Sore ini jalanan terasa sedikit lengang. Mungkin karena salju mulai turun membuat beberapa orang malas untuk beraktifitas keluar rumah. Alice justru menikmati suasana jalan yang seperti ini. Mini coopernya berjalan gesit melewati beberapa mobil didepanya. Dengan perasaan bebas, Alice bersenandung menyanyikan lagu lawas dari Evanescene.
Hari ini bisnisnya berjalan dengan cukup lancar. Beberapa keluhan berhasil ia tangani dan lahan yang dia incar berhasil ia dapatkan. Sebagian besar keberhasilanya kali ini berkat kemurahan Daniel. Alice harus berterimakasih dengan pantas kepadanya.
Alice berhasil tiba di rumah Anson saat hari masih cukup terang. Dia berjalan cepat menuju ke kamarnya, berencana untuk berendam air panas dan sedikit memanjakan diri. Alice butuh merefresh kondisi tubuhnya.
Alice menghentikan langkahnya di lorong kamar. Dia menatap terkejut sosok Anson yang sedang berjalan berlawanan arah darinya. Sebuah keajaiban bisa melihat Anson berada di rumah seawal ini. Lelaki itu workaholic sejati. Biasanya dia berada di rumah jika matahari telah lama terbenam.
"Hai Anson, kau sudah pulang?" tanya Alice ceria. Dia masih terbawa euforia karena keberhasilanya mendapatkan lahan.
"Ya. Aku pulang lebih awal," balas Anson datar. Mereka bercakap dilorong penghubung kamar.
"Oh, apakah kau merasa kurang sehat?" tanya Alice sedikit khawatir.
"Aku baik-baik saja," jawab Anson masih terdengar datar.
Alice menatap Anson curiga. Ada apa dengan Anson? Sepertinya suasana hatinya sedang tak terlalu baik.
"Aku membawakanmu sesuatu," kata Anson merogoh saku celananya. Dia menyerahkan sebuah kotak beledu kecil kepada Alice.
"Oh, Anson ini sedikit terlalu berlebihan." Alice mencoba menolak.
"Terimalah. Aku sedang ada urusan setelah ini," ucapnya tak ingin dibantah.
Alice mengangguk canggung. Dia tak pernah mendapatkan hadiah seperti ini sebelumnya. Sebagian besar kenalanya memberi hadiah hanya saat hari ulang tahun Alice.
"Terimakasih, Anson." Alice tersenyum. Wajahnya berbinar.
"Anson, sepertinya nanti malam aku tak bisa ikut makan malam. Aku telah membuat janji dengan teman bisnis." Alice menatap Anson meminta pengertian.
"Kau tak perlu menjelaskan urusanmu padaku. Kau berhak melakukan apapun yang kau inginkan. Aku bukan lelaki yang suka membatasi. Tinggal disini bukan berarti mengikat dirimu padaku secara mutlak." Anson berlalu meninggalkan Alice begitu saja.
Wanita itu terdiam cukup lama seorang diri. Dia membuka kotak kecil dalam genggamanya dengan tangan gemetar. Sebuah cincin bertahtakan permata berwarna merah. Jelas ini bukan jenis permata sembarangan.
Alice menggenggam cincin tersebut penuh arti. Apakah seperti ini cara Anson memperlakukan semua orang disekitarnya? menghargai dan menilainya dengan takaran uang.
Meskipun begitu, entah bagaimana, cincin itu memiliki arti tersendiri bagi Alice. Setidaknya, ini adalah pertama kalinya lelaki itu memberinya sesuatu dengan inisistif yang cukup tulus.
Bahkan seandainya yang diterimanya adalah cincin imitasi dari tembaga sekalipun, Alice akan tetap bahagia menerimanya. Cinta memang mengenaskan.
Alice berendam cukup lama. Fikiranya kembali mengembara memikirkan Anson. Lelaki seperti apa sebenarnya dia? Di saat Alice berhasil merasa dekat, Anson kembali memberi jarak. Begitu seterusnya sehingga dia berfikir hubungan mereka hanyalah sesuatu yang mampu ditarik ulur oleh Anson sekenanya. Bagaimana hubungan ini bisa berkembang jika Anson sendiri menjadi penghalang utama.
Setelah puas berendam, Alice berganti pakaian dan bergegas ke lantai bawah mencari Kimberly. Dia telah berjanji membantunya mengatur susunan koleksi boneka. Gadis kecil itu pasti telah menunggunya.
"Alice, lihat. Aku telah mulai mengaturnya sendiri tanpa bantuan siapapun. Ms. Helena sedang sibuk dibelakang dengan yang lain. Dia tak bisa menemaniku saat ini." seru Kimberly memamerkan etalase baru yang telah disusun dengan beberapa boneka barbie. Etalase dengan tinggi satu meter itu baru saja tiba kemarin sore. Hadiah dari Anson, tentu saja.
"Baiklah kalau begitu, biar aku bantu." Alice mengambil sepasang set barbie dan anaknya. Dia menempatkanya di etalase terendah.
"Apakah itu barbie dan mamanya? " tanya Kimberly tertarik.
"Ya. Mereka ibu dan anak. Cantik bukan?" Alice tersenyum jenaka.
"Apakah mereka bahagia?" tanya Kimberly lagi dengan polos.
"Tentu mereka bahagia. Kau tak lihat mereka tersenyum lebar begini?" Alice terkekeh mendengar pertanyaan gadis kecil disampingnya.
"Aku tak memiliki Mama. Tapi Dad berkata aku tetap bisa bahagia. Apa itu benar? Tapi kulihat teman-temanku semua memiliki Mama."
Alice tertegun lama. Dia mengusap rambut Kimberly dengan rasa sayang. Pasti sulit bagi gadis sekecil dia tumbuh tanpa seorang ibu. Meskipun dia dianugerahi ayah sehebat Anson.
"Ya. Kau unik, Kimi. Kau tetap akan bahagia dengan ataupun tanpa mama. Bukankah kau sudah memiliki ayah yang hebat?" Alice berlutut mensejajarkan dirinya dengan Kimberly. Dia mengecup lembut kening anak itu.
"Tapi aku ingin memiliki Mama." Kimberly berkata lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Bolehkah aku memanggilmu Mom?" tanyanya kemudian penuh harap. Mata hitamnya yang membulat menampakkan keluguan yang murni.
Alice hanya memandang gadis dihadapanya. Dia tercekat tak tahu harus mengatakan apa. Lama mereka saling bertatapan. Kemudian dengan lirih Alice menjawab.
"Bagaimana kalau kita melakukan permainan rahasia. Kau bisa memanggilku Mom jika hanya ada kita berdua. Tetapi kau tetap akan memanggilku Alice di depan orang lain?" Alice tersenyum lembut. Dia tak tega memupuskan harapan Kimberly. Namun dia juga tak ingin Anson salah paham menuduhnya memanfaatkan situasi jika mendengar Kimberly memanggilnya Mom.
"Baik. Aku suka permainan rahasia." Kimberly memeluk Alice erat. Anak itu tertawa bahagia.
"Ayo kita menyusun kembali boneka lainya, Mom," kata Kimberly riang.
Alice tersenyum tulus. Jauh di dalam hati, ada emosi yang bergerak liar saat mendengar Kimberly memanggilnya Mom. Sebuah panggilan istimewa yang mampu menampar nuraninya.
Mereka menghabiskan waktu cukup lama untuk menyusun boneka. Setelah waktu berlalu memasuki petang hari, Alice menghentikan kegiatan mereka. Dia bersiap-siap mengunjungi rumah Daniel untuk makan malam. Dengan dress sederhana berwarna cream, Alice keluar dari rumah melewati Anson yang tengah sibuk dengan laptopnya di ruang tengah.
"Anson. Aku pegi," pamitnya dan hanya mendapat anggukan kecil. Lelaki itu benar-benar sibuk dengan dunianya sendiri.
Alice sedang membawa mobilnya keluar saat ponselnya berdering. Tertera nama Rachel di layar.
"Ya Rachel."
"Alice. Aku benar-benar minta maaf. Aku tak bisa ikut makan malam. Tunanganku mengajakku untuk bertemu dengan keluarga besarnya." Terdengar suara Rachel yang sarat akan rasa bersalah.
"Oh Ayolah Rachel. Tanpamu, makan malam ini jadi terasa seperti kencan." Alice berkata putus asa.
"Jangan terlalu berlebihan Al, kau ingin aku mengorbankan kesempatan ini? Hubunganku sudah serius. Jangan kacaukan hidupku hanya karena makan malam pertemananmu dengan Daniel." Rachel mulai mengomel. Alice bisa membayangkan mata Rachel yang membesar ingin keluar dan wajahnya yang mengerut marah mirip manula.
"Baiklah. Kuharap pertemuanmu sukses. Kabari aku setelah kau memiliki tanggal pernikahanmu," ucap Alice menyerah.
"Baiklah. Bagaimana kabar janinmu?" tanya Rachel terdengar semangat.
"Kurasa baik. Aku tidak mengalami sedikitpun gangguan hari ini." Alice mengusap perutnya lembut. Sepertinya bayi ini cukup pengertian dengan keadaan Alice. Dia tak membuat tingkah sama sekali.
...
Anson memandang kepergian mini cooper Alice dari jendela ruang tengah. Kelopak matanya menyipit membentuk garis tipis. Kedua tanganya mengepal erat di sisi tubuhnya. Dengan langkah lebar, dia berjalan melewati setiap ruangan, mencari keberadaan William.
Lelaki tua itu sedang berada di meja ruang belakang, memeriksa laporan pengeluaran rumah tangga. Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawab istrinya, tetapi karena Anson tak kunjung menikah, dia menyerahkanya pada William. Agendanya terlalu banyak sehingga ia tak bisa menangani urusan rumah tangga secara langsung.
"William. Alice baru saja keluar. Suruh salah satu orangmu untuk membuntutinya. Aku ingin tahu dia pergi kemana."
"Baik, Tuan." William mengangguk dan bergegas pergi.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Dilan Alvaro
sudah aku duga 😩
2022-02-02
0
Nonoe Mooduto
keren thor
2020-07-28
1
ChauLa
ndk usAh mEngEkAng, cUkUp mEmbUntUti 😆
2020-07-04
0