Bab IV

Pagi ini Azcel pulang ke mansion di pagi-pagi buta, dia berniat mengemasi beberapa barang pribadinya yang akan dia bawa ke Indonesia. Ya! Azcel dan Aditya memutuskan untuk berlibur ke Indonesia lebih tepatnya Bali. 

Setelah dari Bali Azcel akan pulang ke tempat dimana selama ini dia tinggal, tempat yang benar-benar dia merasa bahwa tempat itu layak di sebut sebagai rumah. Yaps, tempat itu adalah tempat kakek dan nenek Azcel dari pihak ibu, kakek dan nenek yang selama ini dia panggil dengan sebutan Enyang kakung dan Eyang putri.

Mereka, sesepuh yang memang sudah sepuh tapi sangat amat menyayangi Azcel, sebuah keluarga harmonis, keluarga berdarah biru di Jawa Tengah.

Setelah mengemasi beberapa pakaian, tanda pengenal, dan surat-surat penting lainnya Azcel keluar dari kamar. Melihat pintu kamar ber cat putih di depannya membuat Azcel teringat akan daddy nya, bagaimanpun juga dia harus berpamitan.

Di ketuknya pintu kokoh tersebut, tak ada jawaban. Sudah cukup lama Azcel mengetuk dan menunggu sang empu kamar tapi tak ada sahutan ataupun tidak ada yang keluar satupun dari dalam kamar tersebut maka Azcel memberanikan diri untuk membuka pintu itu perlahan.

Butuh waktu beberapa hari agar rasa sakit hatinya sedikit mengabur, kini di pagi ini Azcel harus menerima rasa sakit yang jauh lebih sakit daripada sebelumnya. Matanya menatap sesosok wanita yang dicintainya tengah tertidur lelap dipelukan sang daddy.

Marah?? Iya! Azcel marah, marah terhadap dirinya sendiri yang sial nya justru semakin menambah luka di hatinya. 

Azcel berjalan dengan cepat menuruni tangga menuju lantai satu, ruang makan dan dapur guna mencari keberadaan Felicia.

"Ibu, nanti tolong sampaikan pada daddy jika aku pergi ke Indonesia pagi ini." Azcel menghambur memeluk Felicia. Felicia tau ada sesuatu yang terjadi.

"Kamu kenapa Azcel? Kamu baik-baik saja?" Tanya Felicia khawatir.

"Jagan khawatirkan aku ibu, aku hanya ingin berlibur dengan teman ku." Azcel meyakinkan.

"Tidak Azcel, ibu tau kamu tidak baik-baik saja. Ceritakan kepada ibu." Mohon Felicia.

"Apa kamu sudah tidak menganggapku sebagai ibumu?" Wajah Felicia tersirat akan kesedihan yang membuat Azcel tidak bisa pergi begitu saja.

"Nanti setelah aku pulang dari berlibur aku pasti akan menceritakan semuanya kepada ibu. Oke?" Tawar Azcel untuk mengurangi kekhawatiran Felicia.

"Baiklah, jaga dirimu baik-baik dan jangan lupa selalu kabari ibu. Titip salam juga kepada enyang kakung dan eyang putri." Senyum terpaksa Felicia berikan untuk mengiringi kepergian Azcel.

"Azcel berangkat bu." Setelah pelukan terlepas Azcel dengan tergesa keluar meninggalkan rumah sang daddy. Bukan tanpa alasan, dia ingin segera mungkin pergi jauh dari rumah itu. Dia enggan melihat kembali apa yang dia lihat beberapa waktu lalu.

🍃🍃🍃

"Hallo dad.." Jawab Azcel setelah menggeser gambar telepon berwarna hijau di handphone nya.

"Kamu dimana Azcel? Kenapa tidak berpamitan sendiri kepada daddy secara langsung?" Komplain Agio.

"Maaf dad aku tadi terburu-buru, aku juga sudah mengetuk pintu kamar daddy tapi tidak ada jawaban." Azcel yang masih teringat atas apa yang dia lihat kini hanya bisa menatap nanar arah depan lurus pandangannya.

"Apa kamu sudah berangkat Azcel?" Ulang Agio karena merasa belum mendapat jawaban atas pertanyaannya tadi.

"Iya dad, aku sekarang ada di bandara. Penerbangan ku di tunda 1 jam lagi."

"Baiklah jaga dirimu baik-baik, Daddy harap kembalinya kamu nanti akan memberikan jawaban memuaskan atas tawaran daddy tempo hari." Telepon di akhiri, dua perasaan berbeda dari dua orang yang berbeda pula, jika Agio sedikit merasa lega karena merasa Azcel akan setuju dengan keinginannya maka Azcel justru sebaliknya, perasaan sakit yang dia rasakan sejak kepergiannya tadi kini justru semakin dalam lagi.

🍃🍃🍃

Grite yang tadi diam-diam menguping pembicaraan antara anak dan ayah itu kini tengah berdiri menatap nanar sesosok pria yang dia rindukan namun harus di hindari kedekatannya. Grite yang tau Azcel berada di bandara dengan cepat menyusul sesegera mungkin setelah Agio suaminya berangkat ke kantor.

Melangkah perlahan, meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, mensugesti fikirannya bahwa dia akan di terima dengan baik, dan memantapkan hatinya jika apa yang dia harapkan tidak berjalan dengan semestinya.

"Azcel," panggilnya perlahan.

Pria yang sedang fokus menatap ponselnya itu mendongak, menatap ke arah perempuan manis yang berdiri dihadapannya.

Mengernyit heran, terkejut, marah dan rindu berkecamuk jadi satu di hati Azcel.

"Azcel, beri aku waktu sebentar untuk menjelaskan semuanya. Aku ingin diantara kita tidak ada kesalahpahaman Azcel."

"Kesalahpahaman seperti apa yang kamu maksud Grite? Apa aku seperti pria bodoh di hadapanmu?"

"Tidak Azcel, kamu tetap pria terbaik yang aku kenal."

Senyum mengejek tercetak jelas di wajah Azcel. "Terbaik katamu?! Apa lelaki terbaik ini yang kau tinggalkan begitu saja tanpa penjelasan apapun! Kau pergi entah kemana dan aku mencarimu hingga hampir gila Grite! Setelah sekian lama aku menjadi pria bodoh dan gila tiba-tiba aku bertemu dengan mu yang gilanya ternyata kau sudah menikah dengan daddy ku! Apa aku saja tidaklah cukup bagimu Grite?! Sampai kau harus memiliki dua orang yang berhubungan darah sekaligus! Apa karena aku hanya seorang pelajar? Dan kau menginginkan daddy ku yang kaya raya meskipun usianya lebih cocok menjadi ayahmu!"

"Cukup! Kumohon Azcel dengarkan aku dulu. Semua yang kamu katakan itu tidak benar." Air mata yang sejak tadi mati-matian Grite tahan kini tumpah begitu saja tanpa bisa dicegah.

"Tidak benar dari sudut mana Grite! Tidak benar bahwa kamu pergi begitu saja?! Tidsak benar bahwa kamu telah menikah dengan daddy ku?! Tidak benar bahwa kamu tidak menginginkan uang keluarga ku?! Cih murahan!!"

"Cukup!! Kamu keterlaluan, apa kau sadar kalau kata-kata mu baru saja itu menyakiti ku Azcel!!" Teriak Grite marah menahan tangisannya.

"Apa?? Menyakitimu?! Ucapkan sekali lagi Grite!" Pandangan menghina tak lepas dari tatapan mata tajam Azcel. "Berkacalah! Apa perlakuanmu selama ini tidak menyakiti ku?!"

Bukan ini yang Grite inginkan, Grite butuh sosok Azcel yang selalu ada disaat dirinya terpuruk seperti ini. Dirinya butuh tempat berbagi rasa, dia butuh bahu yang siap untuk dijadikan sandaran, dia butuh dada lapang sebagai tempat menyembunyikan kesedihannya, dia butuh telinga yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya, dia butuh Azcel yang dulu, Azcel yang selalu mampu menyembuhkan luka-lukanya meskipun hanya sesaat hadir di sisinya.

🍃🍃🍃

Apartemen Aditya

Setelah insiden bandara tadi Azcel memutuskan untuk kembali ke Apartemen yang selama ini di huni Aditya. Mengabulkan permohonan Grite yang meminta waktunya untuk berbicara sehingga membuat Azcel memutuskan untuk menunda keberangkatannya ke Indonesia.

Beberapa menit hening, Azcel yang menunggu tangisan Grite mereda itu kini sudah tidak bersabar lagi.

"Katakan apa yang ingin kau jelaskan Grite. Jangan mengatakan omong kosong karena aku sudah rela meluangkan waktuku yang berharga ini." Ucapan menohok Azcel jelas langsung membungkam bibir Grite. Jangankan untuk bercerita, mendengar hinaan-hanaan Azcel saja terasa menyakitkan hati hingga menangis menjadi opsi satu-satunya saat ini.

Grite yang masih belum siap berbicara hanya menundukkan pandangan mencoba meredakan rasa sakit hatinya, mengatur debar jantungnya, menstabilkan nafasnya, dan merilekskan tubuhnya yang tiba-tiba gemetar menahan gugup dan kekesalan yang sialnya kini bersatu meruntuhkan keteguhan hatinya dimana beberapa jam yang lalu telah menggebu-gebu untuk bertemu sang pujaan hati meluruskan setiap lika-liku kesalahpahaman diantara mereka.

Azcel yang kini kesabarannya tinggal setipis tisu toilet di bagi 1001 itu beranjak menuju mini bar untuk mengambil sebotol minuman yang mungkin dapat menenangkan fikiran kacaunya. Entah sengaja atau memang lupa atas keberadaan Grite, Azcel kini semakin menjadi dalam menenggak minuman di genggamannya.

30 menit berlalu, Grite yang sudah cukup tenang kini mencoba mencari keberadaan Azcel. Apartemen yang tidak terlalu luas namun terdapat fasilitas lengkap itu tidak membuat Grite sulit menemukan dimana Azcel berada.

"Azcel.." panggil Grite

"Kenapa kamu kembali Grite?! Kenapa?!" Azcel yang berada di bawah pengaruh alkohol terus meracau tidak jelas.

"Azcel! Kenapa kamu mabuk di saat kita akan berbicara kesalahpahaman ini?" Tegur Grite sambil membantu Azcel berdiri.

"Aku membencimu Grite! Sungguh aku membencimu!"

Deg..

Racauan Azcel kali ini seketika menghentikan langkah kaki Grite yang memapahnya mencoba mencari dimana letak kamar Azcel.

🍃🍃🍃

Gimana?? Kurang greget??? Komen yaa, kritik dari kalian akan sangat bermanfaat untuk author 🥰

Terpopuler

Comments

Cancer

Cancer

naah keributan seperti ini yang aku suka

2024-03-25

0

Cancer

Cancer

berharap berlebihan itu tidak baik ya grite

2024-03-25

0

Cancer

Cancer

aduuh azcel, lagian ngapain sih ngintip segala, kan jadi sakit hatinya hehe

2024-03-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!