Mentari masih belum tampak. Hari masih terlalu gelap. Tapi ia tak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di sini, di tempat terkutuk ini.
Dengan kecepatan tinggi, Alice memakai dressnya dengan asal, berjalan berjinjit agar tak mengeluarkan suara dan memutar kenop pintu hati-hati. Sebuah suara "klek" nyaris saja membuatnya gentar. Setelah pintu berhasil ia buka, Alice menurunkan heelsnya dan menutup kembali pintu dibelakangnya.
"Akhirnya ...," bisiknya lirih, berjalan kesetanan mencari salah satu pelayan untuk mengambil kunci mobilnya. Alice menghabiskan waktu seperempat jam lebih untuk menemukan ruang pelayan. Dia semakin mengutuk harus terjebak di rumah yang sebesar ini. Semua lorong-lorongnya saling berhubungan dan mudah membuat orang salah arah.
Sementara itu, di sebuah ranjang yang baru saja Alice tinggalkan tampak Anson yang telah lama membuka mata, tersenyum sinis.
Wanita itu jelas tak bisa menahan diri lebih lama lagi untuk segera pergi dari sisinya. Yang ada dalam benaknya hanyalah uang.
Dalam aktifitas mereka, Anson cukup terkejut menyadari wanita itu memiliki sifat malu-malu dan terkesan polos. Seperti wanita remaja yang tidak berpengalaman.
Namun, kemudian Anson menyadari sesuatu, mungkin Alice tak selugu yang ditampilkanya. Dia hanyalah seorang artis hebat yang berpura-pura lugu. Sangat mustahil seorang wanita semacam dia memiliki kepolosan murni. Alice hanyalah wanita matrealistis yang akan melakukan apa pun demi uang. Tak peduli jika harus berakting menjadi wanita polos. Menampilkan diri seolah-olah ia sepolos anak remaja yang menginjak pubertas.
Wanita itu terlalu total dalam bersandiwara. Membuat Anson mulai memunculkan reaksi asing. Sesuatu yang sangat sulit untuk ia pahami.
Lama-lama Anson membenci dirinya sendiri yang mudah tergoda denganya. Dari awal pertemuan mereka, Anson sudah menyadari ketertarikan yang sangat kuat.
Dia bahkan tak berpikir dua kali untuk menerima tawaran Alice meskipun dengan harga yang sangat mahal. Wanita itu sepertinya terlalu boros memenuhi gaya hidupnya yang mewah. Terlihat dari mobil mini coopernya yang menjadi mobil keluaran ekslusif.
Jika hubungan mereka telah usai, tidak mustahil Alice akan menawarkan diri lagi pada sembarang lelaki yang mau menggelontorkan banyak uang. Tidak peduli siapa dan bagaimana lelaki itu, yang ia pedulikan adalah seberapa tebal dompet mereka. Pemikiran seperti itu membuat Anson muak.
Anson semakin membenci Alice. Namun tidak dengan reaksi alamiahnya. Entah kenapa, dia menyadari benang-benang kecil yang tak seharusnya terjalin.
...
Alice menatap tak berdaya lusinan kertas tagihan di meja kerjanya. Matanya memerah meradang penuh amarah. Dia mensortir kertas-kertas itu berdasarkan tanggal yang paling mendekati jatuh tempo.
"Hai wanita hebat. Kenapa wajahmu seperti korban tabrak lari begitu?" sapa Rachel, memasuki ruang kantor Alice tanpa permisi.
"Hai Rachel, tolong tutup pintunya!" pinta Alice. Dia tak ingin pembicaraanya dengan Rachel terdengar hingga ke meja para karyawanya. Kantor miliknya ini tak terlalu luas, sekat-sekatnya tak bisa meredam gosip yang terlanjur keluar.
Rachel menatap banyaknya tagihan yang disortir temanya.
"Wow. Kau wanita dengan rekor tagihan yang luar biasa," katanya mencoba mencairkan suasana.
"Ya. Mengenaskan bukan?" Alice tersenyum pasrah. Dia berdiri menuju meja kecil di sudut ruangan untuk membuat kopi.
"Tanpa cream," kata Rachel memberitahu. Sesaat kemudian Alice menyerahkan secangkir kopi sesuai yang diminta temanya.
"Bukankah kau sudah mendapatkan uang? kenapa tidak kau gunakan untuk menutup semua tagihan-tagihan keparatmu itu," kata Rachel tak mengerti.
"Ya, hanya saja ...." Alice menjawab bingung.
"Duduklah. Ceritakan padaku apakah semalam berjalan lancar." Rachel menepuk sofa usang di sisinya, memberi isyarat.
Alice duduk dengan kesal. Dia menatap temanya tanpa ekspresi.
"Tadi malam berjalan lancar. Setidaknya Anson membayarku tunai di muka. Hanya saja ...." Alice menggantung kalimatnya. Air mata berlinang menghiasi wajah lembutnya.
"Aku merasa sangat murahan," ujarnya putus asa. Sebuah isakan lolos dari tenggorokanya. Tubuhnya bergetar hebat.
"Hai tenanglah. Kau tidak harus berpikir seperti itu. Setiap laki-laki memang brengsek, kecuali tunanganku tentunya. Tidak seharusnya kau merendahkan dirimu sendiri." Rachel menenangkan.
"Dia hebat. Sehingga aku merasa melayang oleh setiap sikapnya, berbeda dengan Alex dulu memperlakukanku." Alice masih saja menangis.
"Terkutuklah Alex karena telah menyia-nyiakanmu." Rachel memggemeretakkan giginya marah.
"Alex dulu bilang bahwa aku istri yang buruk di ranjang. Dia bilang aku mayat hidup. Hubungan kami tidak lancar dan ya ... monoton" Alice saling menautkan jari-jarinya.
"Jadi itu artinya Anson lebih baik dari Alex? anggap saja itu sebagai keuntungan tersendiri. Jangan mudah terpuruk!" bujuk Rachel mengusap lembut lengan Alice.
"Tidak sesederhana itu Rachel. Anson lelaki hebat dan dia selalu memandang rendah padaku. Baginya aku tak lebih sebagai wanita jahanam yang masuk dengan cara kotor dalam hidupnya. Sementara aku selalu terbawa keadaan. Aku merasa sangat rentan denganya."
"Oh Ya Tuhan. Jangan bilang kau mulai menyukai dia." Rachel merinding.
"Tidak. Aku tidak menyukai dia. Aku rasa aku membencinya. Hanya saja dia bisa mempengaruhiku." Alice semakin terisak tak terkendali.
Rachel dengan sabar menopang Alice. Mereka telah menjalin persahabatan yang cukup lama sejak mereka masih remaja. Tak ada apa pun lagi yang mereka sambunyikan satu sama lain.
"Alice. Bertahanlah. Hanya eman bulan bukan? Setelah ini selesai kau bisa keluar dari hidup Anson dan keuanganmu tetap aman. Jika saja aku mampu membantumu, aku pasti tak akan membiarkanmu terperosok seperti ini," ucap Rachel prihatin.
Kehidupan Rachel adalah kehidupan sederhana sebagai wanita yang bekerja menjadi pelayan restoran cepat saji di kota ini. Keadaan itu tak bisa membuat Rachel membantu banyak mengurangi beban keuangan yang Alice miliki. Satu-satunya yang masih mampu ia tawarkan adalah keberadaanya.
"Jadi, bagaimana kabar uang yang ia berikan?"
Alice menegakkan bahu, mengusap air matanya yang masih berlinang.
"Entahlah, kupikir, aku tidak akan bisa menggunakanya"
"Alice White. Apa maksudmu?" teriak Rachel terkejut.
"Aku akan semakin merasa kotor jika menggunakanya."
Rachel memandang ngeri. Dia memijat sisi kepalanya yang mulai berdenyut. Ya Tuhan. Jenis wanita seperti apa temanya itu.
"Dan akan kau apakan uang itu?" Rachel menahan diri. Dia harus berdiskusi dengan lembut agar pikiran Alice berjalan rasional kembali.
"Aku belum tahu. Mungkin akan membiarkanya saja. Atau mungkin aku bisa mengembalikanya pada Anson." Alice bergeming. Dia seperti berpikir sesuatu.
"Ayolah Alice. Kau sudah terlanjur membuat kesepakan selama enam bulan. Apa kau akan berhenti di sini? bagaimana keuangan perusahaanmu dan nasib semua asetmu?"
Rachel berdiri mondar-mandir di depan jendela kecil ruangan Alice. Hak sepatunya berbunyi nyaring setiap kali ia melangkah.
"Entahlah Rachel. Mungkin aku akan melepaskan semuanya dan belajar bekerja pada orang lain. Bagaimana jika menjadi pelayan restoran sepertimu? Apakah masih membuka lowongan?"
Rachel menjerit frustasi mendengar pemikiran Alice. Sepertinya Anson adalah orang paling brengsek sedunia selain Alex. Dia membuat Alice dengan suka rela melepaskan semua asetnya.
"Apakah kau menggunakan pengaman tadi malam?" Rachel mengalihkan topik, tampak khawatir.
"Pengaman?"
"Iya. Pengaman." Emosi Rachel sudah nyaris habis menghadapi Alice.
"Tidak. Tapi tak perlu khawatir. Aku tak akan hamil. Bukankah dulu Alex tak pernah menggunakan pengaman juga padaku dan aku tak pernah hamil?" Alice berkata datar. Tak ada yang perlu ia khawatirkan.
"Tentu saja tak akan bisa hamil karena Alex melakukan tubektomi."
"Apa?" Alice berdiri terkejut. Alex tubektomi? bagaimana dia bisa tak mengetahui kenyataan itu sama sekali. Kebohongan apa lagi yang ******** itu sembunyikan dari Alice.
"Pernikahan seperti apa yang kalian miliki jika kenyataan sepenting itu tak kau ketahui, Alice. Oh lupakan. Alex memang brengsek. Sekarang masalahnya adalah, apakah kalian melakukan kecerobohan?"
"Ya." Alice mulai merasa tak berdaya. Kedua kakinya kehilangan tenaga secara perlahan.
"Apakah kau dalam masa subur?" Rachel histeris. Dia menggerak-gerakkan kedua tanganya frustasi.
"Sepertinya, iya." Alice menarik rambutnya kesal. Dia merasa terjebak.
"Apakah ini masih bisa diatasi?" tanya Alice polos pada Rachel. Tatapanya membuat Rachel semakin bersimpati.
"Ayo ikut aku ke klinik terdekat. Kita lihat apakah ada pil atau semacamnya yang bisa menolongmu saat ini. Aku terpaksa mengambil cuti untuk mengurus kecerobohanmu, Alice. Lain kali, kau harus mempertimbangkan semua tindakanmu!"
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 208 Episodes
Comments
Dee
sumpah. tulisannya bagusss.. alurnyaaaa
2021-07-14
0
Mutiaa AnanTasya II
bagus cerita nya
2020-08-10
1
❁︎⃞⃟ʂ𝕬𝖋⃟⃟⃟⃟🌺 ᴀᷟmdani🎯™
bagus thor,q suka.
2020-08-08
1