Langkah kaki Muhibbin mantab melalui jembatan dermaga, senyum tipis tersunggung dibibirnya sambil menghirup udara segar di tepian dermaga Negeri Pantai.
"Inikah Negeri Pantai yang termasyur itu? sungguh negeri yang indah," gumam Muhibbin
Langkahnya semakin jauh meninggalkan dermaga, tak terasa dua setangah jam dia berjalan menyusuri tepian pantai dengan suguhan pemandangan indah nan exotik.
Lamat-lamat di kejauhan terlihat pemukiman yang sangat ramai nan asri, pohon-pohon besar menjulang tinggi di angkasa dan sinar mentari menerobos disela-sela dahan dan dedaunan pun meronta dibelai angin pagi yang segar semilir sehingga menambah nuasa keanggunan kota Negeri Pantai.
Terlihat wanita-wanita setengah baya membawa keranjang yang diikat dipinggangnya berisi bulir-bulir padi yang siap ditumbuk untuk konsumsi harian mereka.
Berlarian cengkrama anak-anak kecil dengan tawa ceria, gadis-gadis berkulit sawo matang dengan sanggulan rambut dikepala dan sebagian rambut dibiarkan terurai dengan memakai kemben atau lilitan kain didada dan jarik atau kain panjang menutupi area perut hingga mata kaki semakin menambah kesan ayu menawan.
Ditangan-tangan mereka memegang nampan yang terbuat dari anyaman pohon Ata, sejenis rotan dan diatasnya terdapat bokor-bokor kecil berisi air dan bunga yang ditempatkan pada anyaman daun kelapa dan disela-selanya terdapat dupa yang menyala dengan aroma wewangian yang menambah rasa tenang bagi siapa saja yang menghirupnya. Ternyata itu adalah banten atau sarana persembahyangan masyarakat Negeri Pantai yang mayoritas beragama Hindu untuk persembahan kepada para Dewa.
"Hem, alangkah indahnya." gumam Muhibbin perlahan.
Matanya terus mengamati apa yang dilakukan gadis- gadis ayu didepannya itu. Rasa penasarannya pun semakin menjadi, Dia duduk di bongkahan batu besar dipinggir jalan, tepat di bawah pohon beringin yang menjulang gagah sambil merilekskan kaki-kakinya yang mulai penat akibat berjalan dari dermaga.
Dia teringat ketika masa kecilnya dulu di Negeri Batu Ular, Neneknya dari garis Ibu sering melakukan kegiatan semacam yang dilihat didepan matanya, bedanya sarana yang dipakai oleh Neneknya hanya terdiri dari bunga, air dan wewangian dari batu kemenyan yang ditempatkan disebuah wadah kecil berbentuk lepek terbuat dari tanah liat dan diatasnya ada bara api sebagai pembakar kemenyan tersebut. Nenek dari garis Ibu merupakan priyayi keturunan Negeri Patria dan karena menikahi Kakek Muhibbin yang berasal dari keluarga biasa akhirnya kasta dan gelar dari sang Nenek tidak digunakan lagi karena aturan adat istiadat masa itu walaupun sebenarnya Kakek Muhibbin adalah keturunan ke empat Asta Tenggih Negeri Garam yang rata-rata adalah pemuka agama.
Muhibbin terus memandangi aktifitas didepannya. Dia bangkit perlahan-lahan dan menghampiri gadis ayu didepannya dan bertanya
"Swastiastu Gek, bisakah saya bertanya sesuatu" tanya Muhibbin sambil memandang gadis remaja didepannya.
"Swastiastu Bli, nggih apa yang bisa saya bantu" jawab gadis didepannya dengan ramah.
Bli adalah panggilan pada lelaki yang lebih tua dan gek adalah panggilan untuk wanita yang lebih muda di Negeri Pantai.
"Perkenalkan saya Muhibbin dari Negeri Batu Ular di seberang laut Negeri Pantai ini, panggil saya Ibin"
ujar Muhibbin sambil mengulurkan tangannya kepada gadis remaja didepannya.
"Saya Luh Sekar Jempiring, Bli! panggil saja Sekar," jawab gadis itu sambul menyambut uluran tangan Muhibbin.
"Begini Gek, Saya baru pertama menginjakkan kaki di Negeri ini, kira- kira dimana saya bisa mencari penginapan atau kedai makan?"
tanya Muhibbin pada Sekar.
"Di desa ini tak ada penginapan Bli ataupun kedai makan, tapi tak jauh dari sini tepatnya kearah utara merupakan pusat kota Negeri Pantai, jika Bli berjalan sekitar satu jam akan sampai dipusat kota." jawab Sekar gamblang.
"Tapi jika melihat Bli Ibin, rasanya Bli sangat lelah sekali, kalau tak keberatan mari singgah di rumah orang tua saya," lanjut sekar memandangi Muhibbin.
"Wah terimakasih sekali Gek, kebetulan kaki saya penat sekali. Sejak fajar tadi berjalan dari dermaga dan badan saya mulai berkeringat serta pakaian mulai lengket di badan," jawab Muhibbin antusias dengan tawaran Sekar.
"Kira-kira apa tidak merepotkan gek?" imbuh Muhibbin
"Gak apa Bli, mari ikuti saya." Sekar berjalan di hadapan Muhibbin menuju sebuah rumah di seberang jalan.
Rumah itu terlihat anggun, dengan gerbang setinggi tiga meter yang biasa disebut Angkul-angkul dan didalamnya bangunan tertata rapi membentuk empat penjuru mata angin.
Bangunan di sebelah barat disebut Balai Dauh yang biasa di tempati orang tertua dari keluarga itu, Bangunan yang ada di sebelah utara disebut Balai Daja yang ditempati anak tertua, Balai diselatan disebut Balai Dlod di tempati anak termuda dan yang sebelah timur disebut Balai Dangin khusus dipakai untuk tempat upacara agama, menerima tamu maupun penyemayaman jenazah keluarga sebelum dikremasi.
Diantara Balai Dangin dan Balai Daja terdapat tempat persembahyangan yang disebut Sanggah Merajan dan di tempatkan diantara kedua balai tersebut sesuai dengan arah Gunung Tohlangkir sebagai pusat kiblat keagamaan warga Hindu Negeri pantai dan semua itu tertulis dalam Lontar Kosala Kosali atau dikenal dengan ilmu penempatan tataruang sebuah rumah adat Negeri Pantai.
"Sungguh penataan yang indah," Gumam Muhibbin takjub sambil melangkahkan kaki masuk menuju rumah Luh Sekar.
"Mari silahkan duduk dulu Bli," ujar Sekar sambil berlalu menuju ke belakan Balai Dangin rumahnya.
Selain dikenal dengan negeri yang indah, Negeri Pantai juga di kenal dengan keramahan masyarakatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Kopral234_TH/Backup2nd🇮🇩
Bumi Patria itu Blitar
2023-01-30
1
Hanachi
negri pantai itu Bali ya, kk author? kalau negri batu ular di mana?
ini setting nya di masa sekitaran tahun berapa?
2023-01-30
0
Hanachi
negri patria itu di mana?
2023-01-30
1