Peribahasa 4 Amra Disangka Kedondong

Amra disangka kedondong, artinya sesuatu yang baik disangka buruk.

Benak Enggy kian giat bertanya-tanya, silih berganti dan saling menderu-deru. Pikiran-pikiran negatif berdatangan, apalagi saat mengingat tentang foto bugil dengan wajahnya itu. Ditambah lagi Bu Lani yang ada beberapa langkah di depannya tak menjelaskan apa-apa. Beliau tampak menikmati pemikirannya sendiri. Entah apa yang dipikirkannya.

Dan sekarang Enggy ingin mengumpat kasar, tatkala bola matanya menangkap sosok laki-laki sekitar 180-an cm yang keluar dari ruangan kecil bertuliskan WC. Apakah hari ini adalah hari kesialannya?

Enggy berupaya tak mengindahkan keberadaan sosok itu. Sejak keputusan untuk break, dia selalu berusaha menghindar. Berharap tak saling bertatap muka. Bukan karena sudah tak sayang. Dia hanya ingin memberikan waktu, memberikan luang untuk hati Rantung bisa memilih. Dirinya atau Vio.

Sebenarnya Enggy sudah menyerah dengan perasaan ini. Rantung sepertinya memang masih memiliki rasa kepada Vio. Hari sabtu kemarin, Enggy sempat melihat Rantung sedang berbicara dengan Vio di parkiran. Tidak terlihat perdebatan sengit. Tidak ada tegang urat dari leher masing-masing, justru Vio dan Rantung saling sahut menyahut dengan santai. Sekali-kali mereka tampak tertawa-tawa kecil.

Bahkan Enggy juga melihat Vio yang menaiki sepeda motor Rantung sebelum mereka menjauh dari area parkiran. Dan detik itu Enggy menyadari satu hal. Keputusannya seminggu yang lalu memang sangat tepat. Sudah sepantasnya dia mundur dengan teratur. Rantung masih belum bisa melupakan Vio. Laki-laki itu sepertinya belum bisa move on.

“Mau ke mana Ntung?” tanya Bu Lani karena seingatnya dia menyuruh remaja itu menunggu di ruang multimedia.

“Saya baru saja dari kamar kecil dan sekarang saya mau ke kelas Andreas, Bu. Bu Endah menyuruh saya memanggilnya.”

“Oh ya sudah, pergilah.”

“Permisi, Bu,” pamit Rantung yang kembali melangkahkan kakinya.

Ketika Enggy dan Rantung saling berpapasan, Enggy berusaha tetap memandang lurus ke depan. Tak ingin hatinya goyah lagi, kembali merasakan debaran-debaran yang selalu hadir saat melihatnya. Bagaimana pun dia masih sangat menyayangi cowok itu.

“Kamu baik-baik saja?”

Enggy tetap menggerakkan kakinya, mengabaikan lontaran yang tertangkap telinga.

“Enggy,” panggil Rantung dengan memegang pergelangan Enggy.

Langkah gadis itu spontan berhenti. Matanya menatap sebentar ke arah lengannya sebelum menatap wajah Rantung yang menunjukkan raut khawatir. Dia menoleh ke arah Bu Lani yang posisinya sudah agak jauh.

“Kamu baik-baik saja?” ulang Rantung.

“Ya,” jawab Enggy seraya melepaskan genggaman tangan besar itu.

“Tapi wajahmu kelihatan pucat.”

“Aku baik-baik aja kok,” ucap Enggy lagi sebelum memandang ke arah Bu Lani yang sedang memandang ke arah mereka. “Aku sudah ditunggu. Permisi,” imbuhnya sebelum berlari-lari kecil mendekati Bu Lani.

Enggy dan Bu Lani kembali berjalan memelah jalanan koridor hingga langkah mereka berhenti di depan ruang kepala sekolah. Benak Enggy kembali bertanya-tanya, berseru dengan lantang di pikirannya. Wajah Enggy juga semakin memutih. Dugaan-dugaan negatif semakin berkelana, memenuhi setiap memori-memori otaknya.

“Kamu ke mulmed saja duluan.”

“M-Maaf Bu?” ucap Enggy gelagapan, sedikit linglung.

“Ibu ada urusan sebentar dengan Bu Rasih. Kamu duluan aja ke mulmednya.”

Tanpa sadar Enggy mengembuskan napas panjang, kemudian mengangguk. “Baik, Bu.”

Kaki Enggy kembali bergerak, membawa ke sebuah ruangan yang terletak di ujung koridor ini, persis di samping ruang komputer. Di sana ternyata sudah ada seorang wanita berambut pendek—Enggy mengenalnya sebagai guru Bahasa Inggris kelas dua belas—yang sedang duduk di sebuah kursi khusus untuk guru.

“Masuk, Nggy!” suruh Bu Endah.

Enggy mengangguk singkat, kemudian segera mendekati Bu Endah.

“Saya disuruh ke sini karena apa, ya Bu?” Enggy memutuskan untuk bertanya, masih belum ada penjelasan yang jelas yang tertangkap matanya, dan degupan jantung ini terus berdetak kencang, kian membuncah.

Bu Lani tersenyum sejenak. “Kita tunggu yang lainnya dulu, ya?!”

Tok... Tok... Tok... Tiba-tiba pintu ruangan bercat coklat itu berbunyi sebelum terbuka, menampakkan dua laki-laki berseragam putih abu-abu dengan postur yang hampir sama, diikuti Bu Lani di belakang mereka. Rantung dan Andreas mengangguk kecil sebagai bentuk hormat.

“Ambil kursi itu dan bawa ke sini!” perintah Bu Endah.

“Baik, Bu,” jawab Enggy, Rantung, dan Andreas serempak.

Baru saja Enggy hendak membalikkan badan, Andreas berlirih, ”Aku yang akan mengambilnya untukmu, kamu di sini aja.” Enggy hendak menolak, tapi Andreas langsung menambahi, “Rantung ngambil kursi untuk Bu Lani dan aku untukmu.”

Akhirnya Enggy mengangguk. Setuju saja.

Dengan langkah berbarengan, Rantung dan Andreas menuju posisi kursi plastik terdekat. Mereka mengangkat masing-masing dua buah kursi, membawanya mendekat ke depan meja Bu Endah.

“Makasih,” tutur Enggy.

Andreas membalas dengan anggukan singkat dan senyum lebar.

“Jadi begini....” Bu Endah mulai membuka pertemuan ini. “Kami berdua mengajak kalian ke sini karena ada hal yang ingin dibicarakan,” sambung Bu Endah sambil membuka laci meja di sampingnya, mengambil selembar kertas berukuran A4 dan menyodorkan ke hadapan ketiga remaja tersebut.

“English Debate Competition,” baca Andreas spontan.

Sementara Enggy menghela napas panjang. Lega. Pikiran buruknya beberapa menit lalu tak jadi kenyataan. Ah, seharusnya tadi dia husnudzon saja! Masa depan kan memang tak bisa ditebak.

Mata Enggy mulai memindai. Tema adalah kalimat pertama yang tertangkap matanya. Agriculture Lineage Packing for Better Transformation. Cukup sulit, namun sesuailah dengan hadiah yang diberikan. Untuk juara ketiga saja mendapatkan uang tunai sebesar dua juta rupiah plus tropi dan sertifikat.

“Jadi maksudnya gimana Bu?” tanya Rantung dengan sedikit mengangkat kepala, dia telah selesai melakukan skimming.

“Kalian bertiga telah terpilih untuk mengikuti lomba debate, mewakili sekolah kita. Meskipun Andreas siswa baru, tetapi menurut ibu dia juga layak untuk mengikuti kompetisi ini mengingat dia pernah sekolah di luar negeri,” jelas Bu Endah.

“Dan juga rentang pelaksanaannya masih lama. Masih dua bulan lagi. Masih cukup untuk kita melakukan persiapan,” ucap Bu Lani menimpali seraya menatap Enggy, Rantung, dan Andreas bergantian. “Jadi apakah kalian bersedia?”

“Saya setuju, Bu,” angguk Andreas dengan semangat diikuti Enggy dan Rantung.

“Baiklah kalau begitu, mulai besok setelah pulang sekolah kita mulai latihan di sini. Besok juga akan ditentukan siapa yang menjadi first speaker, second speaker dan third speaker,” jelas Bu Endah lagi.

“Baik, Bu,” jawab Enggy, Rantung, dan Andreas bersama-sama.

Di belakang gedung SMA Plus Pekanbaru memang selalu tampak sunyi. Hanya ada sebuah bangunan kosong berukuran tidak lebih dari sembilan persegi. Biasanya tempat itu dijadikan gudang untuk menyimpan fasilitas sekolah yang sudah tidak digunakan. Jarang ada yang datang ke area ini kecuali anak-anak yang dicap sebagai anak bandel. Kebanyakan mereka ke sini untuk merokok ataupun sekedar nongkrong-nongkrong saja.

Untuk pertama kalinya pula Enggy dan Riezka—yang terpaksa ikut karena kasihan—mendatangi kawasan itu. Tujuannya hanya satu, ingin menemui Jordan. Memang sejak memasuki sekolah hingga sekarang jam istirahat pertama sedang berlangsung, wujud Jordan tak kelihatan. Mungkin bolos lagi. Seperti hari-hari biasa.

“Tumben ke sini, Nggy?” tanya laki-laki bertubuh sedikit tinggi dan berkulit gelap dari keempat temannya yang lain.

“Jordan ke mana, Tam?”

Tama terkekeh kecil sebelum menjawab,”Biasa. Bolos. Kayak kamu nggak tahu aja.”

“Bolos ke mana?”

“Tadi di sini kok. Tapi sekarang nggak tahu pergi ke mana.”

“Kalau ketemu, bilang kalau aku mencarinya,” ucap Enggy dengan sedikit mendengus dan lantas membalikkan badan, ingin menuju kantin dan memesan semangkuk bakso Pak Tarmin. Sebenarnya perut sedikit lapar, namun dia tetap memaksa untuk ke sini.

Tiba-tiba kakinya terpaksa berhenti. Telinga Enggy menangkap kata-kata yang membuat telinganya terasa panas. Badan Enggy berbalik. Kedua matanya menatap nyalang ke arah gerombolan itu.

“Apa maksudmu?” Enggy menggeram marah.

Tama menyeringai. Kerlingan menggoda terlihat jelas di kedua matanya. Tatapan itu terlihat seperti om-om mesum. “Tak nyangka tubuhmu sekseeh!!! Kapan-kapan boleh dong temani Abang!” Tama mengulang kalimatnya, sementara keempat temannya tergelak lebar.

“Sialan!” maki Enggy tak terima, merasa dilecehkan.

Enggy siap hendak menerjang, berniat mencakar wajah Tama, atau kalau bisa dia akan membuat bibir itu doewer dan tidak bisa berbicara lagi. Tapi Riezka terlebih dulu mencegahnya.

“Jangan Riez, mereka cowok!”

“Kalau mereka cowok, memang kenapa? AKU NGGAK TAKUT.”

Riezka menarik Enggy menjauh. Harus secepatnya pergi dari sini. Gadis ini cukup berani. Mungkin saja nanti terjadi yang tidak diinginkan.

“Awas kalian!!!” teriak Enggy lantang.

Tama dan keempat teman semakin tertawa lebar. Justru lebih keras dari sebelumnya. Sedangkan Riezka kian menarik Enggy, menuntunnya menjauh dari kawasan belakang sekolah itu, mengajaknya memijak koriodor kelas dan menuju ke arah kantin.

“Apakah foto itu memang foto—” Riezka tak jadi melanjutkan, delikan tajam dari kedua mata Enggy mengurungkan niatnya. “Ehm... Jordan keterlaluan! Dia kok tega ya?!”

“Lihat saja nanti, akan aku hajar dia!” Enggy mengepal jarinya dengan kuat.

“Hubunganmu dengan Rantung gimana?” tanya Riezka. Bukan bermaksud mengalihkan pembicaraan, hanya saja dia begitu penasaran apalagi saat matanya menangkap sosok Rantung yang sedang berjalan berlawanan arah.

“Entahlah,” jawab Enggy ambigu.

MOHON KRITIK DAN SARANNYA.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!