jika dia saja sudah suka rela menawarkan diri sebagai wanita simpanan?
"Aku menunggu di sini," katanya kebas.
Anson meninggalkan Alice. Suara langkah-langkah kaki terdengar menjauh, membiarkan Alice dalam keheningan. Keheningan yang justru membuat ia mendengar detak nadinya berdentum liar.
Oh Tuhan. Tolong aku dengan kebodohanku sendiri.
Sekitar lima belas menit kemudian Anson mendatangi Alice. Dia telah berganti pakain dengan kaos cokelat dan jins kasual. Kedua tanganya masing-masing membawa sebotol brendi berwarna kuning keemasan dan dua gelas kosong.
"Mari kita minum. Sepertinya kau terlalu tegang."
Alice menerima gelas kosong dan menuang sedikit minuman tersebut.
Alice tak pernah terbiasa menikmati minuman beralkohol selain beer. Tapi untuk situasi seperti ini justru itulah yang ia harapkan. Satu-satunya memutus urat malu adalah dengan membuat dirinya mabuk.
"Jadi, bagaimana bayaranya?" tanya Alice sembari menyesap brendi. Tenggorokanya terasa terbakar. Dia meringis pelan. Dengan cepat ia meneguk kembali brendinya hingga tandas.
"Ini." Anson menyerahkan selembar cek dengan nominal yang dijanjikan.
"Tuangkan aku brendi lagi!" pinta Alice setelah menyimpan cek.
"Tidak. Sepertinya kau tak terbiasa meminumnya. Bukan seperti itu caranya. Kau hanya membuat dirimu sendiri mabuk."
Alice meletakkam gelasnya sembarangan di meja. Dia semakin kacau tak tahu harus melakukan apa. Seharusnya tadi sebelum ke sini ia membaca langkah-langkah panduan wanita penggoda. Sekarang ia harus bertindak sesuai naluri tanpa sedikit pun petunjuk.
Alice hanya duduk membeku. Keteganganya nyaris bisa dilihat secara kasat mata. Dia bahkan tak tahu harus memulai langkah seperti apa.
"Apa kau baik-baik saja?" Anson sedikit khawatir.
"Ya," Jawab Alice lirih.
"Kau yakin?"
Alice beringsut tak menentu.
"Ya."
Kedua telapak tangan Alice berkeringat. Telapak kakinya pun tak lebih baik. Keringat dingin mulai menyerangnya tanpa ampun. Alice mengusap wajahnya mencoba mengendalikan respon tubuhnya.
"Ada apa sebenarnya?" kesabaran Anson mulai diuji dengan tingkah Alice.
"Tidak. hanya ... hanya ... kapan kau akan memulainya? Aku sudah tak tahu harus bersikap bagaimana," kata Alice putus asa. Matanya tampak merah menahan tangis.
"Sssstt ... kau sudah tidak sabar?" Anson menyentuh lengan Alice yang selembut kulit bayi.
"Bukan begitu. Tapi aku benar-benar tegang." Alice memilih jujur. Dia menatap Anson meminta pengertian.
"Oh Alice." Anton menyentuh sisi wajah wanita itu. Dia mulai memgambil haknya dari Alice dan menyempurnakan kesepakatan mereka. Angin malam menjadi saksi bagi kedua insan yang sedang beradu kasih.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
HazëL
aq balik lg, mbak tor.. udh yg kesekian kali. kamu bs bgt bkin aq jatuh cinta sm para tokohnya. aq smp ikutan nyesek akan tragedi yg nnt akan trjadi sm kel kecil alice. aq turut kehilangan❤
2022-09-27
0
Fitri
keren
2021-02-08
0
👑☘ɴͪᴏͦᴠᷤɪͭᴛͤᴀᷝ💣
wooowww... im so happy to hv you
2020-08-08
1