Laut mana yang tak berombak, bumi mana yang tak ditimpa hujan, artinya Bagaimana pun manusia tidak akan luput dari kekhilafan atau kesalahan.
“Kenapa? Kenapa sekarang kamu mau mengakuinya?” desak Enggy lagi, dia butuh alasan mengapa tiba-tiba Andreas bertindak seperti ini. Andreas kan bisa saja terus bungkam dan bersembunyi.
“Karena aku nggak mau kamu menyalah-nyalahkan Riezka. Dia nggak tahu apa-apa.”
Ah, benar. Enggy sudah menduga. Pasti alasannya karena Riezka.
“Beberapa hari ini Riezka selalu murung. Dia juga banyak melamun,” tambah Andreas.
“Jadi sekarang kamu mau apa?”
“Aku ingin kamu berbaikan dengan Riezka. Dia nggak ikut andil sedikitpun mengenai foto itu. Sebagai balasannya, setelah kalian berbaikan, aku akan mengakui semuanya ke Bu Rasih dan teman-teman.”
Enggy menghela napas sebelum bertanya,“Kamu menyayangi Riezka?”
“Kalo aku nggak menyayangi, aku nggak akan melakukan semua ini.”
“Tapi kalo memang sayang, bukankah seharusnya kamu nggak membantu Riezka?”
Andreas tak menyahut. Masih menunggu kelanjutannya.
“Kamu seharusnya mencari cara bagaimana Riezka membalas perasaanmu, bukan justru membantunya untuk dekat dengan orang lain,” imbuh Enggy.
Andreas mengembang senyum lebar. Beberapa orang mungkin akan melakukan apa yang dikatakan Enggy. Tapi dia tak seperti itu. Dia punya pemikiran sendiri. “Mencintai dan menyayangi nggak harus memiliki. Asal Riezka bahagia, aku akan melakukan apa saja, termasuk dengan membiarkannya dimiliki orang lain.”
Tiba-tiba Enggy teringat alasannya beberapa minggu lalu, alasan kenapa dia memutuskan break dengan Rantung. Bisa dikatakan alasan Andreas hampir sama dengannya. Enggy juga ingin membuat orang yang disukainya bahagia. Makanya dia rela Rantung bersama Vio, bila memang laki-laki itu masih punya rasa.
Namun Enggy tak akan pernah—seandainya—membantu Rantung mendapatkan Vio. Baginya, kebahagiaan orang lain harus orang itu sendiri yang mencari. Harus orang yang bersangkutan itu jugalah yang memikirkan caranya. Dan yang harus diingat, sesama manusia tak boleh menghalangi kebahagiaan masing-masing.
Merasa percakapannya dengan Enggy sudah cukup, Andreas melirik jam di pergelangannya. Hampir satu jam sudah berlalu. Malam kian beranjak larut.
“Sepertinya aku harus pulang sekarang,” ucap Andreas sambil berdiri.
Enggy hanya diam. Masih sibuk dengan pemikirannya. Ini sungguh membuncahkan.
“Aku pulang dulu. Sampaikan salamku untuk ayahmu dan aku harap kamu bisa cepat berbaikan dengan Riezka,” akhir Andreas sebelum pergi menjauh.
Tok... Tok... Tok...
Suara pintu yang diketuk berulang-ulang itu refleks menyentakkan pandangan Enggy. Dia lantas mengalihkan tatapan matanya yang sedang menatap langit-langit menuju pintu.
“Siapa?” tanya Enggy sambil bangun dan menyadar di kepala ranjang.
Pintu berwarna coklat itu tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok Tiwi yang sedang tersenyum. “Boleh Tante masuk?”
“Silakan, Tan.”
Masih dengan melukis senyum lebar, Tiwi menghampiri Enggy. Dia kemudian duduk di atas kasur, persis di samping kiri Enggy.
“Ada apa ya, Tan?” Enggy mengernyit heran.
“Ada yang ingin Tante ceritakan kepadamu, sedikit berkaitan dengan anak laki-laki bernama Andreas tadi.”
“Maksud Tante?”
“Sebenarnya Tante dan Ayahmu nggak bermaksud untuk menguping. Beberapa menit setelah Andreas datang, ayahmu bermaksud mengantar Tante pulang. Tapi saat sampai di ruang tamu, ayahmu tiba-tiba dapat panggilan telpon. Jadi ayahmu angkat dulu. Terus kami duduk di sofa ruang tamu,” jelas Tiwi sedetail mungkin.
“Apakah Ayah yang menyuruh Tante ke sini?”
Tiwi cepat-cepat menggeleng. “Nggak. Ini inisiatif Tante sendiri.”
“Oh,” gumam Enggy yang tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Bukan Tante ingin membela ataupun membenarkan perbuatan Andreas, hanya saja kamu harus memakluminya. Cinta itu memang buta. Seseorang bisa melakukan apa saja untuk orang dicintainya.” Tiwi memberhentikan sejenak ucapannya, ingin meneliti raut yang Enggy tunjukkan. “Pasti berat untuk Andreas karena harus merelakan Riezka untuk orang lain. Cinta memang tidak boleh dipaksakan. Cinta pun tak mesti harus memiliki,” lanjutnya sambil terus memperhatikan mimik wajah Enggy.
Tidak ada ekspresi berlebihan dari gadis yang malam ini memakai kaos merah bergambar Mickey Mouse. Tidak tampak urat-urat menegang menahan marah. Tidak terlihat raut sentimen atas semua perkataan yang keluar dari mulut Tiwi. Mungkin bisa dikatakan kalau Tiwi hampir tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Enggy. Namun tetap tidak mengurungkan niatnya. Tiwi tetap ingin melanjutkan apa yang sudah direncanakan.
“Dulu Tante pernah hampir mencelakai almarhummah Bundamu.”
Ucapan Tiwi sontak membuat Enggy mendelik. Dia lantas menatap tajam. Sementara Tiwi mencoba menanggapi biasa saja. Reaksi yang Enggy tunjukkan adalah wajar. Memang tak ada satupun orang di bumi ini yang ingin mendengar orang disayanginya disakiti.
“Tante, ayahmu dan almarhummah bundamu sudah berteman sejak SMA,” sambung Tiwi sambil mengambil foto wanita dewasa dalam balutan batik yang tadinya bertengger di atas bufet.
Enggy juga ikut memandang foto yang selalu dirindukannya itu.
“Tapi saat kami masuk kuliah di universitas yang sama, Tante mulai menyadari kalau Tante mencintai ayahmu, sedangkan ayahmu justru mencintai bundamu.”
Tiwi meletakkan lagi posisi bingkai itu ke tempat semula. Dihadapkan wajahnya hingga mata mereka saling bertemu. Kedua manik Enggy masih menatap Tiwi dengan galak.
“Waktu itu Tante masih muda, masih belum bisa berpikir dewasa. Tante melakukan berbagai cara agar perasaan ayahmu berpaling kepada Tante. Tapi semua gagal, hingga suatu hari Tante berencana menabrakkan bundamu.”
Kini wajah Enggy memerah. Tampak marah Namun mulutnya masih terkunci.
Tiwi kembali melanjutkan ceritanya sambil sedikit menerawang. “Niat buruk pada orang lain kadang memang bisa menjadi senjata makan tuan. Saat Tante ingin melaksanakan rencana jahat Tante, tiba-tiba ban mobil Tante kempes. Mobil itupun langsung oleng tak beraturan hingga akhirnya menabrak pagar sebuah sekolah dasar. Dan saat itu, orang yang pertama menolong Tante adalah bundamu.”
“Lalu?” ucap Enggy setelah cukup lama hanya menjadi pendengar saja.
“Almarhummah bundamu wanita yang baik. Dia yang mengurus semua pengobatan Tante. Dia juga rela menjaga Tante di rumah sakit karena saat itu kedua orang Tante sedang keluar kota. Sejak saat itu, Tante menyadari kalau mencintai orang lain tak mesti harus memiliki. Anggap saja bukan sedang berjodoh,” sambung Tiwi seraya tersenyum lebar.
Dada Enggy mendadak menjadi hangat. Rasa rindu pun kian menghinggapi.
“Dua tahun setelah insiden itu, Tante bertemu dengan Fadli. Kami saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Kemudian kami memutuskan untuk pindah ke Kalimantan. Empat tahun lalu, dia meninggalkan dunia karena penyakit kencing manis,” tambahnya dengan lirih kecil di kalimat terakhir.
Tangan Enggy tanpa sadar terangkat. Dia mengusap-usap bahu Tiwi. Wanita berusia di pertengahan 50-an itu cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya yang sempat sendu. Tidak seharusnya dia menunjukkan raut seperti ini. Memang setiap memikirkan suaminya yang telah meninggal, rasa sedih itu selalu membendung. Dia masih belum sepenuhnya menerima kenyataan kalau orang yang sangat dicintainya sudah tidak di dunia yang sama.
“Maaf, kamu harus melihat wajah Tante seperti ini,” kata Tiwi dengan mengusap sebelah mata kirinya yang berkaca-kaca.
“Nggak papa kok, Tan. Aku kalau ingat Bunda juga selalu seperti itu.”
Tiwi melirik jam tangannya. “Sepertinya Tante harus pulang. Sudah jam sepuluh. Nggak enak sama tetangga.”
“Ehm... Tan,” panggil Enggy yang mencegah Tiwi untuk berdiri.
“Ya?”
“Kenapa Tante menceritakan semua ini?”
Tiwi memberikan senyum lebar sebelum menjawab, “Tante nggak punya maksud apa-apa. Tante hanya ingin kisah masa lalu kami bisa sedikit menginspirasimu. Perbuatan Andreas memang salah. Tapi yang kamu harus tahu, jauh di lubuh hati Andreas, dia nggak benar-benar membencimu.”
Enggy tercenung. Kok bisa Tiwi mengatakan tentang Andreas seperti itu.
“Kalau Andreas memang membencimu, dia pasti nggak akan mau berteman apalagi berbicara denganmu. Karena memedam benci itu lebih sulit daripada memendam cinta.”
Enggy mengernyitkan alisnya. Masih belum mengerti.
“Sebagian orang mungkin bisa menyembunyikan perasaan suka mereka. Tapi kebanyakan orang pasti nggak bisa menyembunyikan rasa benci mereka pada orang lain. Pasti ada bagian-bagian tubuh mereka yang akan bereaksi berlebihan. Entah mulut. Entah mata mereka,” jelas Tiwi dengan sedikit mengusap-ngusap bahu Enggy.
Sekarang Enggy bungkam. Mencoba mencerna dan melayang-layang sikap Andreas sejak pertemuan pertama mereka. Sepertinya perkataan Tiwi benar. Laki-laki itu mungkin memang tidak membencinya. Selama ini Andreas terlihat tulus berteman dengannya. Tak pernah sekalipun dia menunjukkan tatapan tak suka atau sejenisnya. Dia selalu terlihat ceria.
“Dan sebaiknya kamu segera meminta maaf ke Riezka. Tante dengar dari Ayahmu, kalian sudah bersahabat cukup lama.” Tiwi melirik lagi jam tangannya. Sepuluh menit kembali berlalu. “Tante harus pulang sekarang.”
“Tan,” seru Enggy yang sekali lagi menghentikan pergerakan Tiwi yang hendak berdiri. “Terima kasih,” tambahnya dengan menyimpulkan senyum lebar.
Tiwi membalas senyum itu tak kalah lebar sebelum benar-benar beranjak dari tepian kasur. Saat mau menutup pintu, untuk kesekian kalinya Tiwi memberikan senyum lebar.
Setelah pintu benar-benar tertutup, Enggy langsung menyambar ponselnya yang tergeletak di atas kasur, tepat di samping bantalnya. Dibuka aplikasi chat Line dengan mantap. Dia sudah meneguhkan hati.
Dibacanya sekali lagi pesan yang baru saja diketik. Memastikan tidak ada typo yang justru akan menciptakan keambiguan. Terakhir dia menekan gambar ikon send yang berbentuk segitiga.
[Baca 22:13]
Pulang sekolah bsok
bisakh kta bicara 4 mata
BENTAR LAGI ENDING!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments