Bab Delapan

Hawaa tidak bisa menjawab pertanyaan Abi-nya. Tangisnya pecah. Syifa yang melihat itu menjadi tak tega. Apa lagi Gafi. Dia ingin mengatakan semuanya, tapi takut semua akan menjadi makin runyam.

Syifa mendekati putrinya yang masih berlutut dengan wajah yang berlinang air mata. Tubuhnya terlihat berguncang karena menahan tangis. Haikal sebenarnya juga tak tega melihat semua itu.

Syifa ikut berlutut dan memeluk tubuh putrinya. Dia ikut sedih melihat keadaan Hawaa.

"Sayang, jika memang itu yang terbaik untukmu, Bunda izinkan. Tapi, apa kamu sudah pertimbangkan semuanya, Nak. Kamu tahu'kan Batam bukan kota yang ramah bagi wanita. Kamu harus bisa menjaga diri dengan sangat kuat," ujar Syifa menjelaskan.

"Aku bisa jaga diri, Bunda. Aku hanya keluar saat bekerja," jawab Hawaa dengan terbata.

"Dan semua ini tidak ada hubungan dengan Adam, Abi. Aku sudah mengajukan pindah dari beberapa bulan lalu. Jika aku terus bergantung pada Abi dan Bunda, aku takut jika suatu saat aku menikah, dan harus jauh dari kalian, aku akan menjadi canggung. Biar aku belajar dari sekarang untuk mandiri," ucap Hawaa, kembali mencoba meyakinkan kedua orang tuanya.

Syifa lalu berdiri dan mendekati suaminya. Menganggukan kepalanya agar Haikal mau mengizinkan. Sebagai seorang wanita, dia dapat memahami dan merasakan apa yang Hawaa pikirkan saat ini.

"Hawaa belum pernah jauh dari kita, Syifa. Apakah bisa nanti dia hidup tanpa kamu? Semuanya kamu yang siapin?" tanya Haikal.

"Kita beri dulu dia kepercayaan. Jika nanti dia tak mampu, dan akhirnya menyerah, paling tidak Hawaa pernah mencobanya, Mas," balas Syifa.

"Aku tak setuju kalau Hawaa kerja di luar kota, Bunda," jawab Adam.

Hawaa masih terlihat terisak. Tekadnya telah bulat untuk ke luar kota. Menjauh dari sini. Sebenarnya juga dia hanya satu bulan di Batam sebelum dipindahkan lagi ke Singapura. Kantor pusat yang di Singapura membutuhkan keahliannya.

"Abi, Bunda, jika memang aku tak diizinkan bekerja ke Batam. Izinkan aku menetap di Australia selamanya. Aku ingin tinggal dengan Tante Celine," ucap Hawaa.

Ucapan Hawaa itu makin membuat Haikal dan Syifa terkejut. Menetap di sana itu sama artinya dia tak akan kembali lagi. Itu lebih tak mungkin lagi.

Haikal tampak menarik napas berat. Ini keputusan tersulit yang harus dia ambil. Membiarkan anaknya merantau, itu akan membuat pikirannya tidak akan pernah tenang, dan jika tidak diizinkan takut Hawaa yang akan stress. Dia tak tahu apa yang ada dalam pikiran gadis itu.

Jika mengizinkan dia menetap di Australia itu sama saja mereka akan pisah dalam waktu lama. Tidak mungkin setiap bulan bertemu. Jika di Batam masih bisa setiap akhir pekan dia terbang ke sana jika rindu.

Dengan terpaksa Haikal akhirnya menunduk dan membantu putrinya bangun. Dia lalu memeluk sang anak dan air mata menetes dari sudut mata pria itu.

"Sayang, kenapa memberikan Abi pilihan yang sulit? Apa kami melakukan kesalahan sehingga kamu memutuskan untuk pergi menjauh? Katakan dengan jujur, Nak!" ucap Haikal.

"Abi dan Bunda tidak ada salah. Kalian berdua orang tua terhebat. Aku sangat bersyukur memiliki kalian berdua. Semua ini murni karena aku ingin mencari pengalaman," ucap Hawaa dengan suara terbata.

Syifa sudah tidak bisa menahan air matanya. Selama pernikahan, mereka selalu bersama. Bahkan awal menikah, gadis itu selalu ingin tidur dengannya. Begitu kuat ikatan ibu dan anak itu walau tidak sedarah.

Melihat Syifa yang terisak. Hawaa mendekatinya. Dia tidak tega melihat wanita itu menangis.

"Bunda, jangan menangis. Bunda tidak salah. Bunda, adalah ibu terhebat yang aku miliki. Walau aku tidak lahir dari rahimmu, tapi cintamu begitu tulus untukku. Bunda telah mematahkan asumsi orang-orang jika ibu tiri itu jahat. Kasih sayangmu begitu besar untukku, yang bukan siapa-siapamu. Aku sayang Bunda," ucap Hawaa.

Syifa memeluk tubuh putrinya itu. Kembali tangisnya pecah. Mereka berdua tampak terisak.

"Baiklah, Abi izinkan dengan syarat setiap hari kamu harus memberikan kabar dan jangan pernah menolak saat kami hubungi," ucap Haikal akhirnya.

"Terima kasih, Abi," ucap Hawaa. Dia mendekati ayahnya itu dan memeluknya.

Jika Abi dan Bunda keberatan melepaskan dirinya untuk ke luar kota, Hawaa sebenarnya juga tak ingin berpisah. Tak pernah ada dalam bayangannya akan berpisah dari mereka.

Haikal dan Syifa kembali duduk di sofa ruang keluarga itu. Ketiga putra dan putrinya ikutan duduk. Dia memberikan sedikit nasehat untuk sang putri. Adam hanya diam memandangi wajah Hawaa. Jika Abi telah mengizinkan, tak akan ada yang bisa merubah keputusannya.

Hawaa masuk ke kamar dan langsung mengunci pintu kamarnya. Saat ini dia ingin sendiri. Dadanya dari tadi terasa sesak. Harus berbohong dengan kedua orang tua yang begitu menyayangi dirinya.

Hawaa duduk di dekat jendela kamarnya. Matanya menerawang entah kemana. Berat rasanya meninggalkan kamar ternyaman untuknya selama ini.

"Adam, awalnya aku mencintaimu dengan cara yang tidak sengaja dan hingga pada akhirnya aku harus melepaskan mu dengan cara terpaksa. Jika akhirnya aku memilih untuk melepaskan mu, yang perlu kamu tahu, aku sudah mematahkan seluruh hatiku. Aku sudah berdebat hebat dengan diriku sendiri. Dan aku sudah melangit'kan beribu doa agar Allah menunjukan jalan selain perpisahan, dan akhirnya aku memilih takdir-Nya bahwa satu-satunya cara hanyalah merelakan kamu. Karena melepaskan juga bagian terbaik dari mencintai. Dan melepaskan seseorang yang dicintai dengan terpaksa sakitnya tidak main-main. Ikhlas itu tidak semudah mengucapkannya."

***

Semua tampak diam saat makan malam kali ini. Tidak seperti biasanya yang penuh canda tawa.

Setelah selesai makan, yang lain berkumpul di ruang keluarga, Hawaa lebih memilih ke taman. Dia lagi mulai membiasakan diri tanpa keluarga. Jika biasanya dia akan tiduran di paha sang bunda, kali ini dia memilih berdiam di belakang rumah.

"Apa benar kamu pergi hanya untuk menghindariku?" Adam yang tiba-tiba muncul entah sejak kapan menanyakan itu pada Hawaa. Gadis itu tersenyum miris mendengar ucapan saudara tirinya itu.

"Jangan berpikir sejauh itu, Adam. Lagi pula apa alasan aku menghindari kamu. Kita bersaudara, sampai kapan pun kita pasti akan bertemu!" jawab Hawaa. Dia berusaha menekan suaranya agar tidak terlihat gugup karena berbohong.

"Tak ada yang bisa membaca isi hati seseorang. Yang tau semua hanyalah pribadi sendiri," balas Adam.

"Aku pergi untuk mengembangkan karirku. Sekalian belajar jauh dari orang tua. Jika seandainya nanti aku menikah dengan bule seperti Tante Celine, aku tidak kagok lagi," ucap Hawaa.

"Jangan pergi, Hawaa! Apa kamu ingin aku membatalkan pertunanganku untuk mencegah kepergianmu?" tanya Adam dengan nada memohon.

...----------------...

Terpopuler

Comments

mama aya

mama aya

aku pernah melangitkan doa untuk seseorang yg begitu berarti dlm hidupku
tapi ternyata Allah menardirkan kami tidak berjodoh
sakit itu pasti...
tapi aku percaya ketetapanNya yang terbaik untukku 🤣🤣🤣

2024-04-24

4

Lilik Juhariah

Lilik Juhariah

cinta suatu saat akan kembali kepemiliknyan seperti nabi Adam dan Hawa

2024-04-22

1

Rahmawati

Rahmawati

Adam jg punya perasaan yg sama kah dengan hawa

2024-04-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!