Terima Kasih Mas (II)

Jika yang dicari adalah pemandangan, tempat ini sungguh tak ada bandingannya. Terletak nyaris di pinggir, lahan keluarga Asih menempati tanah seluas nyaris 2500 m². Hanya saja, memang hanya itu saja yang ada. Lahan tak terawat yang tak rata, dengan beragam tanaman dan semak yang tak teratur menjadikan lahan itu tampak lusuh dan berantakan.

Bangunan rumah sederhana, yang nyaris keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu dan anyaman bambu berdiri di dekat jalan masuk, yang lebih menimbang pada segi kepraktisan lebih dari apapun. Rumah yang reyot itu, jika tak boleh dibilang nyaris rubuh, berbentuk bangunan tradisional Jawa dengan beberapa bambu tambahan sebagai penopang bangunan. Sementara di teras, kursi-kursi sederhana ditata berjajar, di akhiri dengan amben bambu yang sudah berubah warna saking tuanya. Pintu-pintunya tak beda dengan warna kulit para penghuninya, kusam dan tak terawat.

Jika itu belum cukup, lantai tanah menyambut langkah Akira sejauh dari halaman hingga ke dalam rumah. Sementara atap terus saja menyalurkan sinar-sinar gembira matahari yang menerobos melalui lobang-lobang yang banyak disana, hampir seperti pertunjukan laser kelas dunia yang pernah ia nikmati di kehidupannya yang dulu. Hanya saja disini tak ada musik atau dj terkenal atau makanan dan minuman berkelas. Hanya hiruk pikuk dan kegembiraan murni yang ditunjukkan oleh penghuninya ketika pilar keluarga mereka bersedia pulang ke rumah. Dan diantar dengan mobil!

Jika ketika penghuni rumah yang kebetulan sedang berada di rumah di Minggu pagi itu menampakkan kegembiraan liar ketika melihat Asih turun dari mobil diantar oleh tuan muda majikannya, ketika beragam belanjaan itu muncul dan diserahkan adalah murni euphoria. Meski ketika mereka tahu kalau tidak mungkin Asih yang membeli barang sedemikian banyak, banyak diantara mereka yang menahan diri sekuat mungkin.

"Bu, Pak, ini majikan Asih, Mas Akira." kata Asih pada sepasang pria dan wanita yang nampak renta.

"Mas, ini sebenarnya Kakek dan Nenek Asih, tapi..."

"Nanti saja, Sih." jawab Akira sambil segera menyalami kedua orang tua itu.

"Sugeng enjing, Mbah. Kula Akira, rencang e Asih. Asih nyambut teng dalem kula. (Selamat pagi, Mbah. Saya Akira, temannya Asih. Asih kerja di rumah saya)" salam Akira dalam bahasa jawa halus yang memang fasih ia kuasai, yang dengan segera membuat wajah kedua orang tua itu bercahaya dengan kegembiraan.

"Oalah, Nak Mas, tebih sanget mriki. Griyanipun Asih tebih teng gunung. (oalah Nak Mas, jauh-jauh kesini. Rumah asih jauh di gunung)" sahut sosok pria renta yang tampaknya sudah berusia lebih dari 70 tahun itu cepat sambil terbungkuk. Meski entah karena hormat atau karena usia, Akira tak perduli. Ia tak pernah mengijinkan orang tua menunduk padanya. Ajaran papa keras terpatri dalam benaknya, meski sekarang ia menempati badan Anton. Melihat sikap anak majikan tempat cucunya bekerja sedemikian sopan dan menghormati pada orang yang lebih tua, mau tak mau kedua orangtua renta itu tak mampu berhenti bersyukur. Tak butuh waktu lama sebelum Akira menempel erat dan mengobrol pada dua manula itu. Ia bahkan melupakan Asih yang masih bengong, bingung hendak berbuat apa. Hingga teguran Uti, sebutan Akira untuk nenek Asih mengembalikan kesadaran gadis itu.

"Sekar, Nak Mas adoh-adoh ngeterke kowe lho. Gawekne wedang kono! Gemblung! (Sekar, Nak Mas jauh-jauh kesini nganterin kamu lho. Bikinin minum sana. Gemblung!)"

Sementara Asih terlonjak dan buru-buru berlari ke belakang, Uti kembali mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang menurutnya sangat hebat ini.

Beberapa saat kemudian, suara-suara canda mulai terdengar di dapur. Tampaknya Asih tengah menjadi komando bagi adik-adiknya di tengah kegiatannya. Nada ceria dan gembira itu baru pertama kali Akira dengar, dan ternyata ia menyukainya.

"Nggih ngoten niku nawi Sekar tenf griya, Nakmas, wak wak an... Sekar niku Asih. (Ya begitu kalau sekar di rumah, Nakmas, tukang ribut. Sekar itu Asih)" jelas Uti, yang meski menggerutu, tak bisa menahan rasa bangganya.

Akira hanya tertawa kecil menanggapi penjelasan ini. Ia sudah mendapat gambaran lengkap bagaimana posisi Asih di keluarganya. Dan semakin lama, seiring canda Asih yang menggoda adik-adiknya, semakin Akira berharap untuk bisa memiliki kemampuan menyeret roh manusia mati dari neraka dan memukulinya sebelum membuangnya lagi ke Neraka. Dosa manusia bernama Anton Prawira Perkasa itu benar-benar tak terhingga baginya.

Mengibaskan perasaan kelu yang tiba-tiba muncul, Akira berpamitan pada kedua manula itu ketika Asih muncul.

"Sih, adikmu yang kuat angkat barang suruh keluar gih."

"Ehm, anu, kenapa Mas?" jawab Asih sambil menaruh gelas dan berbagai makanan kampung ke meja. Sikapnya santai, ceria dan menyenangkan, mungkin saja karena terbawa ketika bercengkerama dengan adik-adiknya, mampu mengangkat sebagian mendung yang biasanya ada padanya.

"Itu, yang di mobil kan butuh diturunin?" jawab Akira sambil terkekeh.

Anggota rumah itu kembali meledak dengan euphoria murni ketika berbagai barang yang jauh lebih banyak diturunkan dari mobil. Baju, sepatu, kaos kaki, tas, dan sembako yang memenuhi mobil diturunkan dan ditumpuk di dalam rumah. Meski kedua manula itu tampak kaget dan bertanya-tanya, adik-adik Asih tidak seterkekang itu. Setelah Akira memberi tahu kalau semua itu untuk mereka, segera saja mereka bergerak bagai ibu-ibu dalam perang diskon. Melihat kegembiraan murni itu, Akira tersenyum manis dan melangkahkan kakinya keluar rumah setelah berpamitan pada kedua manula yang tampaknya tak rela ditinggalkan.

Akira melangkahkan kakinya menuju sebuah tempat duduk dari bambu sederhana yang memberdayakan sebuah pohon sebagai penopangnya di samping rumah. Dari tempat itu, pemandangannya sungguh mencuri nafas. Pikirannya penuh dengan kontradiksi ketika asap tak henti mengepul dari mulutnya.

Hidupku dulu, meski tak kaya, tapi paling tidak, tak pernah kelaparan. Setelah dewasa, sukses dan memiliki apapun yang kuinginkan. Kenapa aku dulu sedemikian bodoh?

Apa sebabnya?

Apa salahnya?

Apa yang hilang dariku?

Akira tak mampu berhenti berpikir. Otaknya terus berkelindan dengan beragam hal ketika teriakan bahagia terus terdengar dari rumah sederhana yang nyaris rubuh di sebelahnya itu. Hatinya yang menghangat mulai mengutuki kebodohannya sendiri ketika ia menyia-nyiakan hidupnya dulu.

Apa mungkin bahagia itu hanya sesederhana ini?

Hanya saja, lamunan Akira terputus oleh teriakan-teriakan yang makin keras terdengar. Adik-adik Asih, yang sebanyak 6 orang itu, bersama sepupu mereka yang turut tinggal di rumah ini sudah berbaris dan digiring padanya. Satu-satu, mereka mencium tangannya ketika teriakan "matur nuwun Mas" dan "matur nuwun Om" terdengar berturut turut. Kebahagiaan murni itu nampak jelas di wajah mereka. Kegembiraan itu terus mengiringi hingga Akira dan Asih meninggalkan tempat itu.

Perjalanan pulang mereka tak jauh berbeda. Atmosfer kegembiraan dan canda tawa tadi hanya tertinggal di hati mereka berdua. Hanya mereka sampai di rumah, Akira yang berencana hendak langsung mengembalikan mobil yang disewanya, dikejutkan sekali lagi. Asih, yang sepanjang perjalanan terlihat seperti orang yang frustasi, tiba-tiba saja berjalan ke arah pintu pengemudi setelah turun dari mobil. Akira yang bingung segera membuka pintu dan ikut turun. Tapi gadis itu hanya mengambil tangan Akira dan menciumnya.

"Terima kasih, Mas." dan gadis itu bergegas masuk meski sekilas wajahnya yang merah padam tertangkap oleh Akira yang bengong dengan kejadian ini, meski kemudian senyum terkembang di wajahnya.

Aku yang terima kasih, Sih. Sudah lama aku kehilangan rasa ini. Terima kasih sudah membantuku menemukannya...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!