Terang kabut, teduh hujan, artinya Telah senang kembali sehabis menderita.
“Bagaimana?”
Enggy mengernyit.
“Bagaimana pemeriksaan tadi?” lontar Rantung lagi.
Bibir Enggy kembali tersungging lebar. Matanya berbinar senang. Raut bahagia terpancar jelas di wajahnya. “Foto itu terbukti bukan aku.”
“Berarti nanti sore udah bisa ikutan latihan?”
Enggy manggut-manggut semangat. Kemarin sore dia memang izin untuk tidak ikut pelatihan debate. Dia harus mencari Jordan dulu untuk menyelesaikan masalah ini. Yah, meskipun hasilnya nihil.
Sekarang Enggy tidak perlu khawatir lagi. Dia bisa menikmati kehidupan masa sekolahnya seperti biasa. Masalah yang banyak menguras air matanya itu telah selesai, meskipun dia masih belum tahu siapa yang telah merekayasa foto tersebut. Apakah memang benar Jordan atau ada pelaku yang lain? Setidaknya dia tak perlu berurusan dengan pihak sekolah dan orang tua siswa.
Lebih beruntungnya lagi, Ibu Lani tidak menggantikan posisinya sebagai second speaker dengan orang lain. Enggy masih bisa membanggakan ayahnya. Dia akan belajar dengan keras agar dapat memenangkan lomba debate ini.
“Kok kamu ada di sini, Ntung?”
“Oh... Tadi aku melihat ayahmu dari jendela kelas. Aku ingin menyapa. Tapi sepertinya sudah terlambat.”
“Iya, dia baru aja pulang.”
“Syukurlah masalahmu sudah selesai.”
“Aku benar-benar sangat senang,” ungkap Enggy riang. “Pipimu kenapa, Ntung?” tanyanya saat merasa ganjil dengan lebam kemerahan di pipi kiri dekat sudut bibirnya, seperti habis dipukul seseorang. Apa dia habis berantem? tambah Enggy membatin.
Ah, tidak mungkin. Rantung bukanlah sosok yang suka mencari gara-gara dengan orang lain. Dia terkenal dengan kekalemannya. Semua guru di sini pun sangat menyukainya. Rantung juga menjadi salah satu cowok terpopuler di SPP atau kids zaman now bilang: cowok most wanted.
Rantung memegang pipi kirinya. Dia sedikit meringis saat jemarinya tak sengaja mengenai memar berwarna kemerah-kemerahan itu. “Terjatuh kemarin,” jawab Rantung sembari cengengesan.
Alis Enggy spontan terangkat.
“Sekarang udah istirahat. Mau ke kantin?” ajak Rantung, mencoba mengalihkan pembahasan mengenai asal-muasal lebam di wajahnya ini.
Enggy terdiam sejenak, memandang mata Rantung yang juga sedang menatapnya. Kemudian mengangguk. Sebenarnya Enggy masih ingin menghindari Rantung. Tetapi dia harus segera menyudahi sikap kekanak-kanakan itu. Bukan waktunya. Apalagi mereka juga akan sering bertemu nanti, saat pelatihan dan perlombaan debate nanti.
Lagian Enggy juga ingin membuktikan kepada Riezka. Hubungannya dan Rantung tak akan berakhir seperti yang ditakutkan gadis berkacamata itu. Walaupun nanti mereka benar-benar putus—tidak break lagi seperti sekarang—di mata mendatang, hubungan di antara mereka akan tetap seperti sebelum berpacaran, masih sahabatan yang bisa diajak canda ria.
“Mau di mana? Yang di Pak Tarmin atau di Bukde Ririn?”
“Terserah aja.” Enggy mensejajarkan langkah mereka.
“Bakso Pak Tarmin?”
“Boleh juga,” angguk Enggy antusias.
“Oke,” setuju Rantung sambil memasuki koridor kelas.
Selama menuju kedai Pak Tarmin ada di tengah-tengah kawasan IPS dan IPA, Enggy dan Rantung tak sekalipun mengungkit status break mereka. Dua remaja itu lebih memilih membahas tentang materi pelatihan debate kemarin. Mereka sama-sama tahu kalau sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakannya.
Sesuai dugaan, kedai Pak Tarmin memang selalu ramai, apalagi di jam istirahat seperti ini. Selain tempatnya yang strategis dan cita rasa makanannya yang sangat enak, di sana sering juga dijadikan ajang PDKT anak SPP.
“Enggy! Rantung!” panggil Riezka dengan melambai tangannya. Andreas yang duduk di sampingnya juga ikut melambaikan tangan.
Enggy mengangkat tangannya, membalas lambaian itu. Dia tidak langsung mendekat. Kepalanya celingak-celinguk, melihat-lihat makanan apa yang ingin dimakan.
“Aku mau bakso. Kamu apa?”
“Sama deh.”
“Ya udah, yuk kita pesan!” Enggy mulai mendekati gerobak bakso yang ada di sudut ruangan.
“Aku yang pesan. Kamu ke tempat Riezka aja!”
“Nggak usah. Aku pesan sendiri aja.”
“Kamu yang jaga tempat duduk dan aku yang pesan.”
“Tapi—“
“Tempat Riezka kosong. Nanti diambil orang.” Rantung sedikit mendorong pelan pundak Enggy agar menjauh dari area gerobak Pak Tarmin.
Akhirnya Enggy mengangguk. Dia menggerakan kakinya mendekati posisi Riezka dan Andreas yang tampak menikmati makanan mereka.
“Gimana Nggy?” tanya Riezka saat Enggy baru saja duduk persis di depannya.
Enggy membalas dengan kernyitan.
“Tentang pemeriksaan itu?”
“Oh... Beres kok!” jawab Enggy dengan menunjukkan jempolnya.
“Jadi terbukti foto itu bukan kamu?”
Enggy mengangguk dengan mantap.
“Memang cara pemeriksaannya gimana tadi?” timpal Andreas.
“Ehm... Hanya ditanya-tanya saja kok,” jawab Enggy sekenanya. Nggak mungkin dia mengatakan kalau tadi dia telajang bulat di depan Bu Clara dan Tante Tiwi, kemudian mereka membandingkan foto di tubuh itu dengan tubuhnya.
“Trus kamu mau bagaimana sekarang?” Setelah bertanya, Riezka menyuapkan sebuah bakso. Tiba-tiba mata Riezka menatap tajam ke arah belakang Enggy. Tiga cewek primadona SPP baru saja melewatinya. “Apa mungkin Vio pelakunya?” sambungnya sambil berbisik.
“Maksudmu?”
“Mungkin saja dia yang menyuruh Jordan untuk mengedit foto itu.”
“Jangan nuduh sembarang. Nanti fitnah!” celetuk Andreas.
“Bukan nuduh, hanya....” Riezka terdiam sejenak, mencari kata yang tepat.
“Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan tau!” Lagi-lagi Andreas berceletuk.
Sedangkan Enggy tak menanggapi. Pikirannya terus tertuju pada Jordan. Kata Alika, cowok itu sudah hampir seminggu tak datang ke sekolah. Hanya dia satu-satunya yang bisa dijadikan sebagai tersangka utama. Karena Jordanlah yang pertama kali memposting foto itu di grup angkatan. Kalau Mama Hangif? Ah, tidak mungkin Ibu Ratna pelakunya. Lagipula apa keuntungannya. Enggy bahkan tidak tahu wajah beliau.
“Nih pesananmu, Nggy,” ucap Rantung sambil meletakkan baki yang dibawanya ke atas meja. Dia menduduki kursi plastik di samping Enggy dan meletakkan mangkuk berkuah dihadapan Enggy.
“Thanks Ntung.”
“Sama-sama,” balas Rantung.
“Kok kamu yang ngantar? Biasanya kan Pak Tarmin.”
“Kalau nunggu Pak Tarmin kan lama. Harus nungu bakinya penuh dulu. Jadi lebih cepat kalau ambil sendiri,” papar Rantung sebelum mencicipi kuah bakso. “Nggy, tolong kecap dan sausnya dong!” Rantung memandang dua botol kaca yang ada di ujung meja.
Tangan Enggy baru saja hendak mengambilnya, tetapi sudah didahului Riezka.
“Makasih Riez.”
“Sama-sama, Ntung,” sahut Riezka sambil meneliti wajah Rantung. “Btw, pipimu kenapa, Ntung? Kok merah gitu?”
Rantung tersenyum singkat. “Jatuh.”
“Oh,” respon Riezka, tidak ingin bertanya lebih lanjut. Rantung tampak tak ingin membahasnya.
Bibir Enggy mengembang sumringah. Kakinya melangkah ringan menuju multimedia. Meskipun masih ada tatapan-tatapan sinis yang terlihat, tapi sudah tak terdengar lagi cemooh-cemoohan kasar. Berita kebenaran tentang foto itu mungkin sudah tersebar. Sekarang tak ada yang perlu dirisaukan. Pihak sekolahpun maupun orang tua siswa tak akan bisa mengusiknya lagi.
“Sore,” ucap Enggy sambil membuka pintu.
“Sore,” balas Rantung yang sedang duduk di salah satu kursi.
Kaki Enggy bergerak masuk, berjalan mendekati meja yang ada di sebelah Rantung. Meletakkan tasnya di sana. Matanya melirik ke atas layar, memandang sebuah jam bundar yang sudah menunjukkan jam tiga sore tepat.
“Andreas mana?”
Kepala Rantung bergoyang-goyang, ke kiri ke kanan.
“Hari ini kita latihan, kan?” tanya Enggy sambil melirik ke arah pintu. Seharusnya sekarang mereka sudah memulai pelatihan. Namun Bu Lani dan Bu Endah selaku guru pembimbing belum juga kelihatan. Tak biasanya dua wanita dewasa itu datang terlambat seperti ini.
“Tadi Bu Lani ngajar kok.”
“Apa mungkin Bu Lani dan Bu Endah sedang ada pertemuan, ya?”
“Mungkin aja,” jawab Rantung sekenanya, dia juga tidak tahu. “Oh iya...!” Rantung menyodorkan sobekan kertas yang diambilnya dari saku bajunya.
“Itu apa?” Alis Enggy reflek terangkat.
“Nomor HP Jordan.”
“HAH?! Benarkah?!” Kedua manik Enggy seketika membelalak. Jemarinya ragu-ragu mengambil sobekan itu, sedangkan retina matanya mulai menatap lekat angka-angka yang tertera di sana.
Sebenarnya Enggy sudah menyerah untuk mencari Jordan. Cowok itu sudah tak pernah kelihatan lagi di sekolah. Dia pun tak bisa menuduh ke sembarangan orang. Takut menjadi fitnah. Tapi sobekan ini seolah memberi sebuah harapan.
“Terima kasih, Ntung. Terima kasih banget.” Enggy berujar dengan semangat.
“Sama-sama. Aku sangat senang bisa membantumu.”
“Ehm... kamu mendapatkannya dari siapa?”
“Dari Tama.”
“Oh, benarkah?” Enggy menatap tak percaya, mengingat bagaimana sosok Tama yang pasti tak akan memberinya secara cuma-cuma. “Nggak nyangka kalo dia baik juga. Aku kira dia nggak—”
Tiba-tiba notifikasi bernada Fun Line berbunyi. Tangan Enggy segera meronggoh saku tasnya. Ada chat dari Riezka.
[Riezka RW 15:06]
Kata anak-anak, Rantung dan Tama adu tinju ya?
Itu benar nggak sih?
[Riezka RW 15:07]
Katanya gara-gara dia minta nomor Jordan
**TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA KARYAKU. MOHON KRITIK DAN SARANNYA. **
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments