"Hai Dis...." Muhibbin menoleh kearah datangnya suara.
"Udah tadi ? " tanya Disya pada Muhibbin
"Ya lumayan, tadi bareng Sekar" sahut Muhibbin
"Ntar ya tunggu disini, jangan kemana-mana" pungkas Disya berlalu dari hadapan Muhibbin.
Tak lama kemudian Disya kembali dengan tangannya membawa minuman hangat dan cemilan ringan.
"Kita disana yuk.. " ajak Disya pada Muhibbin sambil berjalan ke arah gazebo disamping Selasar. Tangannya mengulurkan gelas berisi teh hangat pada lelaki dihadapannya.
Muhibbin menerima gelas minuman yang diulurkan Disya.
"Gimana acara tadi... asik gak? tanya Disya pada kawan barunya ini.
" Asik banget, belum pernah kulihat acara seni semeriah ini sebelumnya" jawab Muhibbin sambil tersenyum.
"Yang nari topeng dan membacakan puisi itu bukan dari sini ya? " kembali Muhibbin bertanya
"Oh itu... kenapa? " tanya Disya balik
"Gak sih.. cuma perform mereka bagus banget" imbuh Muhibbin.
"Yang nari topeng itu sahabat lamaku dari Negeri Banjir, namanya Diera Saraswati" jawab Disya
"Dan yang baca puisi itu Puan Rizza dari Negeri Serumpun" imbuhnya kembali.
"Wah hebat mereka.... andai aku bisa seperti mereka" gumam Muhibbin lirih.
"Bisa lah, asal kamu giat belajar dan pantang menyerah" jawab Disya sambil menepuk bahu Muhubbin.
Dia beranjak berdiri, matanya memandang ke atas mengagumi Candra Purnama dengan sinar kemilaunya.
"Lihat Bin... rembulan malam ini indah banget" tangan Disya menunjuk ke arah langit.
Muhibbin ikut bangkit menghampiri Disya didepannya. Matanya lekat memandang cahaya bulan penuh kerinduan, Dia terdiam tak menyahut .
"Kamu kenapa ? " tanya Disya kembali.
"Seperti ada yang kamu fikirkan" imbuhnya kembali.
"Gak sih.. aku hanya teringat keluarga dan kawan-kawanku dikampung" jawab Muhibbin.
"Biasanya saat bulan penuh seperti ini kami bermain didepan Surau tempat kami mengaji" imbuh Muhibbin.
Pandangan Disya masih tak beranjak menatap rembulan sambil berkata
"Iya.. aku juga teringat masa-masa kecilku dulu bersama kawan-kawanku" gumamnya.
"Kok sama ya Bin masa kecil kita hahaha" tawa Disya renyah sambil menoleh ke arah Muhibbin.
"Emangnya sejak kapan kamu disini Dis? " tanya Muhibbin.
"Aku disini sudah hampir satu dasa warsa" jawab Disya
"Aku dulu lama di Negeri Banjir tapi sebenarnya masa kecilku bukan disana sih" lanjut Disya.
"Aku pindah-pindah saat orang tua kandungku masih ada" mata Disya sedikit menguapkan embun bening.
"tuan Sirkum itu pamanku, kakak kandung ibuku" jawab Disya
Muhibbin diam menyimak cerita wanita disampinganya.
"Sejak kecelakaan kereta kuda itu aku ikut ayah Sirkun. Lalu saat usiaku empat belas tahun kami pindah kesini karena bisnis dan waktu ayah banyak dihabiskan disini" bulir-bulir bening mulai tak terbendung keluar dari ujung mata Disya.
Melihat gadis disampingnya tersedu, Muhibbin mengulurkan sapu tangan yang diambilnya dari saku bajunya.
"Ah sudahlah.... kenapa jadi sendu sih" ujar Disya menerima uluran saputangan Muhibbin.
"Kalau kamu sendiri gimana Bin, kenapa sampai disini" ujar Disya
"kemarin saat baca suratmu, aku tau keluargamu dikampung, kamu masih ada ibu ya? " lanjut Disya.
"Ya Dis, dikampung ibuku dengan kakak perempuanku dan keponakanku" jawab Muhibbin.
"Ya aku disini sudah hampir sembilan tahun dan tinggal dirumah pak Nengah dan Sekar" lanjutnya.
"Niatku kesini mengadu nasib sambil belajar, karena disini pusat seni dan budaya. Aku ditampung oleh keluarga Sekar dan memperlakukanku layaknya keluarga sendiri dan aku menganggab Sekar bagaikan adikku sendiri" pungkas Muhibbin.
"Terus ayahmu kemana ? " tanya Disya kembali
Muhibbin tertunduk menghela nafas dalam-dalam.
"Ayahku sudah gak ada Dis" jawab Muhibbin.
"Oouuhh maaf ya, tak seharusnya kutanyakan itu" sela Disya
"Gak apa Dis, nasib kita hampir sama" jawab Muhibbin lirih.
"Ayahku meninggal sejak aku usia sembilan tahun. Beliau kecelakaan saat putri pimpinan tempat ayah kerja memintanya mengambilkan buah kelapa, beliau terjatuh dan tak sempat tertolong" imbuh Muhibbin bercerita.
"Kamu bukan asli dari Negeri Batu Ular Bin ?" tanya Disya
"Sebenarnya asliku dari sana, cuma saat itu ayah sering pindah-pindah kerja, terakhir sebelum beliau tiada aku tinggal disebuah perkebunan milik keluarga mendiang Raja Harsuto di lereng gunung ijen" jawab Muhibbin
"Haiii.... kamu pernah di ijen kah ?" pekik Disya terkejut mendengar nama lereng ijen.
Muhibbin pun terkejut atas reaksi Disya.
"Kamu tau daerah itu? " tanya Muhibbin kembali
"Ya iya lah aku tau, tempat yang sangat indah dengan kawah yang memiki api biru. Almarhum orang tuaku juga sempat kerja disana sebelum kita pindah ke Negeri Banjir, sebenarnya ayah Sirkun adalah ayah angkatku" jelas Disya
"Hah? tahun kapan itu Dis" tanya Muhibbin penasaran.
"Ya sekitar empat belas tahun lalu saat usiaku tujuh tahun dan setahun kemudian keluargaku pindah ke Negeri Banjir karena tuntutan tugas almarhum ayah kandungku"
Isi kepala muda mudi itu berputar mengingat kehidupan masa kecilnya di lereng gunung ijen dengan perasaan masih kaget tak percaya.
"Terus rumah kamu disektor mana Bin saat itu? tanya Disya makin penasaran.
" Aku disektor tujuh tepatnya dusun Kali Gedang" jawab Muhibbin masih terkejut.
"HAH..APA ... sektor tujuh ? " pekik Disya kaget
"Ayahku juga disana saat bertugas. Jangan-jangan kamu ini putra pak Ahmad" lanjut Disya masih tak percaya.
Mendengar nama ayahnya disebut, mata Muhibbin terbelalak, karena yang tau nama keluarganya di Negeri Pantai ini hanya pak Nengah dan Sekar keluarga angkatnya.
Sontak Muhibbin berkata
"Karina, Karina Larasati putri tuan Samarta? " mata Muhibbin serasa tak percaya gadis didepannya ini adalah sahabat kecilnya.
"Rahmat Muhibbin? " Disya tak kalah terkejutnya.
"Ibbin !! "
"Karin !!"
Disya spontan memeluk pria didepannya, isakan tangisnya tak tertahan lagi.
"Karin" bisik Muhibbin memeluk erat sahabatnya.
Sedu sedan keduanya pecah diantara semilir angin malam dan sinar sang rembulan
"Kemana saja kamu Rin" tanya Muhibbin sambil melepaskan pelukannya.
"Aku ikut orangtuaku Bin" masih terisak Disya menyeka airmatanya dengan saputangan pemberian Muhibbin.
"Kamu apa kabar, Emak apa kabar, dan kak Cayaha dimana sekarang ?" berondong pertanyaan Disya layaknya lesatan ribuan anak panah.
"Mbak Yu Cahaya sekarang dengan Emak di kampung asal bapakku. Kalau Emak sekarang semakin sepuh, kedua matanya tak bisa melihat sejak sakit keras empat tahun setelah meninggalnya bapak" jelas Muhibbin pada Disya.
"Maafkan aku ya Bin, itu salahku. Andai waktu itu aku tak minta dipetikan buah kelapa mungkin ayahmu masih ada sampai saat ini" isak Disya.
"Gap apa kok Rin, itu sudah suratan takdir dari Tuhan" ujar Muhibbin menenangkan sahabat lamanya.
"Terus anak delapan tahun itu anaknya kak Cahaya Bin? " tanya Disya pada kawan lamanya.
"Bukan, Raya Suci anak mas Hari kakak pertamaku, Sejak perceraiannya dengan istrinya mas Hari gak pernah pulang dan Raya saat itu masih sembilan bulan diasuh oleh emak, aku dan mbak Cahaya" jawab Muhibbin kembali.
"Lalu kak Cahaya belum menikah Bin? " tanya Disya kembali.
"Belum, sejak tunangannya mas Bayu meninggal saat tugas di Negeri Lorosae, kak Cahaya menutup hatinya walau banyak orang yang melamarnya, almarhum Mas Bayu tunangan Mbak yu Cahaya adalah seorang prajurit kerajaan Negeri Zamrud Rin" pungkas Muhibbin.
"Terus Ardi dan Diondra apakabar Rin ? "
tanya Muhibbin balik.
Wajah Disya tertunduk dan terisak, dia melangkah ke tepian gazebo dan duduk disana.
"Kereta yang kami sekeluarga tumpangi terjatuh ke jurang saat kami hendak pulang ke Negeri Kelapa, ada sebuah Otto milik keluarga penguasa Negeri Zamrud lewat dengan kencang dan kuda pada kereta kami berontak akibatnya kereta terseret ke pinggir jurang dan semuanya tak selamat hanya aku saja yang saat itu tertolong dan pamanku merawatku hingga sekarang" isak Disya kembali.
"Aku ikut berduka yan Rin" ujar Muhibbin pada Disya yang tak lain adalah Karina sahabat kecilnya. Dia duduk disebelah Disya sambil mengusap bahu sahabatnya.
Keluarga tuan Samarta ayah kandung Disya sejak dulu dengan keluaga Muhibbin sangat dekat. Ahmad ayah Muhibbin adalah bawahan tuan Samarta di perkebunan kopi sektor tujuh dan Ardi kakak Disya sahabat akrab Muhibbin sedangkan Karina atau Disya serta Diondra sangat akrab dengan Cahaya kakak Muhibbin.
Sejak insiden kecelakaan pak Ahmad ayah Muhibbin, keluarga Disya sangat memperhatikan ibu Suratmi dan anak-anaknya.
"Lalu gimana ceritanya kamu berubah nama menjadi Disya Rin? " tanya Muhibbin pada gadis disampingnya yang dikenalnya sebagai Karina.
"Ceritanya panjang Bin, ayah Sirkun merawatku hampir setahun dengan keadaan lumpuh dan atas saran tetua-tetua adat namaku diubah menjadi Disya Kumala Dewi oleh ayah Sirkun, agar kelak aku tak mengingat kejadian menyedihkan itu dan membantu mengembalikan kondisi psikisku yang sakit saat itu" ujar Disya.
"Sekali lagi maafkan aku ya Bin atas kejadian itu" mohon Disya pada Muhibbin.
"Ah sudahlah jangan dibahas lagi, yang penting kita tatap hari depan dan hari yang lalu sebagai kenangan dan pembelajaran" senyum Muhibbin pada Disya
Memang sejak kejadian kecelakaan pak Ahmad waktu itu, keluarga Disya selalu memperhatikan keluarga almarhum hingga saat setahun setelahnya keluarga Disya pindah ke Negeri Banjir. Pernah suatu ketika keluarga besar Disya berkunjung ke sektor tujuh dan sudah tak mendapati keluarga Muhibbin karena ibu Suratmi mengajak anak-anaknya pulang ke kampung almarhum suaminya, sejak saat itupun kedua keluarga ini terpisah dan tak ada kabar berita.
Angin malam mulai semakin dingin, tiba-tiba dari kejauhan beberapa wanita menghampiri Disya dan Muhibbin.
"Ternyata kalian disini" ujar Sekar pada kedua orang didepannya. Disampingnya berdiri dua orang wanita, yang satu gadis ayu berambut sebahu dan sebelahnya lagi wanita lebih dewasa menggenakan kerudung jingga.
"Bin, kenalin ini sahabatku Diera dan kak Rizza" Disya bangkit memperkenalkan kedua wanita disamping Sekar.
"Hai, aku Diera" ujar gadis berambut sebahu
"Saye Rizza binti sawali" ujar wanita berkerudung jingga.
"Saya Muhibbin" jawab Muhibbin memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya pada keduanya.
"Kalau yang ini gak perlu di kenalin" lirik Disya pada Sekar sahabat karibnya.
"Ah kalau yang ini sih sudah kadaluarsa" celutuk Muhibbin
"Ah Bli Ibin... males dah aku" Sekar pura-pura merajuk sambil mencubit lengan kakak angkatnya.
Semua tertawa dengan tingkah Sekar yang dikenal ceria.
Malampun semakin larut, rembulan pun condong kearah barat dengan sinarnya yang tetap cermerlang.
Muhibbin melangkah sambil menggumamkan sebuah sajak seiring Lampu-lampu yang mulai meredup dan bayangan pepohonan terbunuh oleh gelapnya malam.
'Kenangan Pertemuan Pertama
Kenanglah gumam pertama
Pertemuan tak terduga
Disuatu kota pantai
Disuatu keasingan rindu
Disuatu perjalanan biru
Kenangkanlah bisikan pertama
Risau pertarungan kembara
Duka percintaan sukma
Rahasia perjanjian sunyi
Kenanglah percakapan pertama
Gugusan waktu, nafas dan peristiwa
Mungkin hanya angin, daun dan debu
Pesona terakhir nyanyian sajakku'
*******
PENGUMUMAN
pembaca juga bisa kunjungi dan mampir di chanel Youtube penulis di "Kopral 234_TH" dengan beberapa koleksi puisi-puisi MCA, jangan lupa like dan dukungannya Maturnuwun sanget.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Antony L
esmesing.... wo wouuu..o
2021-02-04
0
mama ridhwan❣️
Panjangnya mlm tu😄
2020-11-20
0
ARSY ALFAZZA
lanjut like
2020-11-14
0