Asih

Melihatnya berdiri disana menggenapi setiap pikiran dan perkiraan kejadian yang bakal muncul didalam pertimbangan Akira.

Berdiri di dekat meja reception dengan pandangan panik, terlihat sangat tak percaya diri seakan-akan ia tertangkap basah sedang berada di tempat yang tidak seharusnya. Campuran rasa cemas, takut, panik, dan entah apalagi memberati wajah yang sebenarnya manis itu. Sementara matanya yang lebar selalu bergerak dalam gerakan cepat, ketika tangannya mencengkeram tas yang mungkin, ia harapkan bisa memperindah tampilannya.

Asih benar-benar tampak seperti gambar puzzle yang salah tempat!

Menahan campuran berbagai perasaan yang muncul, Akira segera mendekat ke meja reception. Ia berencana untuk mengajak gadis itu bicara di kamarnya saja. Apapun ceritanya, ia tak ingin menjadi pusat perhatian jika tiba-tiba saja gadis itu melakukan hal di luar perkiraannya. Ketika Asih melihatnya keluar dari lift saja, gadis itu nampak semakin gugup. Cuma Tuhan yang tahu apa yang terjadi jika mereka berbicara di tempat ini. Akan lebih baik jika ia mengantisipasi banyak hal mulai dari sekarang.

"Selamat siang, Mbak. Saya Akira dari kamar 610. Terima kasih infonya. Apa saya bisa minta tolong sekalian order room service untuk saya dan adik saya?" tanya Akira sopan setelah menghentikan Asih yang sudah hendak berbicara.

"Sama-sama, Mas. Room service hanya available di waktu tertentu, Mas. Untuk saat ini hanya ada minuman ringan yang tersedia di counter." jawab mbak reception itu dengan pandangan maklum, meski ada sedikit rasa tidak nyaman yang terlihat di matanya.

Akira nyaris mampu melihat pemikiran seperti apa yang berputar di otak wanita didepannya itu. Namun ia tak memperdulikannya. Ia hanya mengucapkan terima kasih dan mengajak Asih berjalan kembali ke kamarnya. Kamarnya dilengkapi kulkas dan alat pemanas air, sekedar minuman bukan hal merepotkan baginya. Lagipula kulkasnya penuh dengan berbagai macam hal yang cukup untuk 2 orang makan seminggu.

"Raden... Anu,.."

"Nanti, Sih. Kita ngobrol di kamarku saja ya." potong Akira. Ia tak terbiasa memutus pembicaraan, bahkan jika hanya untuk sekedar membuka pintu atau membuat minuman.

Tak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk mencapai kamar Akira. Setelah mempersilahkan Asih duduk, Akira segera beranjak ke kulkas untuk mengambil minuman dingin. Ia akan membutuhkan asupan alkohol untuk menghadapi apapun yang muncul hari ini.

Namun ketika Akira kembali ke ruang tamu, apa yang menyambutnya sungguh diluar harapan.

Gadis itu duduk setengah menyender di sofa dengan kedua kaki tertekuk dan terbuka dalam keadaan telanjang. Menampakkan seluruh bagian tubuhnya, termasuk area kewanitaannya yang ia buka dengan jari-jarinya ke arah Akira. Wajahnya nampak pasrah dalam balutan rasa tak nyaman bercampur takut sambil memejamkan matanya kuat-kuat.

Bohong jika Akira tak tergoda melihat hal seperti ini. Gadis itu memiliki setiap kriteria yang disukai oleh Akira. Hanya saja, bukan seperti ini kondisinya...

Butuh beberapa saat bagi Akira untuk menenangkan dirinya sendiri sebelum meletakkan botol whiskey, gelas dan sebotol minuman ringan lain ke atas meja. Dengan suara selembut mungkin, Akira mengambil keputusan untuk menyegel setiap kemungkinan kesenangan yang mungkin muncul dari ini. Gadis ini terlalu menyedihkan...

"Sih, tolong kenakan pakaianmu lagi."

"Anu, Raden nggak mau..."

"Tidak. Tolong kenakan pakaianmu dulu, lalu bicara kenapa Asih mencariku." potong Akira cepat. Sehebat apapun pengendalian dirinya, ia masih seorang laki-laki normal. Fakta bahwa ia menghuni tubuh seorang bocah yang berada dalam masa puber sungguh sangat tidak membantu. Nafsunya bergerak bagai kuda liar yang diberi obat kuat, nyaris tak terbendung...

Bener-bener Hime ini... Kalau nanti aku ketemu lagi di mimpi, sungguh aku berharap aku ingat kejadian ini. Sungguh selera humornya istimewa, gerutu batin Akira kesal ketika melihat gadis manis didepannya itu berusaha memakai baju secepat ia bisa.

"Duduk, Sih. Kuharap kau tak keberatan dengan minuman ini. Adanya cuma itu. Aku nggak tahu Asih suka minum apa." kata Akira ketika dilihatnya gadis itu sudah selesai berpakaian.

Sementara itu, yang diajak bicara tampaknya malah kebingungan. Tutur bahasa sopan dan nada lembut yang pemuda itu gunakan tampaknya malah jauh lebih menakutkan ketimbang setiap perlakuan kasar yang sebelumnya selalu ia terima. Asih cuma berdiri sambil meremas-remas kaos yang ia gunakan, sementara rasa cemas tampak semakin tebal di wajah manisnya. Bukan tak mungkin badai yang lebih parah akan datang padanya. Asih pernah melihatnya di sinetron di TV...

Melihat gadis itu tak bergeming, Akira menghela nafas berat sambil tanpa henti memaki Anton atas hasil perlakuannya. Akira menuang segelas minuman dan segera meminumnya dengan cepat, berharap rasa panas membakar yang muncul darinya akan mampu menenangkan pikirannya sendiri. Baru kemudian ia kembali berbicara.

"Duduklah. Aku berjanji tidak akan melakukan apapun yang tidak kau inginkan tanpa ijinmu." kata Akira lelah ketika dilihatnya gadis itu belum beranjak dari posisinya.

"Anu, tapi Raden nggak marah kan?" sahutnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

"Duduklah!" balas Akira kesal. Hal yang segera ia sesali sesaat kemudian.

Asih segera duduk dengan panik ketika mendeteksi nada tak puas dari pemuda didepannya itu, tapi Asih tidak duduk di sofa. Ia duduk di lantai!

Akira meradang...

Lebih dari semua, ia benar-benar benci dengan kelakuan Anton. Meski sedikit rasa menyesali diri juga muncul di hatinya. Harusnya ia mampu sedikit lebih menahan dirinya sendiri. Gadis ini rusak terlalu parah. Menangkupkan kedua telapak tangan ke mukanya sendirinya, Akira berusaha meredam rasa jengkel yang muncul. Nalurinya sebagai seorang yang bertahan diatas kakinya sendiri dari bawah hingga mencapai puncak membuatnya kesal ketika menemui kondisi menyedihkan seperti ini. Apalagi ketika akhirnya ia kembali membuka matanya, ia melihat Asih gemetar ketakutan di lantai dengan air mata berlinang di wajahnya.

Sialan kau Bocah! Kukutuk setiap jejak kehadiran rohmu!!!

Segera Akira berdiri, dan selembut mungkin meraih gadis yang sedang ketakutan itu dan memeluknya.

"Maaf, maafkan aku. Asih nggak salah. Maaf..." bisiknya sambil terus berusaha menenangkan sosok yang tampaknya sulit berhenti ketakutan itu.

Butuh beberapa saat bagi Akira untuk membuat Asih yakin kalau tak ada hal buruk yang akan terjadi padanya, dan akhirnya membuat gadis itu bersedia duduk di kursi meski masih tampak sangat tak nyaman. Hal yang makin menguatkan tekat Akira untuk memperbaiki kondisi ini, apapun yang harus dikorbankan.

"Nah, sekarang, Asih bilang. Ada apa?"

"Anu, Den.. Kemarin..." Asih mendongak dan menghentikan omongannya ketika dilihatnya pemuda itu mengangkat tangannya.

"Tolong, mulai sekarang panggil aku Akira ya, Sih." kata pemuda itu sambil tersenyum.

"Baik, Raden. Kemarin..."

Belum lagi, Akira kembali menghentikan perkataan gadis itu. Sejenak gadis itu tampaknya memahami maksud pemuda itu menghentikannya berbicara. Wajahnya agak sedikit relax ketika mulut kecilnya kembali bersuara, "Maaf Raden Akira. Kemarin..."

Tak mampu menahan diri, Akira menepuk jidatnya sendiri. Raden dari mana, nggak ada keturunan Raden sedikitpun dalam tubuh bocah tolol ini. Tapi ketika melihat ekspresi Asih yang mulai kembali dihantui ketakutan, Akira buru-buru berbicara.

"Panggil Mas aja. Mas Akira boleh, Mas aja juga nggak papa. Nggak perlu Raden." sahutnya lelah. Belum lagi mereka membicarakan apapun, Akira sudah merasa sangat lelah.

Akira memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit ketika dilihatnya sorot tanda mengerti muncul di wajah Asih.

Duh Gusti Pangeran, rupanya ada kehidupan seperti ini...

Akira sebenarnya hampir bisa dibilang tak mendengar keseluruhan berita yang dibawa Asih. Ia hanya prihatin dengan kondisi yang sudah dibawa Anton pada gadis itu. Hanya seorang psikopat egomaniac sejati yang mampu menciptakan perbudakan pada tingkat seperti ini. Sungguh benar-benar keberuntungan bagi dunia untuk kehilangan sosok seperti Anton ini...

Sementara gadis itu bercerita tentang bagaimana Papa Anton marah ketika mengetahui kalau Anton tak lagi tinggal di rumah itu, menguras brankas dari beberapa kilo emas batangan dan uang tunai milik ibunya dan keluar dari sekolah, Akira lebih perduli tentang bagaimana membuat Asih kembali menjadi manusia yang bermartabat. Ia bahkan tak menyadari kalau gadis itu sudah berhenti bicara.

"Ehm, anu, Mas?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!