Kami tidak ijinkan, kau pulang sendiri atau kami akan kesana menjemput paksa kau dari situ!!"
Kedua kakakku sekarang sudah berkumpul.
Kakak perempuan yang nomor 2 tinggal berdekatan dengan kakak pertama, sehingga mudah untuk mereka berkumpul ketika ada urusan mendesak.
" Tidak bisa kak", jawabku nyaris menangis.
" Bah! Kenapa tidak bisa? Hebat kali...kami bilang pulang sekarang juga!",
" aku hamil kak...",
"Hah!!!.., memalukan sekali! Disekolahkan tinggi - tingggi, diperjuangkan mati - matian, ini balasanmu hah? Menyedihkan sekali caramu!", umpat kakakku.
" Gak tau diri kau memang!, begitu berharapnya kami melihat kau berhasil menjadi sarjana, berharap engkau dapat membanggakan keluarga tapi ternyata malah menghinakan sekali!",
Kakak pertama dan kedua bersahut - sahutan mengumpat diriku.
" Masuk islam pula!, percuma selama ini aktif di gereja bahkan semua kegiatan kerohanian kau ikuti ternyata semua hanya tameng, tak pernah kau imani sedikitpun, semakin memalukan saja!", maki kakak keduaku.
Kakak keduaku beragama kristen dan terbilang fanatik, bahkan ia penganut kristen kharismatik, sehingga mendengar aku akan masuk islam mengikut agama suami adalah hal yang sangat tidak bisa diterimanya.
Aku bisa membayangkan jika kakak keduaku saja sudah begitu menentang apalagi abang - abangku ( saudaraku yang laki - laki), pasti mereka akan marahnya luar biasa padaku.
Aku hanya bisa menangis mendengar semua kemarahan, kekecewaan dan umpatan - umpatan mereka.
Tak ada lagi pembelaan yang bisa kulakukan, karena memang aku sudah salah besar atas segala perbuatanku yang menghinakan keluarga.
Aan dan keluarganya mendengar semua pembicaraanku dengan keluargaku.
Aku sudah tak sanggup mendengar semua kemarahan kakak - kakakku, aku akhiri semua pembicaraan saat itu dengan mematikan telpon. Aku hanya berharap agar bisa menarik nafas sejenak.
Hanya berselang beberapa menit, telponku berdering kembali.
Abangku yang paling tertua menelpon, aku gemetaran dan nyaris tak bisa bernafas.
Untuk beberapa saat aku mengumpulkan oksigen dan segera melepasnya.
" Hallo bang", sapaku.
" Iya...ada yang mau dibicarakan denganku?",
tanya abangku dengan nada lembut namun penuh tekanan.
Cara ini mampu meluluhlantahkan seluruh benteng pertahananku, abangku tidak banyak bicara tetapi sekali bicara maka runtuhlah duniaku, dan itu terjadi.
Aku tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan.
" Aku tidak menelponmu untuk mendengar tangisan, aku mau mendengar penjelasan",
nada bicaranya semakin ditekan.
" Aku mau nikah bang", jawabku.
" Oh ...boleh tapi nanti setelah wisuda",
jawab abangku tenang tapi penuh tekanan.
" Gak bisa bang, aku harus nikah...", sahutku.
"Oh gitu, tidak ada yang lebih penting dari pada itu lagi?",
tanya abangku terkesan menyindir.
Aku mengerti makna pertanyaan sindiran yang dilontarkan abangku, namun harus bagaimana lagi semua sudah terjadi dan tak mungkin bisa kukembalikan seperti semula.
Sekilas aku merasa bahwa yang disarankan Lia dan Erik untuk aborsi adalah hal yang terbaik daripada harus menghadapi kenyataan.
Aku mulai berpikir jika seandainya aku mengikuti saran mereka untuk melakukan aborsi maka hanya aku yang menderita, paling tidak aku bisa menyembunyikan kenyataan yang sesungguhnya agar mereka bahagia dan melanjutkan kehidupan bahwa seolah - olah tidak pernah terjadi apapun yang menyedihkan.
Tetapi entah mengapa aku tidak berani nekad melakukan itu, dibayangi dengan kehidupan seorang gadis yang meninggalkan jejak kelam dalam hidupnya dengan tidak perawan lagi, lalu kemudian bertemu pria yang menikahinya dan kemudian setelah itu diceraikan karena tidak suci lagi, terus bayangan kata pembunuh yang menakutkan bagiku dan rayuan birahi yang tak mampu kuatasi membuatku untuk memutuskan menikah saja.
Ketika Aan mengakui dan bertanggung jawab akan kehamilan ini pun harusnya aku bersyukur karena dalam kenyataan hidupku, aku banyak menemui kasus dimana seorang wanita yang hamil namun tidak diakui oleh si pria.
Ada kasus dimana seorang wanita diceraikan dengan alasan tidak suci lagi dan itu terjadi dilingkungan terdekatku, bahkan aku mengenal sosok semuanya.
Maka dari itu aku tidak berani untuk melawan kenyataan dan aku harus mengikuti kemana takdir akan membawaku.
" Maaf bang, tidak ada lagi. Aku harus menikah dan tolong ijinkan karena aku tidak punya pilihan lagi, aku hamil bang...",
jawabku jujur pada abangku.
" Berikan telponnya ke orangtuanya", perintah abangku.
Aku hanya menurut saja dan memberi kepada ayahnya Aan, calon mertuaku.
Aku tidak tau apa yang mereka omongkan, namun ayah Aan terlihat sangat serius dan sesekali melihat ke arahku.
Dan tak jarang ayahnya Aan mengepalkan tangan, dan kemudian menarik nafas panjang.
Beberapa saat kemudian, terlihat ayah Aan sudah masuk rumah dan memberi telponnya kepadaku.
"Secepatnya kita urus berkas kalian, Mili belajar untuk mengucapkan kalimat syahadat, dalam minggu ini kamu harus sudah diislamkan",
terang ayah Aan dengan nada yang dingin.
Sepertinya menyimpan kemarahan yang berusaha disembunyikan olehnya, aku pun tidak berani lagi untuk mempertanyakan.
Aku hanya bisa menangis dan menangis berusaha menerima semua kemarahan saudaraku dan memaklumi kekecewaan mereka.
Walaupun terkadang hati kecilku tidak bisa menerima begitu saja tuduhan kekecewaan dan pelimpahan kesalahan yang terjadi atas diriku.
Seandainya saja saat itu mereka memahami betapa tertekannya aku atas keadaan yang kuhadapi, mungkin sekali tidak akan jadi begini .
Aku tidak perlu pergi ke rumah Kina untuk meminjam uang dan bahkan aku tidak akan bertemu Aan saat itu, batinku dalam hati.
Namun manusiawi jika yang harus disalahkan adalah aku yang telah melakukan perbuatan zina.
Ah....memang standart kehidupan yang paling menyenangkan adalah jika memiliki uang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments