Semua Adalah Tentang Pilihan

Bunyi alat pendeteksi aktivitas jantung, detak langkah kaki di lantai linoleum putih, aroma obat dan obat anti bakteri yang bertahan di udara ini selalu membuat Akira tak nyaman. Bagi Akira, Rumah Sakit adalah tempat yang paling tidak ingin ia datangi. Ia di kehidupan masa lalunya, memiliki kemampuan untuk melihat dan berkomunikasi dengan mahluk tak kasat mata. Yang seringkali menimbulkan masalah ketika ia berbicara dengan orang yang ternyata tak bisa dilihat oleh orang lain. Sayangnya, Rumah sakit adalah salah satu tempat yang memiliki arwah orang yang bahkan seringkali tidak sadar kalau mereka sudah mati, dan Akira cenderung enggan untuk menjadi teman bicara mahluk-mahluk ini. Hanya kondisi memaksanya kali ini.

Akibat terlalu bersemangat, kandungan Asih yang masih muda luruh. Beban fisik akibat nekat ikut membantu ketiga pemuda itu pindahan rumah, ditambah kebingungan emosi akan bagaimana ia harus bersikap diantara kawan-kawan Akira yang baru pertama kali dilihatnya menjadi beban yang tak mampu ia tanggung.

Hasilnya, ketiga pemuda tanggung itu kalang kabut.

Bisa dibayangkan bagaimana reaksi dokter yang menangani kondisi Asih. 3 orang pemuda, mengantar seorang gadis berusia tak jauh beda yang sedang keguguran, sementara si gadis bertingkah seperti orang yang ketakutan, sehingga salah satu dari ketiga pemuda itu harus menenangkannya dengan bujukan dan kadang teguran.

Akira menghela nafas berat. Wajahnya nampak berselaput kesedihan. Map yang terbuka didepannya menunjukkan lembar persetujuan operasi pembersihan rahim untuk Asih, sementara dokter paruh baya yang duduk didepannya itu seakan mengawasi setiap perubahan di wajahnya, sekecil apapun itu.

"Benar, Dok. Sekar Kinasih ini adik kandung saya. Beberapa waktu lalu dia kena musibah ketika pulang kursus. Dia diperkosa beberapa orang preman, dan pelakunya belum tertangkap sampai sekarang." katanya dengan sedih sambil terus menarik nafas berat.

"Sementara sudah sejak 3 tahun lalu kami cuma tinggal berdua sejak kedua orangtua kami meninggal dalam kecelakaan." lanjutnya dengan gemetar, seakan ia menahan dirinya sendiri untuk tidak terisak.

"Kami pindah ke kota ini dalam usaha saya mengobati trauma yang ia derita, Dok."

Akira terus menunduk dalam. Bahunya merosot seakan beban hidup akan menghancurnya tanpa kata kapan saja. Ia tak menyadari kalau pria paruh baya yang sebelumnya tajam mengawasinya, melembutkan reaksi dan sesaat mengusap mata yang tiba-tiba saja mengeluarkan air tanpa mampu ia tahan.

"Hmm, sedih mendengarnya. Tapi apa dek Akira punya dokumen yang bisa membuktikan kalau Ibu Sekar Kinasih ini adalah adik anda?" sahut pria itu pelan dengan nada berhati-hati. Jika memang ceritanya seperti yang disampaikan pemuda ini, sungguh benar-benar berat bebannya. Tapi pria itu tidak mau jatuh dalam simpati begitu saja. Bisa saja pemuda ini hanya mengarang cerita.

"Kawan saya sedang mengambil KK saya di rumah, Dok. Karena kami baru pindah, saya belum mengurus pindah domisili, jadi KK kami masih terdaftar di kota kami sebelumnya." jawab pemuda itu lagi.

Tapi ketika si Dokter mendengar kalau ada Kartu Keluarga yang dimiliki oleh pemuda yang tampaknya tengah dihancurkan oleh kesedihan didepannya ini, ia tak lagi ragu. Mengarang kebohongan memang mudah. Tapi mengarang kebohongan dalam waktu singkat, ditengah kejadian seperti ini dan kebetulan mempunyai dokumen untuk mendukungnya adalah hal yang terlalu dibuat-buat. Dokter itu hanya bisa bersimpati pada kondisi pemuda yang tergugu di depannya itu. Nadanya tegas ketika ia berbicara kemudian, "Kalau begitu, silahkan tandatangani ijin operasinya, Mas. Setelah kawannya datang, tolong KK difotocopy dan serahkan ke bagian administrasi UGD. Adik mas perlu ditangani secepatnya."

Akira tak bicara. Ia meraih bolpen dan menandatangani dokumen. Sang dokter meraihnya dan segera meninggalkan tempat itu setelah memberikan tepukan lembut di bahu Akira, seakan mencoba memberikan kekuatan bagi pemuda yang tak henti ditimpa masalah tragis itu.

Ketika dirasa sang dokter sudah pergi, Akira menghela nafas dan menyandarkan punggungnya. Sama sekali tak ada jejak air mata dimanapun. Pikirannya berpacu, menimbang dan mencari.

Sebelumnya, jalan yang harus ia tempuh jelas.

Meski tak melakukan apapun pada gadis itu secara pribadi, setiap hal yang terjadi pada Asih adalah perilaku dari pemilik lama tubuh yang ia tinggali. Akira sudah memutuskan untuk menanggung semuanya, apalagi dengan adanya janin di dalam kandungan Asih. Tapi sekarang semuanya kembali berubah. Akira bingung...

Beberapa saat kemudian, Akira memutuskan untuk keluar. Operasi akan berjalan selama beberapa waktu, dan ia benar-benar tak bisa berpikir saat ini.

Pemuda itu berjalan keluar tanpa terlalu memperdulikan apapun. Otaknya penuh dengan beragam pertimbangan. Ia bahkan tak menyadari keberadaan Panji dan Bardo yang rupanya sudah sampai kembali ke tempat itu setelah harus kembali ke rumah untuk mengambil fotocopy Kartu Keluarga untuk administrasi. Pemuda itu terus larut dalam pikirannya sendiri ketika langkah terus membawanya keluar dari gedung rumah sakit.

Ia bahkan tak menyadari ketika sosok pemuda berbadan gempal turut duduk di sebelahnya. Akira baru menyadari ketika pemuda itu menyenggol dan mengulurkan cangkir kertas berisi kopi yang masih mengepul.

"Terus apa rencanamu sekarang, Lep?"

"Belum tahu, Do. Aku juga bingung. Udah terlanjur keluar sekolah, udah pindah rumah, udah bikin rencana jangka panjang untuk berdua dan bertiga beberapa waktu setelahnya. Sekarang aku juga jadi bingung gimana kedepannya." jawab Akira sambil menyeruput kopi yang masih mengepul dan menyumpah-nyumpah ketika menyadari kopinya masih panas.

Bardo terbahak-bahak melihat ini. Otak pemuda ini terlalu sederhana untuk level empati. Tapi beberapa waktu setelah tawanya reda, ia kembali tampak serius.

"Kalau kau tanya aku, aku mungkin akan bilang lanjutkan saja rencanamu. Ada bayi atau tidak, toh sama aja. Kamu yang paksa buka segel, jadi ya tetep aja hasilnya" ujarnya pelan hingga nyaris seperti geraman.

"Mie sudah dimasak, meski nasi ternyata habis, ya mie tetep harus dimakan. Mosok mau kamu buang?"

Mendengar ini perumpamaan asal ini, mau tak mau Akira mengangkat wajah dan melihat sosok gempal di sampingnya itu.

"Kalau mau bikin ibarat, mbok yo sing genah to Bro. (kalau mau bikin ibarat, yang bener to Bro)" tukas Akira tanpa mampu menahan pandangan menghina padanya.

"Lagipula, aku bukannya tak mau tanggung jawabnya. Aku berpikir apakah aku harus menjaga dia tetap serumah sama aku apa ndak. Bukan tak mungkin kalau lain kali ku gasruk lagi kalau dia serumah sama aku to Do?" lanjut Akira sengit.

Sementara, gantian Bardo yang kaget mendengar jawaban Akira.

"Sumpah, Bro. Aku bener-bener penasaran dengan apa yang mampu merubahmu sejauh ini. Aku sampai berpikir kalau aku bener-bener nggak kenal kamu ini siapa!" sahut Bardo dengan muka terheran-heran sementara Akira terbahak-bahak mendengarnya.

"Tapi kalo benar itu yang ada dalam pikiranmu, aku salut. Kau oke, dan nampaknya nama Kolep itu sudah benar-benar layak kau sandang." ucapnya dengan serius.

Akira hanya tersenyum sambil mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Berbicara dengan Bardo itu mirip bicara dengan hati nurani. Langsung, jelas dan nggak bertele-tele.

Pada akhirnya semua akan kembali pada dirinya sendiri. Lagipula benar juga apa yang dibilang Bardo, mie-nya sudah dimasak...

Ah, ibarat apa itu, batin Akira geli. Tapi ia sudah menentukan jalan yang hendak ia tempuh. Dan ia tak terlalu suka meninggalkan penyesalan di kemudian hari. Kejadian ini tak mengubah apapun. Ia memutuskan untuk tetap menjaga Asih, apapun yang terjadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!