Bab VIII

"Azcel..hiks.."

"Grite? Kenapa kamu menangis?" tangan kekar itu mengusap lembut pipi mulus sang kekasih yang basah dengan air mata. "Tunggu, lihat aku! ini kenapa?" Azcel yang melihat luka di sudut bibir Grite sedikit cemas.

"Azcel.." tangis Grite semakin keras, isakan tangisnya pun tak juga kunjung mereda meskipun Azcel telah memberikan pelukan ternyamannya.

"Menangislah Grite, aku ada disini. Ceritakan nanti jika suasana hatimu sudah membaik." Setelah Azcel membersihkan luka di tangan dan sudut bibir Grite, pasangan ter so sweet itu kini duduk di kursi taman dekat kampus dengan pelukan sang lelaki yang tak kunjung lepas.

Setelah hampir 1 jam dengan air mata yang terus menetes kini akhirnya Grite memberanikan diri bercerita apa yang selama ini menimpa sang ibu dan dirinya.

"Azcel sebenarnya ini sudah terjadi berulang-ulang sejak aku kecil, tadi tetangga rumah tempat ibuku tinggal menelpon ku," Grite mulai bercerita untuk pertama kalinya dirinya menceritakan semua masalah yang menimpa dirinya sekaligus ibunya.

05.00

"Halo bibi Ranti.."

"Grite, cepat pulang.. ibumu terluka harus segera di bawa kerumah sakit!" ucap bibi Ranti panik.

"Ibu?? kenapa dengan ibu bi?" Grite yang terbangun karena dering telepon itu langsung membuka mata lebar mendengar kabar dari bi Ranti.

"Ayahmu tadi pulang dengan keadaan mabuk seperti biasa. Sepertinya dia membutuhkan uang karena kalah judi lagi. Entah apa yang terjadi saat kami sampai untuk melerai ibumu sudah terkapar di lantai bersimbah darah." Setelah terjeda beberapa detik, bi Ranti melanjutkan "Segeralah ke rumah sakit sejahtera, ambulance yang kami hubungi sudah sampai." telepon terputus sepihak.

Grite yang dilanda kepanikan itu segera bersiap, berangkat dengan tergesa-gesa beruntungnya karena waktu masih pagi jadi jalanan yang dilaluinya tidak macet. Jarak dari kos dan rumah sakit cukup jauh, dengan menggunakan motor matic nya Grite membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit.

🍃🍃🍃

"Bibi Ranti?? Bagaimana keadaan ibu?" Grite sedikit berlari ketika pandangannya tanpa sengaja melihat tetangga yang sudah dia anggap sebagai keluarga itu duduk dengan gelisah di depan ruang UGD.

"Grite akhirnya kamu sampai..."

"Keluarga bu Siska?" sebelum bi Ranti menjawab pertanyaan Grite, seorang dokter berusia 40 tahunan keluar ruangan mencari keluarga dari ibu Grite.

"Saya dok, saya putrinya." jawab Grite dengan bibir sedikit bergetar ketakutan. Takut jika satu-satunya tempat bersandar akan pergi meninggalkan dirinya sendiri di dunia ini.

"Ibu anda banyak kehilangan darah, stok kantong darah di rumah sakit hanya sedikit jadi kami membutuhkan transfusi darah dari keluarga."

"Ambil darah saya dok, darah saya sama dengan ibu." Demi ibu apapun akan aku lakukan asalkan ibu bisa sehat kembali seperti sediakala. Dengan beraninya tanpa seizin sang pemilik air mata menetes dari sudut mata Grite.

"Tolong selamatkan ibu saya dok, saya mohon."

"Itu sudah menjadi kewajiban kami. Anda tenangkan diri, dan jangan lupa selalu berdoa." Pesan dokter sebelum masuk ke ruang dimana bu Siska di tangani.

"Bi Ranti, apa ayah masih di rumah?" Tanya Grite.

"Tidak, saat kami sibuk menolong ibumu dan menghubungi ambulan ayahmu sudah pergi lagi entah kemana." ucap bi Ranti sedih.

"Bi Ranti tolong jaga ibu disini sebentar saja.."

"Kamu mau kemana?" potong bi Ranti.

"Aku ingin mencari ayah, sebentar saja bi."

"Tidak Grite! Jangan sampai apa yang menimpa ibumu akan terulang kepadamu. Kamu harus baik-baik saja, ibumu sangat membutuhkan mu."

"Sebentar saja, tidak akan terjadi apa-apa padaku. Percayalah." Grite berusaha meyakinkan bi Ranti.

Grite pergi menuju rumahnya, selama ini di rumah itu hanya di tinggali oleh sang ibu, karena untuk pulang-pergi dari rumah ke kampus membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan ayahnya hanya akan pulang sesekali itupun pasti akan membuat kerusuhan jika dirinya pulang.

Setelah 20 menit mengendarai motor maticnya kini Grite telah sampai pada sebuah rumah tua berlantai satu, warna cat hijau yang sudah pudar serta jendela-jendela yang sudah mulai lapuk termakan usia itu terlihat seperti rumah reot dibandingkan rumah-rumah disebelahnya.

Grite melangkahkan kakinya pelan memindai se isi rumah yang berantakan, serpihan vas bunga pecah berserakan dilantai, kursi kayu yang patah, serta pakaian-pakaian sang ibu yang berhamburan dilantai seperti telah kemalingan ini membuat Grite mengerti apa yang telah terjadi.

Setelah tersadar dari bayangan-bayangan apa yang menimpa sang ibu tadi pagi kini Grite tersadar, dirinya harus segera mengamankan apa yang selama ini di simpan dan di sembunyikan oleh sang ibu yaitu sertifikat rumah karena hanya itu harta yang dirinya dan ibunya punya.

"Ayah.." Grite terkejut dengan keberadaan sang ayah yang berada di dalam kamar ibunya.

"Kembalikan itu ayah! Itu bukan milikmu!" Grite berusaha mengambil apa yang selama ini di pertahankan oleh bu Siska.

"Anak ingusan sepertimu tau apa! Ini adalah milikku, ibumu yang tidak tahu terimakasih itu tidak berhak mendapatkan ini, hahaha" Serifikat rumah yang berusaha Grite amankan itu kini sudah berada di tangan sang ayah, itu berarti semuanya akan sia-sia.

"Suami macam apa kamu yang tega melukai istri sendiri demi sebuah uang?! Kamu iblis Hadi! Kamu tidak pantas berada di dunia! Seharusnya kamu berada di neraka!"

Plak..

Suara tamparan itu terdengar nyaring, bahkan tubuh Grite hingga terhuyung dan jatuh, tangannya yang digunakan untuk menopang tubuh kecil itu tanpa sengaja tertancap banyak serpihan kaca vas bunga kesayangan sang ibu.

"Sepertinya anjing kecil yang ku pelihara ini sudah mulai memberontak! Biar kuberi tahu sesuatu supaya ibumu tidak mati dalam rasa penyesalan karena telah merahasiakan hal besar darimu."

Grite yang geram mendengar perkataan ayahnya itupun mencoba berdiri dan menatap tajam penuh amarah "Tutup mulutmu! Ibuku akan tetap hidup tidak akan ku biarkan mati sebelum dia melihat mayatmu terlebih dahulu."

Plak..

Lagi, kali ini tamparan itu bahkan jauh lebih keras dari yang pertama..

Tidak Grite, kau tidak boleh menangis, luka di sekujur tubuh ibumu jauh lebih menyakitkan daripada ini.. Demi ibu kau harus kuat..

"Dengarkan aku baik-baik! Kau bukanlah anakku, kau dan ibumu hanyalah benalu dalam hidupku! Jika bukan karena permintaan adik ku untuk menikahi ibumu yang terlanjur hamil itu aku sekarang sudah bahagia dengan wanita yang kucintai! Kau tau?! Ibumu yang murahan itu hamil dan adikku kecelakaan saat akan menikah dengan ibumu. Sebelum dirinya meregang nyawa dia memintaku untuk menggantikan posisinya sebagai pengantin pria agar kamu terlahir memiliki ayah!" Hadi yang bahagia melihat raut terkejut Grite itupun semakin menjadi dalam memprovokasi dengan kata-kata pedasnya.

"Dan kau tahu ini?? Rumah ini adalah milik adikku yang di wasiatkan untuk mu! Tapi itu tidak akan terjadi! Anggap saja ini adalah bayaran karena aku telah bersedia menjadi ayahmu selama ini!"

Degh... Bagai di hantam batu besar jantung Grite berpacu dengan cepat, telinganya berdengung, kepalanya bahkan sangat sakit. Tidak! tidak mungkin, pasti ini hanya lelucon, bagaimana bisa ibu merahasiakan hal sebesar ini dariku..

Bruak..

Suara keras dari kursi yang di tendang Hadi itu menyadarkan Grite dari lamunannya. Kenyataan yang di ungkapkan pria yang selama ini dia anggap ayah itu bagaikan komedi putar yang terus terus berputar-putar tanpa henti memenuhi benak Grite.

"Tanyakan pada ibumu kebenarannya sebelum dia mati hahaha" Racau Hadi terdengar mengabur seiring menjauhnya langkah kaki meninggalkan Grite, rumah dan semua kenangannya.

🍃🍃🍃

yuuk bantu like, follow dan vote ya 🤭 komen juga boleh kok😉

Terpopuler

Comments

MyBe

MyBe

bener-bener ya itu si hadi, kok jadi kasihan ya sama Grite

2024-03-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!