Terima Kasih Mas

Sejak pulang dari rumah sakit, Asih semakin terlihat jauh. Ia akan selalu menjaga jarak yang cukup dari Akira. Apalagi sekarang mereka tinggal di rumah yang jauh lebih luas dari kamar kos Akira sebelumnya. Cukup banyak ruang yang bisa digunakan untuk menghindar sekarang. Meski nampaknya gadis itu meningkatkan efisiensi pekerjaannya hingga Akira bahkan tak perlu menanyakan apapun. Seolah-olah gadis itu takut berinteraksi dengan Akira tapi juga tidak ingin Akira mencari kesalahan darinya, yang akan menyebabkan hal-hal yang tak mampu ia tolak terjadi lagi.

Akira benar-benar menyadari hal ini, tapi ia tak keberatan dengan itu. Ia hanya menjaga interaksi secukupnya hanya supaya gadis itu tak merasa sendirian. Akira berencana untuk pelan-pelan membuat Asih kembali bisa menikmati harinya seperti orang normal. Hanya saja mimpinya semalam membuat Akira harus mengubah pikirannya.

Gadis itu muncul lagi dalam mimpinya semalam. Kali ini, ia seakan kembali ke atas perahu wisata dimana mereka pertama kali bertemu. Senyumnya masih semempesona yang bisa diingat Akira, meski kali ini, ia menggunakan celana pendek yang menunjukkan paha putih dan kaki panjang sempurnanya pada dunia. Sepatu bot semata kaki yang elegan menutupi kakinya. Sementara itu, kaos gombrang yang berpadu apik dengan syal yang melilit leher jenjangnya menimbulkan sensasi liar bagi pria manapun yang melihatnya.

Sementara pria yang menjadi pusat perhatian gadis itu terlihat tersenyum kecut ketika mendapati sosok mempesona itu mendekatinya.

"Apa kakak keberatan kalau saya duduk disini?"

"Sudahlah, Hime. Duduk. Aku kurang menikmati basa basi..." tukas Akira sedikit pedas. Ia sudah menunggu pertemuan ini selama beberapa waktu.

"Kakak kangen adek-kah?" serunya dengan berlebihan ketika ia duduk didepan Akira, sementara matanya penuh dengan kejahilan.

"Let's just cut the crap. Apa yang sebenarnya terjadi denganku, Hime?" desah Akira sambil menyedot rokoknya kuat-kuat. Rasa frustasi yang tak mampu ia jelaskan membuncah ketika melihat wanita mempesona yang terus tersenyum manis padanya itu.

"Bukankah sudah kubilang sebelumnya, Gorgeous? Itu hadiahku untukmu, nikmatilah selagi kau punya kesempatan." ujarnya sambil mengerling penuh rahasia

Namun belum lagi Akira mampu mencerna apa maksud wanita itu, kalimat lanjutan darinya menghadirkan riak di hati Akira.

"Aku tahu kalau kau menikmati waktumu, Gorgeous. Nikmatilah sepuasnya selagi bisa. Itu bukan tidak terbatas. Ketika batu di gelang kristal yang kuberikan padamu menyala kuning, berarti waktumu tak akan lebih dari setahun di tempat itu, dan ketika semua batu disana menyala ungu, berarti semua telah usai..."

Akira sedikit kaget mendengar ini. Semua telah usai?

Dia benar-benar mati?

Atau kembali ke hidupnya?

"Tapi Hime..."

Tapi wanita itu sudah tak ada disana. Ia bahkan sudah kembali ke kamarnya. Akira menghela nafas panjang, rupanya ia bermimpi lagi.

Duduk di pinggiran tempat tidur, Akira mengusap wajahnya, mencoba mencari ujung pangkal dari mimpinya. Gelang itu adalah hal yang ia bawa dari kehidupan lamanya. Setelah ia bangun sebagai Anton dan kembali ke rumah, ia tak pernah lagi memakai gelang itu. Ia hanya menaruhnya ditempat yang bisa selalu ia lihat. Sekedar pengingat bahwa ia adalah benar Akira. Tapi rupanya mulai sekarang, akan lebih baik kalau gelang itu tak lagi meninggalkan tangannya. Siapa yang tahu kapan waktunya habis dan ternyata ia melewatkan tandanya?

Dan itu juga berarti ia perlu mempercepat rencananya. ia tak mau pergi dengan penyesalan.

......................

Pemandangan sore dari lantai 2 rumahnya menyajikan gunung Merapi yang cantik dalam kegarangannya. Tempat ini masih tidak terlalu hiruk pikuk dengan bangunan, tidak seperti di tahun 2024, garis waktu tempat ia sebenarnya berasal. Tapi bahkan di tahun 2024 pun, rumah ini akan tetap memberikan pandangan langsung ke gunung yang menjulang jauh di utara sana. Akira mengetahuinya, karena ini adalah tempat yang sama dengan tempat dimana ia tinggal di tahun itu. Ia ingat kalau ia membeli rumah itu ketika pemiliknya, seorang wanita yang konon pernah memiliki usaha sukses di Singapore bangkrut karena anak laki-lakinya.

Namun Akira tak memikirkan itu sama sekali. Ia lebih memikirkan tentang Asih, gadis yang saat ini duduk di sebelahnya itu.

Meski terpisah oleh meja, tampak jelas kalau gadis itu tampak cemas dan was-was. Sejak kembali dari rumah sakit, ini adalah pertama kalinya Akira mengajaknya duduk bersama. Pikiran gadis itu penuh dengan seribu satu prasangka.

"Asih takut ya sama aku?"

Gadis itu hanya diam. Tangannya terus saja meremas-remas kaos yang ia pegang.

"Aku ada permintaan, Asih bisa bantu turutin?"

Gadis itu menoleh dengan kaget, sebelum kembali menunduk. Tampaknya apa yang ia takutkan akan terjadi lagi. Tangannya meremas kaosnya semakin kuat. Selama beberapa waktu belakangan ini, gadis itu memang sering bertanya-tanya, kapan semua yang baik akhir-akhir ini akan berhenti...

"Aku ingin main ke rumahmu. Sejak dulu, aku bahkan nggak tahu kamu tinggal dimana."

Gadis itu terhenyak kaget.

Apa aku nggak salah dengar?

"Anu, maaf Mas. Mas pengen ke rumah Asih?" tanyanya dengan takut-takut.

Akira tersenyum lembut. Ia sudah menetapkan dirinya. Asih dulu, Mama kemudian.

"Iya." jawab Akira singkat.

"Kapan Mas mau kesana?" tanyanya pelan, takut menyinggung orang yang seringkali menimbulkan perasaan takut padanya ini.

"Besok pagi aja ya? Kita pulang sore gitu?"

"Iya Mas." jawabnya sambil berusaha menyembunyikan kegembiraannya kuat-kuat.

Meski melihatnya, Akira berusaha untuk pura-pura tidak melihatnya. Ia menghabiskan sore itu untuk bertanya banyak hal tentang keluarga Asih, dan ketika ia mengijinkan gadis itu turun, Akira sudah memiliki pengetahuan yang cukup.

Akira memutuskan untuk belanja berbagai macam hal mulai dari keperluan sekolah adik-adik asih, hingga stok sembako yang cukup untuk kebutuhan keluarga besar selama 2 bulan penuh. Keluarga mereka tidak membayar Asih terlalu banyak. Akira sedikit banyak bisa menduga kenapa Asih sedemikian takut kehilangan pekerjaan itu meski kondisi yang ia terima sedemikian parah. Akira baru berhenti belanja ketika mobil yang ia sewa tak lagi mampu menampung apapun kecuali dua penumpang di kabin depan. Ia tidak menganggap ini akan cukup, tapi paling tidak, semua langkah perlu diawali.

......................

Hampir 2 jam waktu yang mereka habiskan dalam perjalanan. Sepanjang waktu itu, Asih sama sekali tak berbicara, kecuali ketika menjawab pertanyaan Akira tentang arah yang dituju. Dan ketika mereka sampai, Akira benar-benar tak mampu bicara.

Perjalanan mereka sudah lumayan mengerikan. Jalur tanjakan yang terbuat dari semen kasar yang dipadu dengan tatanan batu putih di tengahnya, sudah menguras setiap titik konsentrasi yang dimiliki Akira ke titik minus. Untung saja saat ini musim kemarau, jika ini musim hujan, Akira bahkan ragu dengan kemampuannya sendiri, mampu mencapai rumah yang terletak nyaris di ujung desa itu. Jalanannya sendiri lumayan, hanya saja ukuran lebarnya pas dengan lebar mobil yang dibawa Akira. Sementara itu, saking jarangnya desa itu menerima tamu selain waktu Lebaran, membuat banyak warga yang penasaran untuk melihat tamu besar mana yang datang. Meski di kehidupan Akira yang dulu, kejadian seperti ini tidak hanya sekali ia alami, tapi biasanya area yang ia kunjungi berada di luar pulau Jawa dan seringkali beberapa jam jauhnya dari kota. Dan ketika akhirnya ia sampai, kenyataannya jauh dari apa yang sudah ia perkirakan sebelumnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!