TUUUTTTT...TUUUUTTT
Terompet perahu meraung di keheningan malam,seorang lelaki remaja berdiri diantara sandaran dek kapal. Matanya menerawang jauh seolah-olah menggambarkan pergolakan batin dan beban yang ada dipundaknya.
Malam itu bulan semakin menua, pancaran sinar penuh indah menasbihkan penanggalan yang semakin dipuncak, tepatnya purnama kedasa yang tak lain bertepatan dengan tanggal 14 April dan waktu menunjukkan sepertiga malam tepatnya 01.21.
Angin malam semakin dingin,gemuruh ombak setinggi dua meter menghantam lambung kapal dan lelaki muda itu tetap tak beranjak dari tempatnya.
Rambutnya yang sebahu diikat keatas menyerupai gelung para resi dengan tubuh kurus dibalut jaket lusuh dan tas ransel yang selalu menggantung di salah satu pundaknya.
Di sela- sela jemarinya terselip sebatang rokok yang tinggal separuh, dihisapnya dalam-dalam dan dihembuskan perlahan seolah-olah menghembuskan beban yang menghimpit didadanya.
Lelaki muda itu menerawang mengingat perpisahan dengan keluarganya di kampung halaman siang tadi, sebuah desa kecil di Negeri Batu Ular. Disana lelaki itu meninggalkan seorang Wanita tua yang buta,kakak perempuannya serta seorang bayi perempuan yang mungil berusia sembilan bulan untuk merantau mengadu nasib di Negeri Pantai yang konon kabarnya adalah sebuah negeri yang indah, surga bagi para Penyair dan Seniman.
Kesohoran Negeri Pantai telah di kenal sampai diberbagai benua, banyak para wisatawan datang dan jatuh cinta dengan kondisi alam dan budaya masyarakat Negeri Pantai, sehingga segala usaha apapun berkembang disana terutama seni budaya.
Muhibbin menjura dan bersujud mencium kaki wanita tua dihadapannya dan wanita itu dengan lembut mengusap rambut Muhibbin.
"Emak, Saya mohon doanya. Hari ini saya akan berangkat mencari rizki demi keluarga kita, Mak." ujar Muhibbin lirih menahan tangisnya.
Wanita tua itu terus mengusap rambut anaknya yang masih bersujud di kakinya.
"Ya le..Emak restui perjalananmu, berangkatlah dan jaga dirimu baik-baik. Jaga iman mu, emak akan selalu mendoakan mu, Nang." jawab wanita tua itu dengan lembut.
Tangannya yang keriput merogoh sesuatu dari gulungan jarik yang ada disampingnya,
terlihat wanita itu menyerahkan sebuah cincin sederhana berwarna coklat bening yang telah lama dia miliki.
"Bawalah cincin emak ini, Le. Restu emak selalu bersamamu."
"Cincin ini adalah peninggalan mendiang leluhur mu, jagalah baik-baik. Nama cincin ini adalah Sulaiman Madu."
Wanita tua itu menyerahkan cincin bermata batu madu sulaiman dari Negeri Syam hadiah kakak kandung Wanita itu ketika menikah dengan almarhum Ahmad ayah Muhibbin.Wanita itupun berpesan kembali kepada putranya.
"Le..suatu saat nanti jika kamu menemukan wanita yang benar-benar kamu kasihi dan menerimamu apa adanya sebagai suaminya, berikanlah cincin itu pada istrimu "
Suratmi ibu dari Muhibbin yang sepeninggal suaminya enam tahun lalu mengalami kebutaan akibat sakit panas dan tekanan darah tinggi sehingga syaraf-syaraf di matanya mengering dan mengaganggu indra penglihatannya hingga saat ini.
Muhibbin memiliki empat orang saudara dan ketiganya sudah berumahtangga sehingga otomatis hanya tinggal dia dan kakak perempuannya di rumah pokok menemani ibunya dan sejak dua bulan lalu anggota keluarga ini bertambah dengan kehadiran bayi perempuan yang tak lain anak kakak pertama Muhibbin yang di beri nama Raya suci karena kelahirannya bertepatan dengan puncak bulan Saum dimalam hari raya.
Dia bangkit dari sujudnya dan mencium punggung tangan Suratmi ibunya, tak lupa pula mencium punggung tangan kakak perempuannya dan pipi Raya suci keponakannya.
"Yu, Aku pamit dulu. Jika tak ada halangan setiap purnama akan ku kirim kabar untuk kalian, Aku mohon doamu yu."
ujar Muhibbin ke kakak permpuannya yang akrab di panggil mbak yu Cahaya.
"Berangkatlah nang, doa mbak yu akan selalu menyertai mu. Kejarlah semua cita-citamu dan niatan mulyamu untuk memperjuangkan keluarga ini, Insya Allah akan selalu di ridhoi."
isak Cahaya memeluk adiknya yang diantara keduanya ada Raya suci dalam gendongannya.
TUUUTTTT...TUUUUTTT
Sekali lagi raungan terompet kapal berbunyi dan menyadarkan Muhibbin dari lamunannya, tak terasa buliran bening meleleh disudut matanya dan didalam hati bertekad membahagiakan ibu, kakak dan keponakannya.
Kapal bersandar di pelabuhan Negeri Pantai, tak terasa semburat kuning kemerahan menyembul diantara cakrawala ujung timur, Muhibbin bergegas turun dari dek atas kapal menuju jembatan dermaga.
"Selamat bertemu Negeri Pantai, Aku akan menaklukkan mu," ujar Muhibbin dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Hanachi
bekal apa yang sudah kamu miliki untuk bisa menaklukan negeri pantai, wahai muhibbin?
2023-01-30
0
⚥︎🧚♀️Ⓖ︎Ⓐ︎Ⓛ︎Ⓘ︎ Ⓖ︎Ⓞ︎🕺
mantap
2021-03-29
0
Nafi' thook
Kaka ini seperti baca syair aku suka
2021-02-21
0