Api padam puntung berasap, artinya perkara yang telah putus, tetapi timbul lagi.
“Rantung ke mana, Nggy? Kok semingguan ini aku nggak melihatnya,” tanya Riezka sebelum menyeruput es jeruk yang baru saja diantar Mang Mamat, padahal setiap hari pasti dia melihat Rantung yang menyambangi Enggy.
Enggy menggeleng pelan. “Nggak tahu.”
“Kalian sedang bertengkar, ya?”
“Kami sedang break.”
“Hah?! Maksudmu putus?”
“Nggak. Kami Nggak putus, tapi break,” bantah Enggy cepat.
Hubungannya dengan Rantung memang belum benar-benar berakhir. Mereka hanya break, atau kata lainnya—mungkin bisa disebut—putus sementara yang nanti bakal balikan lagi dalam kurun waktu tertentu. Jujur, sebenarnya Enggy enggan seperti ini. Dia masih sangat menyayangi Rantung.
Keputusan break adalah keputusan yang tepat saat ini. Mereka butuh waktu untuk menepis keraguan di hati masing-masing, terutama Rantung yang sepertinya masih memiliki rasa dengan Vio.
“Kenapa? Kok bisa? Apa penyebabnya karena pertengkaranmu—”
“Neng, ini batagornya ya Neng!” ucap Mang Mamat yang memotong lontaran Riezka.
Laki-laki paruh baya berkopiah hitam itu meletakkan dua buah piring ke hadapannya dan Enggy.
“Terima kasih, Pak,” tutur Enggy yang dibalas anggukan singkat Mang Mamat sebelum meninggalkan meja mereka.
“Jadi?” ucap Riezka, tubuhnya sedikit mendekatkan ke arah Enggy hingga kedua siku mereka saling bertemu.
“Apanya?”
“Kenapa kamu dan Rantung bisa break?”
Enggy mengedikkan bahu, terlihat tak tertarik dengan perbincangan ini. Perutnya sedang lapar. Tadi pagi dia tidak sempat sarapan, hanya minum susu coklat yang dibuat Mbak Sari. Dan solusi yang tepat adalah makan batagor yang diolah dari tepung dan bercampur daging ini. Apalagi batagor buatan Mang Mamat terkenal sangat enak. Saus kacangnya benar-benar maknyusss.
“Nggy, kamu—”
Sebelum Riezka kembali mengutarakan pertanyaannya, Enggy lebih dahulu menyela. “Andreas ke mana? Tumben nggak mengintilinmu?”
Riezka melotot tajam. “Jangan mengalih pembicaraan!”
“Aku nggak mengalihkan pembicaraan. Aku sedang malas aja membahasnya. Sedang nggak mood. Nanti pasti aku cerita, kokp.”
Tiba-tiba Enggy menyeringai, teringat dengan pengamatannya beberapa hari ini. Sebenarnya sudah lama dia ingin mengatakannya, mungkin sejak mengamati interaksi Andreas dan Riezka yang selalu adu mulut. Ah, mungkin sejak dia melihat binar-binar yang berbeda di mata Andreas. Bukan binar-binar yang ditunjukkan seorang laki-laki kepada sahabat perempuannya. Lebih dari itu.
“Kenapa kamu dan Andreas nggak pacaran aja? Kalian cocok kok!” Enggy menaik-turunkan alisnya, berniat untuk menggoda gadis di sampingnya.
“Nggak. Aku nggak tertarik dengan Andreas. Kami hanya cocok jadi sahabat,” ucap Riezka santai, seolah perkataan yang keluar dari mulut Enggy sudah sering didengarnya. “Lagipula aku sudah mempunyai orang yang kusukai!” tambah Riezka malu-malu, kedua pipinya seketika merona merah.
“Hah? Siapa? Kok aku nggak tahu.” Bola mata Enggy membulat lebar. Selama ini Riezka tak pernah cerita. Dia pun tak pernah menunjukkan ciri-ciri kalau sedang jatuh cinta.
“Tapi sekarang dia udah punya pacar. Aku nggak punya harapan lagi,” ucap Riezka yang diakhiri helaan napas panjang.
Enggy mengelus-elus pelan bahu kiri Riezka. “Jangan bersedih, masih banyak yang menyayangimu dan kita masih muda, perjalanan hidup kita masih panjang. Masalah percintaan bukanlah prioritas utama untuk sekarang.”
“Sok bijak!” tukas Riezka dengan terkekeh-kekeh kecil.
“Tapi serius deh, kamu dan Andreas benar-benar serasi. Kamu cantik dan dia tampan.”
Riezka sedikit berdecak sinis sebelum berujar, “Jangan mulai deh! Lagian aku nggak pernah berpikiran untuk berpacaran dengannya. Lebih enak seperti ini aja. Dan kata orang-orang, persahabatan memang sering berakhir dengan cinta, tetapi jarang yang awalnya saling mencintai memutuskan untuk bersahabat bila putus, dan aku nggak mau seperti itu.”
“Kamu menyindirku atau gimana?”
Riezka hanya membalas dengan cengir lebar.
Enggy berjalan sedikit tergesa-gesa sambil menunduk. Sesekali bahunya menabrak siswa lain yang juga sedang melintas di koridor. Beberapa pasang mata tampak menatap ingin tahu. Adapula yang terang-terangan memandangnya dengan sinis. Sebagian anak-anak laki-laki bahkan bersiul-siul menggoda.
Ah, foto itu pasti sudah tersebar luas, khususnya di lingkungan SPP. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecepatan informasi media sosial.
Sebenarnya Enggy ingin berteriak, mengatakan dengan lantang kalau tubuh molek tanpa busana di foto itu bukanlah dirinya. Tapi pasti banyak yang tak akan terpercaya. Wajah itu adalah wajahnya.
Enggy tak punya firasat aneh sore itu. Tak ada prasangka buruk sedikitpun. Kalau seandainya Riezka tidak meneleponnya, Enggy pasti tidak tahu apa-apa.
“APA??? BUGIL???” teriak Enggy lantang yang seketika membuat Angga terbatuk-batuk keras, tersedak jus yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.
“Apaan sih dek?!” ucap Angga sambil mengelap-ngelap ujung-ujung bibirnya.
“Bang, aku pinjam HP-mu!”
Tanpa mendengar persetujuan dari Angga, tangan Enggy langsung menyambar benda segiempat yang tergeletak di atas sofa. Dia membuka menu penganturan dan mengaktifkan hotspot seluler.
Beberapa detik setelah tersambung, ponsel Enggy seketika penuh dengan notifikasi Line. Semua berasal dari Grup kelasnya, Angkatan Plus 21.
[Jordan 16:24]
Picture
[Alan 16:25]
Sexy, man!!!
[Alan 16:26]
18++++
[Gilang 16:28]
Aku udah 18 Kakak... Hehehehe
[Sindy 16:30]
Woy @Jordan, jangan post foto yang nggak-nggak!!!
[Tama 16:31]
Rezeki para laki-laki nih :P
[Siska 16: 32]
Itu Enggy kan?
[Keyla 16: 33]
Kayaknya emang Enggy
[Della 16: 34]
Enggy kelas kita kan?
[Della 16: 36]
Kok dy foto kayak gitu sih
Dan masih banyak komentar lainnya, namun Enggy sudah terlanjur tak berminat. Dia menekan gambar foto bugil itu hingga memenuhi seluruh layar ponselnya.
Wajah itu memang wajahnya dengan rambut sebatas leher berhiaskan bando bermotif polkadot. Ada dua tahi lalat kecil di bawah mata. Enggy yakin tubuh itu bukan tubuhnya. Tubuh itu mulus, tidak ada tanda lahir berwarna kecoklatan yang tertempel di bawah tulang selangka. Lagian tubuhnya juga tak seindah tubuh itu, dengan ukuran payudara yang berukuran cukup besar dan pinggul yang lebar.
Background di foto itupun bukanlah lokasi yang dikenal Enggy. Di rumahnya tidak ada satupun dinding yang dicat berwarna biru muda. Tidak pula ada lukisan bergambar abstrak seperti yang tertempel di sana. Seingatnya lagi, dia tak pernah sekalipun merasa pernah berkunjung atau berada di ruangan itu.
Enggy yakin fotonya sudah direkayasa. Namun siapa yang mengeditnya? Apakah Jordan? Mengapa dia melakukannya? Apakah cowok itu punya dendam kesumat kepadanya? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang terus berputar di otak Enggy. Satupun tak ada alasan logis yang bisa menjawabnya.
“Enggy!” panggil Riezka saat Enggy baru saja berdiri di depan pintu kelas.
Enggy tak menyahut. Dia buru-buru mendekati meja dan bangkunya. Pandangan dari puluhan mata itu membuat Enggy tak nyaman. Risih. Pandangan mereka seperti mencemooh. Seolah menghina kalau dia bukanlah cewek baik-baik.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Nggy?” tanya Riezka dengan sedikit berbisik sambil mendekat bangkunya.
Enggy menoleh ke belakang, tempat dimana Jordan duduk. “Kamu lihat Jordan?”
“Belum datang. Mungkin sedang di belakang sekolah.”
Enggy tiba-tiba berdiri.
“Mau ke mana?” tanya Riezka sambil ikut berdiri.
“Ke belakang sekolah. Menemuinya,” jawab Enggy bertepatan dengan bel yang berbunyi dan Bu Neneng yang sudah memasuki kelas.
Enggy kembali duduk. Dia tak jadi melaksanakan rencananya. Kedatangan Bu Neneng yang hari ini memakai jilbab berwarna hitam kontan menciutkan nyalinya. Enggy masih sedikit trauma dengan surat panggilan yang diberikan beliau. Dia masih terbayang-bayang wajah kecewa sang Ayah. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat.
Jam sembilanan lebih, suara ketukan pintu kelas XI IPA 2 bergaung. Seluruh mata di dalam ruangan itu spontan tertuju ke arah sumber suara, menampakkan perempuan muda bersanggul dalam setelan seragam warna khaki yang sedang berdiri di depan pintu.
“Ada apa ya, Bu Lani?” tanya Bu Neneng sambil melirik ke arah jam dinding, masih ada beberapa menit sebelum pergantian mata pelajaran.
“Maaf Bu Neneng, saya izin mau memanggil Enggy.”
Kini seluruh pasang mata beralih ke arah selatan kelas, memandang Enggy yang sedang membelalakkan kedua manik matanya. Raut terkejut pun begitu jelas terpancar di wajah gadis berambut sebahu itu.
Memang beberapa kali kejadian ini sering terjadi. Sudah lumrah saja seorang guru memanggil siswanya. Ini pertama kali Enggy dipanggil di tengah-tengah pelajaran. Enggy bukanlah siswa yang memiliki otak cemerlang, atau memiliki rekam prestasi yang banyak. Nilai raport-nya pun biasa-biasa saja. Jadi tidak ada alasan mengapa dia dipanggil Bu Lani. Kecuali... mungkin karena foto itu.
“Enggy!” panggil Bu Neneng.
Enggy mendirikan tubuhnya dengan ragu-ragu. Kakinya melangkah pelan menuju pintu diikuti binar-binar penasaran beberapa pasang mata. Kemudian dia mengekori langkah Bu Lani yang mulai menjauh dari kelas. Benaknya semakin bertanya-tanya. Namun tetap tak satupun yang terlontar dari mulutnya.
Ada apa gerangan?
**TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA! **
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments