Sebagai bisul hampir memecah, artinya menghadapi suatu kesulitan yang hampir terhindari (teratasi).
“Sungguh Bu, foto itu bukan saya. Saya bersumpah!”
Enggy tak dapat membendung air matanya. Sedikit demi sedikit memenuhi kelopak dan akhirnya jatuh di kedua pipi. Tak tahu harus melakukan apalagi. Sudah berulang kali dia menjelaskan.
Dua hari ini dilalui Enggy dengan cukup tenang. Meskipun masih ada beberapa anak SPP yang berceletuk tak sedap. Namun masa depan benar-benar tidak bisa ditebak. Tidak tahu apa yang akan terjadi.
Pagi tadi saat Enggy sedang serius-seriusnya memperhatikan Pak Musnar yang menjelaskan teori fungsi—mengingat dia sangat lemah di pelajaran matematika—tiba-tiba sosok Bu Rasih menyambangi kelasnya. Seluruh isi kelas pun mulai heboh.
Bu Rasih mengetuk pintu sebelum berujar, “Permisi Pak.”
Pak Musnar yang sedang asyik menulis materi di papan tulis kontan menghentikan gerakan tangannya. Dia langsung menoleh ke belakang. “Oh Bu Rasih. Ada apa ya, Bu?”
“Maaf Pak mengganggu, saya ingin bertemu dengan Enggy.”
Krasak... Krusuk... Spontan seisi kelas menjadi ribut. Gaduh. Bola mata mereka pun terus tertuju ke Enggy, sambil berbisik-bisik pula. Sedangkan Enggy menegang di posisinya.
Enggy tak ingin suudzon. Mungkin saja kejadiannya seperti Bu Lani kemarin. Lebih baik berpikir positif saja. Dan akhirnya Enggy bangkit, berjalan ke depan kelas, mengikuti langkah Bu Rasih setelah meminta izin dengan Pak Musnar.
“Saya bersumpah Bu, foto itu buka saya!” Masih dengan derai air mata, Enggy terus mencoba menyakinkan. Bening-bening itu semakin deras tatkala mengingat ayahnya. Beliau pasti akan kecewa lagi.
“Sebenarnya kalau hanya dikirimkan ke Ibu saja, Ibu tak akan mempermasalahkannya. Ibu yakin bukan kamu. Tapi foto itu sudah tersebar di grup WhatsApp guru dan orang tua siswa,” papar Bu Rasih selaku kepala sekolah SMA Plus Pekanbaru.
Enggy membelalak mata. Kok bisa? batinnya.
“Ibu Ratna, mamanya Hanggif, mendapatkan kiriman foto itu dari seseorang. Beliau kemudian mengirimkan ke grup dan bertanya apakah ada yang mendapatkannya juga. Di situlah awalnya,” tambah Bu Rasih dengan memandang lembut ke arah Enggy.
“Apakah kiriman itu dari Jordan, Bu?”
Bu Rasih mengernyitkan alis.
“Jordan yang pertama kali mengirimkan foto itu ke grup angkatan kami, Bu. Mungkin saja dia juga yang mengirimnya ke mama Hanggif,” tukas Enggy seraya sedikit terisak-isak.
“Ibu nggak tahu.”
“Foto itu bukan saya, Bu.” Enggy masih berusaha meyakinkan untuk kesekian kalinya.
“Ibu percaya kalau itu bukan kamu, Nggy. Tapi orang tua siswa sudah terlanjur protes dan Ibu harus bertindak.” Bu Rasih berdiri, melangkah memutar melewati meja dan mendekat ke posisi Enggy yang masih terisak, kemudian mengusap-ngusap punggungnya.
“Foto telanjang itu bukan saya, Bu. Saya bersumpah Bu. Saya bersumpah!” Enggy terus mencoba meyakinkan di sela-sela isak tangisnya.
“Besok bawalah kedua orang tuamu ke sekolah. Kita akan mendiskusikan masalah ini.”
“Tapi Bu—“
“Sudah, jangan menangis lagi. Semua akan baik-baik saja.” Bu Rasih mengusap-usap pelan punggung Enggy lagi, berharap dapat menenangkannya.
Enggy akhirnya mengangguk, memutuskan untuk mengiyakan saja.
“Sekarang kamu bisa kembali ke kelas.”
Enggy membangkitkan tubuhnya dengan tak bertenaga, beranjak dengan lunglai diikuti suara isakan yang masih terdengar jelas. Dia tak langsung kembali ke kelas, justru berbelok menuju belakang perpustakaan dan duduk di sebuah bangku kayu yang memang sengaja diletakkan di sana. Suara isakan yang tersedan-sedan kian kencang, semakin bergaung. Lelehan air matanya terus mengalir. Lebih deras dari sebelumnya.
Belum sampai sebulan ini, sudah ada dua kali ayahnya dipanggilan ke sekolah. Pertama karena perkelahiannya dengan Vio, dan kini karena foto rekayasa itu. Pasti beliau sangat kecewa.
Ah, Jordan. Tiba-tiba Enggy teringat dengan laki-laki badung itu. Cepat-cepat dia mengusap kedua pipinya. Tak ada guna menangis. Membuang waktu saja. Lebih baik dia segera mencari Jordan dan meminta penjelasannya. Pasti ada alasan kenapa dia sampai memposting foto itu. Mungkin juga bisa membantu menyelesaikan masalah ini ke sekolah besok.
“Enggy,” ucap sebuah suara yang terkesan seperti pertanyaan.
Enggy lantas menoleh, matanya seketika menjalin kontak dengan sosok bule yang beberapa hari ini sering makan dengannya dan Riezka di kantin. Andreas melangkah mendekat. Tatapannya menyelidik wajah Enggy dengan saksama, lalu keningnya berkerut.
Melihat reaksi di depannya, tangan Enggy kembali mengusap kedua matanya, berharap dapat menghapuskan jejak-jejak yang masih tertinggal.
“Kamu menangis?”
“Tidak,” jawab Enggy dengan menggeleng-geleng.
“Kamu baik-baik saja?” Andreas semakin mendekat, merasa belum puas dengan jawaban singkat tersebut, apalagi melihat kondisi Enggy yang cukup kacau dengan mata dan hidung yang memerah.
Enggy mengangguk kemudian berujar, “Kenapa kamu bisa di sini?”
“Sebenarnya tadi aku mau pinjam buku sejarah di perpus. Tapi saat aku sedang mencarinya, aku tiba-tiba saja mendengar suara tangisan perempuan. Aku kira hantu, tapi setelah dipikir-pikir kalau sekarang kan siang hari, nggak mungkin ada hantu. Jadi aku mencoba mencarinya dan yah begitulah,” jelas Andreas panjang lebar. “Benar kamu baik-baik saja? Matamu merah,” lanjutnya sambil memberanikan diri mengangkat tangannya, menyeka pipi kanan Enggy yang masih terdapat sedikit jejak air mata.
Seketika tubuh Enggy bergeming. Degup jantungnya berdetak kencang. Kedua pipinya tanpa malu menunjukkan semburat merah. Tidak pernah ada yang melakukan ini sebelumnya. Bahkan dengan Rantung sekalipun. Jadi wajar dia bersikap seperti ini. Seperti gadis yang sedang jatuh cinta saja.
“Aku baik-baik aja dan aku harus pergi sekarang,” tukas Enggy buru-buru memundurkan tubuhnya, mendadak menjadi salah tingkah.
“Apa ini ada hubungannya dengan foto itu?”
Pertanyaan yang terlontar tersebut refleks menghentikan langkah Enggy. Matanya kembali memanas. Air bening kembali mengalir, kembali membasahi kedua pipinya. Mengapa sekarang dia jadi cengeng, ya?
Memalukan, rutuk Enggy dalam hati.
Bisa-bisanya dia menangis tersedu-sedan di hadapan laki-laki ini, menunjukkan rupa yang sangat jelek dengan mata memerah dan hidung yang berlendir. Tapi sungguh Enggy tak dapat menahannya, bening itu memberontak hendak keluar. Dia pun selalu terbayang-bayang wajah ayahnya—yang tampak sayu dengan kelopak mata atas yang turun—yang penuh kecewa.
Enggy juga takut kalau seandainya Bu Lani atau Bu Endah akan mengeluarkan dari grup debate. Dia tak mau kehilangan momen untuk bisa membanggakan ayahnya. Dan memikirkannya saja sudah mendorong air mata ini meloncat keluar. Kedua manik Enggy kembali berkaca-kaca.
“Jadi sekarang kamu mau cari Jordan?” tanya Andreas setelah cukup lama terdiam, hanya membiarkan Enggy dengan segala kegundahannya.
Enggy tak menjawab. Hanya mengusap-usap kedua matanya saja.
“Aku akan menemanimu,” ujar Andreas sambil mengikuti pergerakan Enggy.
“Nggak usah. Ini urusanku,” cegah gadis berponi itu.
“Aku ingin—”
“Makasih. Tapi aku nggak ingin merepotkanmu. Sebaiknya kamu kembali ke perpus saja,” potong Enggy sebelum meninggalkan Andreas. Ini masalahnya. Jadi dia juga yang harus menyelesaikannya. Tak perlu orang yang tak ikut andil untuk ikut campur.
Kaki Enggy melangkah ke belakang sekolah, berharap bisa menemukan Jordan di sana, karena itu satu-satunya diketahui Enggy sebagai tempat nongkrong cowok itu. Namun Enggy harus menelan kekecewaan. Lagi-lagi Jordan tak ada di sana. Hanya ada Tama dan keempat teman akrabnya yang sedang berbincang-bincang dengan puntung rokok di mulut mereka.
Tak ingin berlama-lama, ditambah lagi tatapan Tama sudah menyeringai mengoda, Enggy segera membalikkan badan. Dia berjalan tergesa-gesa menjauhi kawasan yang cukup berbahaya itu. Dia memutuskan untuk kembali ke kelas dan berharap Jordan sedang duduk di bangku paling belakang sambil merebahkan kepalanya.
Harapan tetaplah sebuah harapan yang memang tidak selalu menjadi kenyataan. Jordan masih belum menampakkan wujudnya. Mungkin sejak insiden foto itu, Jordan sudah tidak pernah tampak di kelas lagi. Tidak ada kabar apapun.
Enggy tak akan menyerah. Dia harus menemukan Jordan bagaimanapun caranya.
Setelah mengikuti mata pelajaran seperti biasanya dan beberapa detik lalu bel pulang sekolah berbunyi, Enggy tergesa-gesa memasukkan buku dan peralatan sekolah ke dalam tas. Kalau Jordan tak bisa ditemukan di sekolah, berarti dia harus menemukan Jordan di tempat lain. Seperti tempat tinggalnya mungkin.
“Nggy, mau ke mana?”
“Ke rumah Jordan,” jawab Enggy sebelum menatap ponselnya, membaca chat dari Alika, sang ketua kelas, yang mengirimkan alamat Jordan.
“Aku ikut,” pinta Riezka sambil ikut terburu-buru memasukkan bukunya ke dalam tas.
Enggy menoleh sebelum menggeleng. “Nggak Riez. Ini masalahku.”
“Tapi aku ingin membantumu, Nggy.”
Bibir Enggy tersungging lebar. “Makasih Riez, tapi saat ini aku ingin menyelesaikannya sendiri dulu. Kalau seandainya nggak bisa, aku pasti akan meminta bantuanmu.”
Riezka akhirnya hanya mengangguk saja dan membiarkan Enggy menjauh dari bangku sebelum menghilang di balik pintu kelas.
Dengan berbekalkan google maps dan opelet, akhirnya Enggy sampai juga ke kawasan perumahan elit di Marpoyan Damai. Sekarang dia sedang berdiri di depan sebuah rumah megah berpagar tinggi menjulang. Suasana rumah itu tampak sepi, tampak tak berpenghuni. Sudah berulang kali pula dia memecat bel, masih tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Beberapa menit kemudian, tepat sebelum Enggy memutuskan untuk pulang, seorang laki-laki paruh baya berseragam putih dongker datang menghampiri dengan wajah mengantuk.
“Ada apa ya, Dek?” tanya laki-laki ber-nametag Ahmadi itu.
“Ini benar rumah Jordan Handhoyo, Pak?”
“Temannya Nak Jordan, ya?”
Enggy mengangguk ragu-ragu. Dia dan Jordan tak pernah saling menyapa, bahkan hampir setahun menjadi teman sekelas, hanya beberapa kali dia pernah melihat sosok bermata sipit itu. Record¬-nya untuk membolos memang terlalu sering.
“Tapi Nak Jordan dan keluarganya sedang keluar negeri, Dek,” imbuh Pak Ahmadi yang langsung membuat kedua mata Enggy berkaca-kaca.
“Kapan mereka pulang, ya Pak?”
“Bapak juga kurang tahu, Dek,” jawab Pak Ahmadi yang seketika menciptakan beberapa bening yang membasahi kedua pipi Enggy, sedangkan laki-laki paruh baya itu mengernyit alis. Heran.
“Permisi, Pak,” pamit Enggy.
Inikah akhirnya. Apakah dirinya tetap sebagai tersangka dari foto bugil itu? Apakah ayahnya harus tetap ke sekolah, memenuhi panggilan mengenai insiden ini?
Air mata Enggy jatuh kian deras. Dia memang sok jago, sok berani dan tak kenal takut, padahal dia tetap seorang perempuan yang begitu sensitif apalagi masalah harga diri. Foto itu bak melecehkannya dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Jordan sedang tidak berada di negara ini, seolah dia sedang menghindar dan tahu Enggy sedang mencarinya.
Hingga masuk ke dalam rumahnya, air mata Enggy masih mengalir. Justru sekarang semakin deras saja. Robby dan Angga yang sedang menonton TV menatap dengan keheranan, terselip juga raut khawatir di wajahnya mereka. Benak mereka pun mulai bertanya-tanya. Ada ada dengan perempuan satu-satunya di rumah ini? Kenapa Enggy pulang dengan linangan air mata seperti itu? Apakah ada yang sudah menyakitinya?
THANK YOU SO MUCH FOR READING MY NOVEL.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments