Siapa Orang Ini?

Akira kembali terkikik geli. Selama waktu mereka tinggal bersama, kamar kost nya memang terbilang sempit. Hal itu pula yang kemudian sering merentangkan batas emosi Akira ke titik didih akibat kelakuan Asih. Interaksi mereka yang dibatasi oleh apartment kelas studio itu memaksa kondisi menjadi seringkali jadi aneh. Tapi Akira benar-benar menikmati hidupnya saat ini. Dalam hidupnya di masa lalu, ia hampir tak pernah keliru memprediksikan apapun. Orang-orang yang berinteraksi dengannya bagaikan buku yang terbuka. Sangat mudah dibaca. Tapi ketika berkenaan dengan Asih?

Kombinasi sifat polos, kurangnya pengetahuan dan ketakutan abadi akibat pelecehan fisik dan mental yang pernah diterimanya, menjadikan gadis itu sebuah variabel yang sama sekali tak terdefinisi. Akira harus siap mengantisipasi berbagai hal ketika berhubungan dengannya. Sebagaimana ketika akhirnya ia sampai kembali ke hotel yang mereka sewa dalam perjalanan ke jakarta ini.

Gadis itu masih duduk di sofa, lengkap dengan baju yang sama, seperti saat mereka berangkat. Tak ada minuman, tidak ada makanan. Asih hanya menata barang bawaan Akira di dalam lemari dan memasukkan bawaannya sendiri ke luggage store di bagian bawah. Ia bahkan tak membongkarnya sama sekali.

Akira menghela nafas berat. Mereka sampai di hotel pagi tadi, dan memang belum sempat makan apapun. Segera setelah check in, Akira segera mandi dan berangkat ke gedung BEI guna menyelesaikan tahap lanjutan rencananya. Sementara sekarang, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Bukankah itu berarti...

"Asih sudah makan?" tanya Akira meski ia sudah tahu jawabannya.

"Ehm, anu mas..."

Jawaban itu sudah Akira duga. Ia cuma melepas baju dan beranjak ke kamar mandi. Percuma mengharapkan Asih bertindak atas kemauannya sendiri saat gadis itu berada disisinya.

"Mas mau mandi. Habis itu Asih mandi juga ya. Kita makan bareng." tukas Akira lemah. Nampaknya memang semua harus dilakukan pelan-pelan. Hanya saja ceklikan di pintu kamar mandi kembali menyadarkannya. Asih, telanjang bulat sambil berusaha menutupi dadanya yang penuh, menyusulnya ke kamar mandi.

"Astaga, Asih.... Nanti, setelah mas selesai, kamu gantian mandi!"

"Ah, iya mas. Maaf..." balasnya sambil langsung berlari keluar meninggalkan Akira yang tanpa daya.

......................

Hal-hal itu seringkali terjadi. Tampaknya dalam balutan rasa frustasi yang sering melandanya, membuat Anton mengeksploitasi Asih yang polos dan membuat gadis itu menjadi budaknya. Mungkin rasa berkuasa atas orang lain membuat pemuda itu merasa superior dalam inferioritas kehidupannya. Hanya saja, alih-alih mengembangkan dirinya hingga menjadi sosok yang tak bisa diremehkan siapapun dengan modal kekayaan orang tuanya, Anton memilih untuk menjadi tak masuk akal dan bertingkah seperti para pembully lainnya. Sayangnya, Anton yang sekarang bukanlah Anton. Akira menghuni badannya. Yang tentu saja, Akira yang merasa menjadi korban atas kondisi ini. Namun sebagaimana ia biasanya, tantangan tak pernah bisa menyurutkan langkahnya sedikitpun. Ia akan segera menata dirinya dan maju kedepan. Meski jika menimbang situasinya, akan sulit bagi mereka untuk berubah jika kondisi tetap sama. Itu sebab yang membuat Akira memilih untuk pindah ke kota lain.

Sepulang dari Jakarta, Akira segera mencari tempat yang cocok bagi mereka berdua. Jika ia harus berkembang dengan Asih, pilihannya adalah menciptakan lingkungan yang baru bagi gadis itu.

Dan kota kecil inilah yang jadi pilihan bagi Akira. Banyak waktu yang ia habiskan di kota ini di masa lalunya. Hampir bisa dibilang ia mengenal kota ini bagai telapak tangannya sendiri. Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan rumah berharga murah yang layak untuk mereka tinggali. Memiliki ruang yang luas akan baik untuk interaksi mereka.

Setelah semua pengeluaran yang ia lakukan, uang yang tersisa di rekeningnya hanya cukup untuk bertahan selama 3 bulan kedepan. Meski beresiko, Akira yakin kalau ia akan mampu menemukan jalan kedepannya.

Hanya saja, sebagaimana layaknya sebuah kota kecil. Seorang pemuda tinggal berdua dengan gadis sepantaran?

Tanpa persiapan yang cukup, ini akan cukup untuk membuat hidup mereka berdua bagai di neraka pergunjingan tetangga. Untuk itu, Akira membutuhkan bantuan. Tanpa ragu, ia segera mencari seorang yang akan bersedia membantunya sejauh mengantarnya ke pintu neraka sekalipun.

"Woooi, Kolep. Tumben kau muncul?" teriak pemuda berbadan bongsor itu ceria.

Akira tertawa menyambutnya. Jika ada orang yang bersedia membantunya tanpa kata, itu pasti adalah pemuda ini.

Panji Dewantara!

Penyuka berbagai kegiatan luar ruangan dengan sifat yang sederhana ini akan rela membantu siapapun meski menyulitkan dirinya sendiri. Akira tak keberatan untuk berteman dengan orang seperti ini. Toh sifat mereka tak terlalu jauh berbeda jika dilihat dari sisi lain.

"Nji, aku butuh bantuan." kata Akira langsung setelah menjabat tangan Panji.

"Hei, pesen minum dulu. Baru juga sampai." tukas pemuda lain yang menyertai Panji.

Bardo, mahluk sejenis yang bisa dibilang sebagai bayangan Panji. Berkepribadian langsung, tanpa filter ketika bicara, namun tulus ketika berteman. Bukan sekali dua kali Bardo harus berkelahi karena mulutnya itu. Tapi Akira juga akan dengan senang hati berteman dengan manusia seperti ini.

"Sorry, Do. Agak terbawa perasaan." sahut Akira sambil nyengir.

"Ehm, sorry. Tapi apa pas kamu jatuh ke jurang kemarin dulu, kepalamu terantuk batu apa gimana gitu to, Lep?" sahut Bardo dengan tampang heran. Pandangan Bardo terhadap Anton tak jauh beda dengan banyak kawan mereka yang lain. Mahluk menyedihkan yang menjijikkan!

"Bisa jadi. Emang kenapa, Do?" jawab Akira bingung.

"Bukan sih, cuma kamu tampak berbeda. Sebelumnya kamu itu kayak semacam tai ayam, ada aja nginjak juga ogah aku..." balasnya dengan wajah menantang.

Akira terbahak-bahak mendengar ini. Jelas saja beda, isinya saja memang tak sama. Tapi Akira menikmati percakapan seperti ini. Langsung, jelas, tanpa tedeng aling-aling.

"Aku juga nggak mau kau injak, Do. Gila, ancur aku." jawab Akira sambil tertawa, sementara kedua pemuda yang lain segera saling berpandangan ketika hal ini terjadi.

Seorang Anton, diajak bicara dengan cara seperti itu dan tidak marah?

Pasti ada yang salah!

Dan seiring pembicaraan mereka, kedua pemuda itu semakin merasa aneh akan kepribadian orang yang mereka temui ini.

Anton memang menghubungi Panji sore sebelumnya. Berharap untuk ketemu dan minta pertolongan, meski pemuda itu enggan untuk berbicara apa masalahnya di telepon. Ia memaksa untuk bertemu di warung lesehan di batas kota. Sejak mereka berpisah beberapa waktu lalu, ketika Anton menghilang saat kegiatan organisasi pecinta alam mereka dan kembali ditemukan dalam keadaan luka-luka, baru kali ini mereka berhubungan kembali. Tapi nampaknya ada yang salah dengan kepribadian orang yang mereka temui ini dengan sosok yang mereka ingat sebelumnya. Pemuda yang ini terasa sangat mudah untuk didekati, dan hangat...

"Tapi serius, Nji. Aku benar-benar butuh bantuan untuk mengurus surat pindah dan mungkin, pembuatan identitas baru. Aku berencana pindah kota..." ujar Anton serius.

"Lho, bukannya kamu tinggal dengan orang tuamu kan, Lep?"

"Tunggu. Kamu sedang merencanakan kejahatan apa lagi, Lep?" potong Bardo penuh curiga. Ketika berkenaan dengan Anton, ia tak pernah mampu memiliki prasangka baik sedikitpun. Bocah satu ini terlalu tak masuk akal!

Pemuda itu menghela nafas, dan sejenak terdiam. Beberapa kali ia tampak terganggu hingga akhirnya mengeluarkan sebungkus rokok dari saku baju, mengambil satu batang dan menyalakannya.

"Et, kamu ngerokok sekarang, Ton?" tanya Panji tanpa mampu menyembunyikan rasa heran. Sementara Bardo hanya ternganga melihatnya.

Akira rupanya lupa, dan memang ia adalah seorang perokok berat di masa lalunya. Rupanya kebiasaan itu terbawa, meski badan yang ia tinggali sekarang tak memiliki kebiasaan itu.

"Aku mengacau, gaes... Aku menghamili ART di rumahku. Orang rumah nggak tahu, dan aku ingin tetap seperti itu. Makanya aku mau pindah. Aku harus mempertanggungjawabkan kelakuanku, dan itu tak mungkin terjadi kalau aku tetap disini..."

Panji dan Bardo ternganga, meski pemikiran berbeda yang mendorong keduanya bereaksi dengan cara yang sama.

"Gila kamu, Ton! Kenapa kamu melakukan hal seperti itu?!" ujar Panji getas meski pelan, khawatir pembicaraan mereka terdengar oleh pengunjung lain, meski kecil kemungkinannya. Warung lesehan itu terlalu ribut.

"Kamu, berencana bertanggungjawab atas perbuatanmu?!" tukas Bardo tanpa mampu menyembunyikan keheranan dalam suaranya.

Anton mau bertanggung jawab atas perbuatan sebesar itu?

Dunia ini sudah terbalik!!!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!