Ketika Semua Menjadi Terlalu Sempurna (II)

Masih 3 hari sebelum kedatangan Mama ke Indonesia. Akira sudah menelpon wanita itu ketika ternyata ia sudah terdaftar sebagai salah satu panitia pendamping dalam kegiatan Pendidikan dan Latihan Dasar yang diadakan oleh organisasi pecinta alam kawan Panji. Panji lupa memberitahunya hingga minggu sebelumnya, setelah ia berjanji untuk pergi ke Singapura.

Tapi ternyata Mama sama sekali tak keberatan ketika mengetahui hal ini. Wanita itu tampaknya memang sangat menyayangi anak satu-satunya itu.

"Maafkan Adek ya, Ma. Adek nggak tahu kalau sudah terdaftar..."

"Nggak papa, Dek. Mama yang akan kesana. Lain waktu Adek main sini gantian." sahut wanita itu sambil tertawa lembut.

"Terima kasih ya Ma." balas Akira sambil memutuskan panggilan.

Namun ia sama sekali tak mengira bahwa jauh disana, wanita itu tak mampu mengalihkan pandangan dari handphone yang layarnya telah menggelap itu. Pikirannya terus bergerak ketika rasa gelisah terus mengganggu hatinya. Meski tak banyak waktu yang ia habiskan dengan anaknya, ia merasa kalau ada sesuatu yang salah, meski hingga saat ini, ia tak mampu menemukannya.

Wanita itu terus terdiam tanpa terlalu menyadari apapun. Acuh pada setiap hal ketika pikirannya terus mengembara dalam kekacauan hati.

......................

"Baringkan badanmu!"

"Woooi, tanganmu tak perlu pegang disitu!!!"

"Perhatikan, woi. Stoper-nya dimana?!!!"

Teriakan demi teriakan instruksi dari banyak orang berseragam yang berjajar di jembatan itu sebenarnya lebih terkesan membingungkan daripada instruktif. Membuat 4 orang yang tengah tergantung pada tali di ketinggian hampir 25 meter dari permukaan tanah itu tampak stress. Sementara itu, jauh di area bawah jembatan, sekitar 15 orang tengah dipelonco dengan berbagai macam kegiatan yang lumayan melelahkan. 3 orang tampak tengah melakukan push up dengan separo badan berada di dalam aliran sungai yang lumayan deras, membuat mereka agak kerepotan untuk tetap stabil dalam ketugasan mereka, sementara itu, 5 lainnya tengah berjalan merayap menuju atas jembatan. Persamaan mereka mungkin hanya bagaimana kotornya baju seragam lapangan yang mereka gunakan.

"Kenapa?"

"Capek, senior..." jawab gadis berbadan kecil dengan baju seragam lapangan yang nyaris berganti warna saking kotornya. Nafasnya tersengal ketika keringat memaksa mengalir turun di dahinya meski hawa terbilang dingin.

"Owh, capek... Sama! Kau kira cuma kamu yang capek?!!" balas si penanya sebelumnya, yang terus saja melanjutkan omelannya dalam bentuk teriakan-teriakan yang mengintimidasi. Sementara si gadis tampak menyesali dirinya sendiri ketika omelan itu meningkat menjadi hukuman.

Akira tersenyum kecil dari tempatnya duduk. Sudah sedemikian lama sejak ia merasa menjadi bagian dari kegiatan seperti ini lagi. Pendidikan dan Latihan Dasar, atau lebih akrab disebut Diklatsar ini selalu menjadi momen yang tak terlupakan bagi setiap anggota organisasi pecinta alam manapun. Sementara dengan metode yang sudah teruji dari garis waktunya, metode pengajaran yang ia bawa akan membawa yang terbaik bagi setiap individu yang lulus dari kegiatan ini, meski terbilang memang sangat berat, apalagi bagi siswa seumuran mereka saat ini.

Hal itu juga yang sering membuat Panji dan Reva, kawan Panji yang menjabat sebagai Ketua Umum organisasi harus meng-konfirmasi porsi pendidikan ini ke Akira.

"Apa kamu yakin ini nggak papa, Lep?"

"Apa ini ndak terlalu berat?"

"Ini nggak bahaya to?"

Dan beragam kekhawatiran lain sering muncul dari mereka berdua, yang seringnya hanya dijawab dengan tawa oleh Akira. Meski sudah mengetahui rincian acara, kedua orang ini seringkali tak mampu menahan ketika mereka melihat "siksaan" yang harus dilewati calon adik-adik mereka. Hanya ketika malam motivasi, Akira akan memaksa untuk menjadi moderator acara dan membuat kedua pemuda itu kembali tenang. Hanya saja, kegiatan hari ini memang sudah hampir mencapai puncak acara. Rangkaian kegiatan yang harus dilewati oleh para calon anggota ini memang sedemikian berat, dan banyak yang nyaris menyerah dalam prosesnya. Apalagi ketika acara jurit malam berlangsung. Dari 20 orang peserta, 4 orang menyatakan menyerah dan langsung diarahkan ke pos motivasi yang hangat oleh api unggun besar yang menerangi kegelapan hutan lebat tempat mereka menjalani pendidikan saat ini. Sementara sisanya berjuang melawan diri mereka sendiri di tengah badai makian dan kata kasar yang menyertai berbagai kegiatan yang menguras fisik mereka yang sudah lelah setelah nyaris 5 hari mereka di tempa berbagai kegiatan dalam beragam cuaca gunung yang seringkali tak bersahabat.

Ketika para peserta ini sampai, Akira tersenyum dan menyuruh mereka mencari tempat yang nyaman di dekat api dan duduk. Pemuda itu tak mengatakan apapun. Ia hanya tersenyum dan memberikan segelas teh manis hangat ke mereka. Sementara itu, keempatnya tampak bingung. Mereka sangat ingin mendapatkan gelas berisi teh hangat itu, tapi dari iblis berwajah malaikat yang memberikan gelas-gelas itu pada mereka, keempatnya telah belajar dengan cara yang sangat keras.

Tak ada apapun di dunia ini yang gratis. Segala sesuatu datang dengan pengorbanan, dan acapkali, pengorbanan itu sama sekali tak ringan...

"Kenapa, kalian tidak haus?"

"Haus, senior..." jawab salah satunya pelan.

"Ini sudah, diterima. Keburu dingin." lanjut Akira lembut sambil mengangsurkan gelas-gelas itu.

Namun tetap saja tak satupun dari mereka menerima gelas itu. Mereka enggan menerima konsekuensinya, khususnya jika itu datang dari pemuda ini.

Akira tersenyum lembut. Ia hanya menaruh gelas-gelas itu di tanah dan menggambar lingkaran mengelilinginya, lalu ia duduk kembali. Ia berencana memulai sesi motivasinya ketika Adul, salah satu panitia datang mendekat dengan sebuah panci logam di tangan dan mengangsurkannya pada Akira.

"Bangh, mie rebush. Sempatin makan, Abang belum makan dari pagi lho..." katanya dengan usaha paling keras yang ia bisa demi supaya Akira memahami maksud perkataannya. Suaranya habis sejak tadi pagi. Kata apapun yang keluar dari mulutnya nyaris tak bisa dipahami.

"Suaramu seksi, Dul." kikik Akira sambil menerima panci itu, sementara Adul cuma tertawa meski tak ada suara yang muncul dari mulutnya.

"Sempatkan istirahat, Dul. Aku nggak terlalu yakin dengan kain yang kugunakan untuk pembebat kakimu itu." lanjut Akira ketika Adul berlalu untuk kembali ke pos logistik tempat ia bertugas. Pemuda itu hanya mengangkat tangan dan meneruskan langkahnya.

Sejenak Akira mengalihkan pandangan matanya ke arah empat pemuda dan pemudi tanggung yang tergugu di depannya itu. Geletar badan seringkali muncul meski mereka tak jauh dari api. Entah karena kedinginan, entah mungkin juga menggigil ngeri ketika suara-suara teriakan terus berkumandang dari seantero hutan. Caraka malam masih berlangsung...

"Aku tidak akan memberi kalian ini." ucapnya memecahkan keheningan kecil itu. Sontak, Ares, salah satu gadis peserta yang ketahuan tengah melihat panci di tangan Akira menundukkan kepalanya.

"Tapi aku akan mengijinkan kalian mengambil gelas berisi teh hangat itu. Tanpa konsekuensi apapun, silahkan." lanjut Akira, yang segera disambut oleh pandangan mata bercahaya dari mereka.

Melihat itu, Akira tertawa kecil dan mempersilahkan keempatnya mengambil gelas-gelas itu.

"Jangan diminum dulu tapi. Gunakan untuk menghangatkan tangan kalian dulu. Benar-benar masih panas itu." tukasnya lagi ketika melihat semangat yang terpancar dari keempatnya saat buru-buru mengambil gelas itu.

"Terima kasih, Senior...." kata keempatnya nyaris bersamaan.

Akira tersenyum lagi. Ia tahu kalau tak akan ada yang berani meminumnya sebelum mengatakannya. Wajah-wajah muda itu tampak capek, sementara cahaya semangat di mata mereka redup.

"Sekarang, aku ingin kalian istirahat sambil duduk. Pegang gelas itu baik-baik dengan dua tangan dan biarkan kehangatannya memberi sedikit kenyamanan untuk kalian, tapi jangan diminum dulu, dan tutup mata kalian." katanya sambil mulai memakan mie rebusnya. Untuk sesaat, selain teriakan-teriakan yang terus berkumandang di berbagai tempat, hanya keretak api yang muncul di antara mereka.

Akira sudah terlalu biasa menggunakan atmosfer untuk menggiring perasaan peserta posnya kemanapun ia inginkan, dan ia memang sangat ahli melakukan itu.

Suara teriakan para penjaga pos yang tumpang tindih dengan suara peserta seakan diperbesar puluhan kali dalam keheningan malam hutan, cukup untuk menggiring rasa setiap orang yang mendengarnya.

"Saat ini, apa yang kalian dengar?" tanya Akira lembut. Gigilan yang melanda tubuh para pemuda tanggung itu tampak berkurang banyak saat ini. Namun tak ada suara yang muncul dari keempatnya, seakan mereka tengah menunggu vonis yang akan dijatuhkan.

"Kalau kalian tak tahu, aku akan kasih tahu. Itu, disana, di banyak lokasi, adalah suara saudara-saudaramu, yang di awal kalian berangkat, berjanji untuk terus berjalan ke depan bersama, tak perduli apa... Sementara kalian disini, dengan teh hangat di tangan dan api, mereka berjuang untuk apa yang mereka yakini, menantang diri sendiri untuk berjalan selangkah lebih jauh lagi..."

"SAYA BERJANJI AKAN TERUS MAJU SENIOR!!!"

"KURANG KERAS!!!"

"SAYA BERJANJI AKAN TERUS MAJU SENIOR!!!"

"Apa yang akan kau lakukan ketika saudaramu jatuh?"

"SAYA AKAN MENGGENDONGNYA SENIOR!!!"

Perkataan Akira sejenak tenggelam oleh teriakan salah satu peserta yang rupanya tengah melanjutkan perjalanan caraka malam mereka dekat dengan posisi mereka duduk. Hanya saja teriakan peserta itu sedikit terdengar menyedihkan. Kondisi badan yang sudah sedemikian lelah, ditambah dengan beban mental dari para penjaga pos membuat suara teriakan itu seperti suara orang yang putus asa. Tapi efek yang ditimbulkan suara peserta itu pada keempat lainnya yang menyerah dan duduk di dekat api itu tidak ringan.

Ares, satu-satunya gadis di tempat itu sudah mulai menggigil ketika tangis mulai meruap darinya ketika teriakan-teriakan itu semakin menjauh.

"Dalam setiap hal, semua manusia perlu berjuang dan mengalahkan diri sendiri. Sperti Cempe yang terus berteriak meski suaranya seperti kambing yang disembelih, seperti senior Adul yang terus bergerak menyiapkan logistik meski kakinya cedera, dan seperti orang tua kalian yang memeras setiap tetes keringat yang mereka punya untuk kalian. Aku hanya tak berani membayangkan jika akhirnya mereka menyerah juga seperti kalian saat ini..." deaah Akira pelan tanpa menyembunyikan nada sedih dalam suaranya yang lembut.

Sementara keempat pemuda yang duduk didepannya itu tampaknya tak mampu lagi menahan perasaan. Isak membuncah dari mereka dan tak butuh waktu lama, salah satu dari mereka menaruh gelas di tangannya dan berdiri.

"LAPOR SENIOR, IJIN MELANJUTKAN PERJALANAN!" teriaknya sambil mengusap air mata di wajahnya.

"Oeh? Tapi..."

Belum lagi selesai Akira menjawabnya, keempatnya telah melakukan hal yang sama.

"Jika saudara saya jatuh, SAYA AKAN MENGGENDONGNYA, SENIOR. MINTA IJIN MELANJUTKAN PERJALANAN!"

Sambil menoleh ke arah panitia lain yang mendekat ketika mendengar teriakan ini dalam usahanya menyembunyikan senyuman, Akira melambai ke arahnya.

"Ijin diberikan. Aku ingin melihat kalian berempat sampai kembali ke pos ini. Saya akan menunggu kalian disini..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!