Elok palut, pengebat kurang, artinya Tampaknya sudah baik, tetapi sebenarnya belum.
Rantung memperhatikan saksama mimik wajah Enggy. Gadis di depannya tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Entah masih marah. Entah masih kecewa.. Rantung tidak bisa menerka-nerkanya.
“Aku masih sangat menyayangimu. Bisakah kita—”
Belum sempat Rantung menyelesaikan kalimatnya, sebuah mobil berwarna hitam berhenti persis di belakangnya. Merasa menghalangi jalan masuk, Rantung lantas memajukan sepeda motornya. Sementara Enggy segera membuka pintu gerbang.
“Tung, aku masuk dulu ya,” pamit Enggy sebelum melirik sosok Robby yang baru saja turun dari mobil diikuti dengan Tiwi.
“Ehm... Ya dan sampaikan salamku untuk ayahmu.” Sebenarnya Rantung enggan untuk pulang, masih banyak yang ingin diutarakan. Namun Rantung juga merasa tak enak dengan Robby. Apalagi tidak ada tanda-tanda kalau Enggy akan mengajaknya masuk ke rumah. “Aku pulang ya, Nggy,” ujar Rantung sambil menyalakan motornya.
Enggy mengangguk. “Hati-hati di jalan.”
“Bye!” ucap Rantung sebelum mengendarai motor hijaunya.
Setelah memastikan Rantung berbelok di persimpangan, Enggy membalikkan badannya. Dia berjalan menuju bangunan yang pintunya sudah terbuka. Saat dia memasuki ruang keluarga, dilihatnya Robby dan Tiwi yang sedang berbincang-bincang. Menyadari keberadaan Enggy, mereka pun kontan menoleh.
“Bagaimana sekolahnya, Nak?” tanya Robby sambil tersenyum ramah.
“Lancar, Yah.”
“Nggak ada masalah lagi kan dengan foto itu?”
Enggy menggeleng. “Nggak Yah. Semuanya baik-baik saja.”
“Udah makan?”
“Tante ada bawa ayam goreng sambal ijo. Kalo kamu mau, Tante akan panaskan dulu,” tambah Tiwi menawarkan.
“Nggak usah Tan. Aku udah makan kok,” tolak Enggy.
“Yuk kita makan sama-sama!” Robby mencoba mengajak lagi.
“Nggak Yah, aku masih kenyang. Aku mau ke kamar aja. Mau tidur.”
Bukan niatnya menghindar, Enggy benar-benar sudah kenyang. Setelah dia, Riezka, Andreas—minus Rantung—makan es krim, mereka melanjutkan makan bakso yang terletak di gedung sebelahnya. Setelah pemeriksaan di sekolah itu, Enggy memutuskan tak mengacuhkan keberadaan Tiwi. Tapi bukan berarti dia siap menerimanya sebagai pengganti Bunda. Hanya setidaknya dia harus memperlakukan Tiwi sebagai orang yang lebih tua yang wajid dihormati.
“Aku ke kamar dulu, ya Yah, Tan,” ucap Enggy mohon diri.
Enggy menapaki anak tangga hingga sampai di sebuah kamar berdinding biru langit. Dia menggantung tas selempangnya di belakang pintu, kemudian menuju lemari pakaian yang terletak di samping meja belajar. Dia mengambil celana training berwarna hitam dan sebuah kaos bergambar Winnie the Pooh. Dilangkahkan kakinya memasuki kamar mandi.
Selang beberapa menit kemudian, Enggy keluar dengan tampilan yang lebih fresh. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Otaknya mulai mengajak berputar kejadian tadi, tentang pernyataan Rantung yang mengajak balikan. Apakah dia harus menerimanya? Apakah Rantung sudah membuat keputusan antara dirinya dan Vio?
Mulut Enggy menganga lebar. Menguap. Kedua matanya terasa berat. Perlahan-lahan kedua manik itu mulai terpejam. Sebelum benar-benar tertutup rapat, Enggy sudah mengambil keputusan. Dia akan menerima ajakan itu. Dia ingin berpacaran lagi dengan Rantung. Karena jauh di lubuk hatinya, Enggy masih sangat menyayangi Rantung.
“Whoaaam....”
Enggy merentangkan kedua tangannya. Sekali-kali menguap. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha menyesuaikan dengan penerangan di kamarnya. Dilirik pintu kaca yang terhubung dengan balkon. Langit tampak gelap. Diliriknya jam berbentuk kepala hello kitty di atas bufet kecil. Jarum panjang mengarah ke angka dua belas dan jarum pendek menuju angka enam.
Dia segera beringsut menuruni ranjang. Diambil ponselnya di atas bufet. Ada beberapa chat yang masuk. Semuanya berasal dari grup angkatannya. Padahal dia berharap ada chat dari Rantung.
Enggy hanya melihat sekilas. Tak tertarik. Dia meletakkan kembali ponsel tersebut ke posisi semula sebelum menuruni anak tangga. Tidak ada Robby dan Tiwi lagi di ruang keluarga. Ayahnya pasti sedang mengantar Tiwi pulang. Kemudian digerakkan kakinya lagi menuju dapur. Dia merasa sangat lapar sekarang.
“Hai Dek!” sapa Angga yang baru saja berdiri sambil membawa piring ke bak pencuci.
“Ehm,” gumam Enggy singkat.
Enggy menggerakkan kaki menuju meja makan. Berharap masih ada ayam goreng sambal ijo yang dikatakan Tiwi tadi. Namun saat membuka tudung saji, dia hanya dapat menghela napas panjang. Sesuai dugaan. Piring batu itu hanya tinggal sambal ijo saja. Angga pasti telah menghabiskan semua ayamnya. Dia kan rakus. Paling tak bisa melihat makanan mengganggur. Selalu disikat tak bersisa.
Ck, dasar gembul, Enggy bersungut di dalam hati.
Dilihatnya lagi hidangan di atas meja. Hanya ada semangkuk sayur bayam dan sepotong ikan tongkol goreng. Tapi dia tak berselera. Sedangkan Mbak Sari sudah pulang ke rumah. Dia tidak bisa menyuruhnya untuk bikin nasi goreng.
“Kenapa dek?” Angga menghampiri Enggy.
“Nggak ada papa, Bang.”
“Oh... kalo begitu Abang ke kamar dulu ya,” ujar Angga sebelum meninggalkan dapur.
Enggy juga ikut beranjak meninggalkan dapur. Memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. Kemudian dia pergi ke balkon, mengambil handuk yang dijemur di rak pengering. Setelah mandi nanti, dia berencana ke taman kompleks, berharap masih ada penjual nasi goreng keliling yang memangkal di sana.
Baru saja memegang kenop pintu, nada Sparking Melody tiba-tiba berbunyi. Dia terpaksa menjauhi kamar mandi menuju bufet kecil. Tertera nama Andreas IPS.
“Ya Ndre?”
“Hai Nggy. Lagi sibuk nggak?” ucap Andreas di seberang sana.
“Nggak kok. Ada apa?”
“Kamu tahu nasi goreng seafood terenak di Pekanbaru nggak? Tiba-tiba aku ngidam nih.” Andreas terkekeh kecil di akhir kalimatnya.
“Kalau aku biasanya suka makan di NGM, Nasi Goreng Masko.”
“Ada di Google Map nggak?”
“Nggak tahu, nggak pernah coba. Tapi Riezka tahu kok tempatnya. Kamu ajak dia aja.”
“Dia sedang ada acara keluarga Nggy.”
“Oh...” Enggy mangut-mangut. Pantas gadis berkacamata itu tidak mencercokinya.
“Atau bagaimana kalo kamu aja yang menemaniku. Kamu ada acara nggak malam ini?”
Enggy terdiam. Tampak berpikir. Sekarang malam minggu. Jalan-jalan besar di Pekanbaru pasti sangat ramai. Pasti macet.
“Nggy, jadi gimana?” tanya Andreas.
“Baiklah. Jam berapa?” setuju Enggy. Tak enak juga untuk menolak. Lagian dia juga sedang lapar. Sekalian nanti beli di sana.
“Oke, aku jemput sekarang ya?!”
“Jangan sekarang. Tiga puluh menit lagi kamu ke sini. Aku mau mandi dulu,” cegah Enggy seraya mengambil handuk yang tadi diletakkan di atas kasur.
“Ihhhh... Pantas dari tadi aku mencium bau nggak sedap. Ternyata dari kamu. Baunya sampai ke sini lho,” ucap Andreas dengan terkekeh-kekeh kecil.
“Cih, nggak gitu ya. Walaupun nggak mandi seharian, aku tetap wangi kok.”
“Aku belum mandi. Tak tuntuang tak tuntuang. Tapi masih cantik juga. Tak tuntuang tak tuntuang. Apalagi kalau sudah mandi tak tuntuang. Pasti cantik sekali,” dendang Andreas yang menyanyikan lagi hitz saat ini. “Oke. Tiga puluh menit lagi aku ke rumahmu,” sambungnya.
“Oke. Aku matiin ya,” akhir Enggy sebelum mematikan ponsel pintarnya.
Saat tiba di ruang tamu, Enggy cukup terkejut dengan interaksi di depannya. Andreas tampak asyik mengobrol dengan Robby. Mereka bahkan terbahak-bahak. Entah apa yang mereka bicara. Enggy hanya sempat menangkap nama salah satu pesepak bola Indonesia yang cukup terkenal.
“Kok temanmu nggak diajak masuk Nak, malah nunggu di luar?” tanya Robby ketika menyadari keberadaan Enggy.
Andreas cepat-cepat mengklasifikasi. “Sebenarnya saya yang kecepatan datang ke sini Om. Saya janjinya jemput jam tujuh. Enggy mungkin nggak tahu kalo saya sudah datang.”
“Memangnya kalian mau ke mana?”
“Saya dan Enggy mau makan nasi goreng seafood, Om.”
Robby mengangguk-angguk kecil. “Kalian mau berangkat sekarang?”
Andreas melirik sekilas jam tangannya. “Gimana Nggy?”
“Iya Yah,” jawab Enggy.
“Saya izin bawa anak ya Om,” mohon Andreas sopan.
“Silakan. Tapi jangan malam-malam pulangnya dan hati-hati di jalan.”
“Sip Om.” Andreas menunjuk jempolnya.
Robby mengantar kedua remaja itu sampai ke depan pagar. Tidak lupa memberikan beberapa wejangan lagi agar Enggy dan Andreas berhati-hati, mengingat sekarang malam minggu dan di jalanan pasti sedang padat.
Baru saja dia hendak menutup pintu, sebuah sepeda motor sport tiba-tiba berhenti di depan pagar. Robby terpaksa beranjak keluar hingga berada di ujung teras.
“Malam Om, maaf mengganggu.”
“Oh Rantung,” ucap Robby setelah memastikan penglihatannya.
“Enggy ada Om?”
Robby menoleh sebentar ke kiri, ingin mengetahui apakah sosok Enggy dan Andreas masih terlihat. “Dia baru aja pergi.”
“Kalau boleh tahu, ke mana ya Om?”
“Dia pergi dengan Andreas. Katanya sih mau makan nasi goreng seafood.”
Dan saat itupula Rantung merasa ditikung dan dikhianati.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACANYA. SEMOGA TERUS SUKA.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments