Akhirnya tibalah hari yang dinantikan yaitu hari pernikahanku, semua telah dipersiapkan oleh keluarga Aan tanpa ada yang harus aku lakukan.
Namun aku harus menerima apapun itu baik dari pakaian maupun tata cara adat pernikahan.
Aku di rias selayaknya pengantin, namun pada saat aku di rias ternyata keluargaku datang, kakak - kakakku dan abangku.
Aku terharu melihat kehadiran mereka walaupun aku tahu pasti hati mereka terpaksa dan sedih, mengingat kami adalah keluarga batak tetapi tidak sedikitpun ada adat Batak disebutkan di sana.
Aku menemui kakak dan abangku, mereka hanya bisa menangis melihat pernikahanku yang spontan.
Mereka betul-betul menunjukkan wajah-wajah kekecewaan terhadapku bahkan abangku yang paling bungsu tidak mampu untuk menemuiku dan lebih memilih tetap berada di dalam mobil, yang pada akhirnya aku sendiri yang mendatanginya.
Begitu melihatku datang dan menyapanya Ia hanya berusaha membuang muka,
" Lakukanlah dengan baik dek, tak ada yang bisa untuk menghalangimu, semua sudah takdir!, mungkin inilah yang terbaik," pesan abangku.
Pada akhirnya ia menitikkan air mata melihat keadaanku yang sudah hamil.
Aku meminta mereka untuk tetap berada di acara itu, namun sayangnya memang ada kekecewaan tersendiri yang terselip di hatiku saat itu.
Melihat cara keluarga Aan menyambut keluargaku sangat tidak ramah.
Mereka cenderung mengabaikan sehingga hal ini membuat kakak dan abangku pun tidak nyaman.
Setelah akad nikah selesai kakak dan abangku pun menemui aku serta memberikan kado seperti selayaknya tradisi yang terjadi di keluarga kami, yakni perhiasan emas lengkap.
Aku tidak menyangka di dalam kekecewaan yang telah mereka rasakan, mereka tetap mengingat dan melakukan apa yang menjadi kebiasaan ataupun tradisi di dalam keluarga kami.
Keluarga kami selalu memiliki tradisi apabila anak perempuannya menikah maka akan dibekali dengan perhiasan emas lengkap dan itu ternyata tetap berlaku kepadaku walaupun aku telah menghancurkan dan membuat malu keluarga dengan caraku yang hina.
Aku merasa tidak layak untuk menerima itu, namun kakakku bilang bahwa mereka sangat ikhlas dan harus melaksanakan tradisi yang sudah menjadi darah daging di keluarga.
Aku hanya bisa menangis sembari mendengar nasehat - nasehat mereka.
"Bisa saja kamu menikah dengan suku jawa yang menjadi pilihan hatimu, adikku...,
boleh saja kamu berpindah agama berdasarkan keinginan hatimu adikku,
tetapi ingatlah sejauh apapun engkau melangkah dalam hidupmu, kamu tetaplah boru ni raja ito...
Jadi besar harapan kami bahwa engkau akan tetap melangkah dan menjalani rumah tanggamu dengan baik dan senantiasa berpegang teguh pada ikatan suci pernikahan. setelah ini adalah menjaga nama baik keluarga suamimu, jadilah menantu dan istri yang baik, dengan begitu kami pun keluargamu akan merasa baik - baik saja dan bahagia",
pesan abangku padaku seraya memelukku dan menangis.
"Kepadamu juga lae...., engkau telah memilih adikku menjadi istrimu,
maka sayangi dia, jaga dia, banyak sabar dalam menghadapi sifatnya,
kami menyayanginya maka kami berharap engkau pun menyayanginya,
engkau bisa memarahinya , menegurnya jika ada salah tetapi jangan sampai mengangkat tanganmu terhadapnya, karena itu akan membuat kami sakit, saling menyayangi dan menghargailah kalian",
pesan abangku pada Aan dan menyalaminya.
Setelah memberikan perhiasan itu mereka langsung meminta izin kepadaku pulang dengan alasan bahwa pekerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan begitu juga dengan anak-anak yang saat itu pada sekolah.
Aku tidak bisa berbuat banyak karena aku tahu yang terjadi bukan seperti itu, mereka betul-betul tidak nyaman dengan cara keluarga Aan menyambut keluargaku.
Kesedihan terbesarku saat itu adalah melepas kepergian mereka pada saat acara pernikahanku sama sekali baru dimulai.
Aku betul-betul kecewa saat itu kepada keluarga Aan namun aku tidak bisa mengungkapkannya, aku hanya bisa menyembunyikannya di hatiku sembari berharap kakak dan abang-abangku selamat sampai ke tujuan.
Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam aku merasa bersalah dan sangat ingin meminta maaf karena telah membuat mereka terhina baik dengan caraku maupun dengan sikap keluarga Aan.
Acara semakin siang semakin ramai, tapi di hatiku tetap terasa sunyi dan sepi karena aku tidak mengenali siapa mereka, siapa yang datang ke pernikahanku.
Aku tidak tahu hubungan apa semua mereka yang datang tetapi yang ku tahu aku hanya bisa menyambut mereka dengan senyuman yang masih kumiliki saat itu.
Sungguh ini bukan harapanku, di hari pernikahanku ternyata kesedihan itu muncul di saat hari yang berbahagia seperti yang biasa dikatakan orang, tetapi bagiku hari pernikahanku adalah hari yang sangat menyedihkan.
Aku hanya diam mengikuti begitu saja acara yang telah mereka siapkan, karena jujur saja setiap detail acara itu pun aku tidak mengerti.
Aku bagai boneka yang hanya diatur seperti yang mereka mau saat itu.
Kesedihanku agak memudar ketika menjelang sore hari teman-teman kampus dan teman-teman organisasiku berdatangan, hal ini membuat aku merasa bahagia.
Namun sayangnya teman terdekatku Lia dan Erik tidak datang.
Mereka betul-betul menunjukkan kekecewaannya terhadapku, dan betul-betul tidak ingin melihat aku menikah.
Namun aku paham apa yang mereka maksud, tujuan mereka adalah baik terhadapku namun sayangnya aku tidak bisa merespon dengan baik maksud mereka.
Menyusul kemudian kawan-kawan Aan pun berdatangan juga memberikan selamat kepada kami.
Aan terlihat sangat bahagia dan selalu berbisik-bisik kepada salah satu temannya, yang membuat perhatianku agak merasa aneh tetapi tetap saja aku hanya bisa memperhatikan dan hanya itu yang bisa kulakukan.
Semakin malam acara semakin ramai,
dengan hiburan yang telah mereka siapkan, semua terlihat gembira.
Mungkin hanya aku yang berbeda menyikapi keramaian itu saat itu.
Aku merasa sangat merasa lelah, aku meminta pada Aan untuk mengantarku terlebih dulu ke kamar, karena pinggangku seperti mau patah rasanya.
Aan bertanya pada orangtua dan keluarga yang ada, dan respon mereka baik dan segera membantuku untuk menuju kamar.
Aku membaringkan tubuhku menyamping, sembari pakaian pengantin yang kukenakan saat itu diganti agar aku lebih leluasa. Aku dibantu sama ipar dan ponakan dan tentunya Aan.
Setelah selesai aku pun tetap berada dikamar.
Namun beberapa sanak saudara akan pulang jadi mereka diarahkan untuk kekamar saja, karena mereka mengetahui keadaanku yang memang sudah hamil. mereka memakluminya.
Aku menyuruh Aan untuk diluar saja menemui tamu. Aku merasa tidak enak hati jika pengantin sudah berada di kamar sementara acara belum selesai dan masih ada tamu yang berdatangan.
Aan pun menurut saja, setelah mencium kening dan mengucapkan terimakasih, ia pun segera bergegas pergi keluar.
Aku memang heran setiap kali Aan mengucapkan terimakasih, namun entah mengapa aku tidak berniat untuk memperjelas ucapannya.
Sepanjang pernikahan hari itu,
Aan selalu mengucapkan terimakasih kepadaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments