Hari itu udara segar menyapa langit yang mulai sore, Muhibbin terduduk ditepian pantai purnama dengan sepucuk surat ditangannya.Warta dari kakaknya rutin dia terima. Setelah Sewindu dia bermukim di Negeri Pantai ada rasa rindu akan kampung halamannya.
Ya, Dia selama ini belum pernah pulang ke negeri asalnya Negeri Batu Ular, walaupun setiap purnama dia mendapat balasan surat yang ditulis kakaknya Cahaya sekedar mengabarkan keadaan Suratmi Ibunya dan Raya Suci keponakannya yang telah berusia delapan tahun.
Kakaknya berkabar bila Raya Suci sekarang sudah mulai belajar di Pesantren Kyai Bashori yang juga merupakan guru Muhibbin selama di kampungnya.
Ada rasa bangga mendengar pertumbuhan keponakannya itu, Cahaya mengabarkan bila Raya Suci merupakan anak yang cerdas dan cepat menyerap ilmu yang diajarkan kyai Bashori.Dilipatnya kembali kertas yang ada ditangannya.
Muhibbin beranjak dari tempat duduknya, Dia berjalan ditepian pantai diantara buih-buih ombah yang membasahi kakinya.Dikejauhan terlihat seorang dara dengan rambut terurai sepinggang dibelai angin pantai.
Matanya tertegun memandang gadis ayu yang tak lain adalah Disya. Ya Disya Kumala Dewi putri tuan Sirkun sang dermawan Negeri Pantai. Dihampirinya gadis itu, rona merah tembaga sang surya diatas kepala Disya menambah keanggunannya.
"Hi nona!" Sapa Muhibbi pada Disya.
Gadis itupun menoleh ke arah datangnya suara. Mata indahnya lekat memandang Muhibbin, bibir merahnya terkatup diam. Dia masih berfikir siapa gerangan pemuda yang menyapanya.
"Nona lupa ya?" lanjut Muhibbin bertanya.
"Anda siapa, apakah kita pernah bertemu?" sahut Disya dengan suara merdu bak seruling gembala.
Muhibbin mengulurkan tangannya
"Saya Muhibbin nona." kata Muhibbin memperkenalkan diri.
Disya enggan menyambut uluran tangan Muhibbin, dibenaknya masih penuh tanda tanya siapakah gerangan lelaki yang menyapanya ini.
Muhibbin menarik tangannya kembali dengan perasaan malu dan berkata,
"Saya yang anda tabrak dengan kereta angin seminggu lalu nona," kembali suara muhibbin memecahkan suasana.
"Ooohh! Kamu pemuda sembrono itu?" pekik Disya sambil membelalakkan matanya.
"Ngapain kamu kemari?" lanjut Disya bertanya.
"Saya sedang mencangkul, nona. Ya menikmati suasana pantai lah!" jawab Muhibbin ketus karena uluran tangannya ditolak Disya.
"Hei jangan ngebanyol kamu!" kata Disya kembali dengan dingin. Dia teringat insiden kereta angin tempo hari. Akibat kejadian itu dia tak bisa mengikuti latihan menari karena kakinya terkilir.Padahal latihan itu akan dilakukan untuk persiapan penyambutan tamu dari Negeri Banjir dan negeri serumpun yang akan berkunjung ke Negeri Pantai akhir pekan ini.
"Kamu tau, akibat tingkah cerobohmu aku gak bisa tampil menari dihadapan tuan Gubernur. Lihat kakiku ini!" Disya menjulurkan kaki kanannya yang di perban di bagian mata kaki.
Melihat kaki Disya yang terbungkus perban, Muhibbin merasa bersalah, raut mukanya tertunduk lesu dihadapan Disya.
"Maafkan aku nona!" sesal Muhibbin.
Wajahnya masih tertunduk.
"Hai, kamu kenapa? santai aja kalee, itu tak sepenuhnya salah kamu." mata Disya iba menatap lelaki dihadapannya.
"Hai kenapa diam?" imbuh Disya kembali.
"Apa yang kamu fikirkan, kelihatan wajahmu gelisah?" tatapan Disya masih ke arah Muhibbin.
" Aku gak apa nona, mungkin hanya letih." jawab Muhibbin lirih.
"Jangan panggil aku nona, panggil Disya saja!" kata Disya kembali.
"Kertas apa di tanganmu itu?" lanjut Disya.
"Oohh , ini bukan apa-apa nona." jawab Muhibbin sambil menyembunyikan kertas yang dipegangnya di balik punggungnya.
"Jangan panggil nona, Aku marah ya!" ancam Disya sambil merebut kertas yang dipegang Muhibbin.
Muhibbin terkejut tak menyangka tangan Disya cepat merain kertas ditangannya. Dengan mata penasaran Disya mulai membaca dua lembar kertas ditangannya.
Sejurus kemudian dia berkata,
"Kamu bukan orang asli sini ya?"
"Dan puisi yang kamu tulis ini lumayan juga" kata Disya pada Muhibbin.
"Emm iya nona," jawab Muhibbin canggung.
"Ini sudah tiga kali aku dipanggil nona." kata Disya sambil memukul bahu Muhibbin.
"Aauuu, sakit!" ringis Muhibbin spontan,
memar bekas insiden kereta angin seminggu lalu juga masih terasa oleh Muhibbin.
"Hai, Maaf!" kata Disya merasa bersalah
"Kenapa bahumu?" tanya Disya kembali.
"Itu bekas ketabrak kereta anginmu non, ehh Disya." jawab muhibbin canggung.
"Maafkan aku juga ya!" kata Disya
"Ngomong-ngomong Kamu belum menjawab pertanyaanku,"lanjutnya
"Oou, itu."
"Aku memang bukan dari Negeri ini, Aku hanya krama tamu," jawab Muhibbin.
"Aku berasal dari Negeri seberang, tepatnya Negeri Batu Ular." jawab Muhibbin kembali.
"Sudah kuduga, dari logatmu gak seperti orang sini." ujar Disya
"ya Dis, Aku sudah sewindu disini dan untuk saat ini aku tinggal dirumah pak Nengah Wirata yg di perempatan jalan itu."
"Ooohh, jadi kamu tinggal dirumah Sekar Jempiring?" jawab Disya tak menyangka.
"Sekar itu sahabatku, satu pasraman denganku." imbuh Disya.
"Ohh jadi kamu kawan adikku," jawab Muhibbin tak menyangka pula.
"Tulisan puisimu lumayan."
"kalau kamu ada waktu, mainlah ke Selasarku. tiap hari rabu para penyair senior dan perupa berkumpul di tempatku." imbuh Disya.
"Aah! Aku baru belajar Dis." jawab muhibbin,
dan setelah itu ditanggapi kembali oleh Disya.
"Serius! aku gak guyon, lo!"
"Kadang-kadang tuan Umbu juga hadir, beliau mengajari kami juga di pasraman."
Mendengar kata Umbu di sebut, hati Muhibbin penuh semangat.
"Baiklah Dis, nanti aku mampir kesana dengan adikku Sekar." jawab Muhibbin antusias.
"eehhh Bin, udah mulai gelap nih. Aku pulang dulu ya!" kata Disya.
"Mau aku antar?" Muhibbin menawarkan diri
"Gak usah, Aku bisa pulang sendiri." jawab Disya sambil mengembalikan surat dan selembar tulisan berisi puisi.
"Sampai ketemu di selasar, ya!" teriak Disya sambil berlalu, Dia menaiki kereta anginnya.
Suasana pantai purnama mulai gelap, Muhibbin pun beranjak pulang kerumahnya, tanpa sadar sambil berkata "Karina."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
IKA 🌹SSC🌷💋plf
Karina?????? siapa dia?????
2021-03-01
0
@elang_raihan.Nr☕+🚬🐅🗡🐫🍌
💪🏿💪🏿💪🏿☕
2021-02-20
0
ARSY ALFAZZA
like
2020-11-14
0