Peribahasa 2 Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang

Kalah jadi abu, menang jadi arang, artinya Pertengkaran akan merugikan kedua belah pihak (sama-sama rugi)

Enggy meringis. Tarikan di helai-helai rambutnya sangat menyakitkan. Vio menariknya dengan sangat kuat, begitu penuh tenaga. Enggy pun tak mau kalah, sebisa mungkin berusaha melepaskan diri dan mencoba mengambil helai-helai panjang rambut Vio. Jemarinya menarik dengan penuh tenaga pula. Kedua gadis muda itupun mulai saling tarik-menarik. Saling jambak-menjambak.

Suasana kantin yang memang selalu riuh di jam-jam seperti ini, kini semakin hiruk-pikuk. Bak pasar malam. Anak-anak SPP bahkan sekarang membentuk lingkaran, menonton adegan langka yang sangat jarang terjadi di kantin sekolah. Tidak ada yang berniat untuk melerai. Justru sorak-sorakan penyemangat untuk terus melanjutkan adegan brutal itu kian menggema.

Riezka sebenarnya ingin menghentikan pertikaian di depannya, setidaknya menolong Enggy yang tampak kesulitan dengan sikap kasar Vio, tapi dia tak memiliki cukup keberanian. Bahkan sekarang tubuhnya sedikit bergetar, menatap ngeri adegan cek-cok di depannya, hingga tak menyadari sosok Andreas yang masuk ke dalam kerumunan, dan kejadian sapuan tangan itu terjadi begitu cepat, membuat suasana hiruk- pikuk itu seketika mendadak sunyi. Seperti kuburan saja.

Pipi Andreas sekarang terasa sangat panas. Dia sangat yakin kalau pipi kirinya pasti berwarna kemerahan. Tak menyangka gadis bernama Vio itu memiliki kekuatan yang cukup besar dengan tubuh kurusnya. Suara aduan telapak tangan Vio dengan pipinya bahkan mampu meredam suara kegaduhan yang ada. Niatnya hanya ingin memisahkan mereka. Tak mengira akan mendapatkan tamparan salah sasaran yang cukup menyakitkan seperti ini.

“Andreas!” pekik Enggy ketika menyadari sosok laki-laki bule yang sudah berada di tengahnya dan Vio. “Kamu nggak papa?” Tangan Enggy refleks memegang wajah Andreas, ingin memastikan kondisi laki-laki yang baru dikenalnya beberapa menit lalu, dan sedikit merasa bersyukur karena bukan dirinya yang menerima pukulan itu. Pasti menyakitkan, tambahnya membatin.

Andreas sedikit menyungging senyum. “Nggak papa kok.”

“Yakin?”

“Aku laki-laki. Pukulan ini nggak seberapa,” jawab Andreas meskipun sekali-kali dia meringis tatkala jemari Enggy menyentuh bekas lima jari yang menghiasi wajahnya.

Vio menyeringai sinis. Matanya meneliti saksama laki-laki bermata coklat muda yang baru pertama kali dilihatnya. Ganteng. Itu penilaian pertama yang diimpresikannya untuk Andreas. Matanya kini berpindah ke sosok Enggy yang menatap khawatir. Benak Vio mulai bertanya-tanya. Siapakah dia? Apakah hubungan mereka? Lalu bagaimana dengan Rantung?

Belum sempat lontaran tanya keluar dari mulut Vio, sosok bertubuh tambun dalam balutan kerudung merah datang dengan tatapan nyalang. Para siswa yang tadi membentuk lingkaran langsung membubarkan diri tanpa diperintah, begitupula dengan Riezka. Dia tidak ingin masuk ke dalam daftar hitam Bu Neneng, guru yang dicap sebagai guru tergalak di SPP. Ada beberapa rumor juga yang tersebar tentang beliau, kalau namamu sudah tertulis dibukunya, alamat masa SMA-mu akan suram. Ah, masa SMA memang tempatnya rumor-rumor aneh beredar!

“Kalian bertiga, ikut Ibu ke kantor. SEKARANG!!!” ucap Bu Neneng dengan mendelik tajam dan menekan kata terakhirnya.

Saat Enggy masuk ke dalam kelas, Riezka seketika berdiri dan berlari-lari kecil mendekati Enggy yang sedang memasang wajah masam. Sebelah tangannya memegang secarik kertas beramplop putih. Riezka tak perlu menebak apa isinya. Dia sudah pernah melihat beberapa kali karena rasa keingintahuannya dulu. Jordan, teman sekelas mereka yang terkenal badung sering mendapatkannya. Dia meletakkan begitu saja di bawah kolong meja tanpa pernah membawa pulang. Suatu hari setelah selesai piket kelas, karena rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya Riezka dengan berani mengambil kertas itu dan mengintip isinya.

“Kamu nggak papa, Nggy?”

Enggy tak memberikan respon, masih jengkel gara-gara surat di tangannya. Kaki Enggy terus bergerak menuju bangku ketiga dari pintu, mendudukkan tubuhnya dengan malas dan merebahkan kepalanya di atas meja. Tiba-tiba Pusing. Kepalanya mendadak berdenyut-denyut.

“Nggy!”

Enggy sedikit mendongak saat mendengar suara yang sedemikian familier. Matanya menangkap sosok berwajah oval yang datang mendekat. Riezka yang juga menyadari kedatangan Rantung segera berdiri, berniat memberikan bangkunya sekaligus privasi untuk mereka. Enggy dan Rantung pasti butuh bicara. Secara tidak langsung, Rantung juga ikut andil atas pertengkaran Enggy dengan Vio karena dialah pokok masalahnya.

“Terima kasih,” ucap Rantung sebelum Riezka beranjak terlalu jauh sambil menempati kursi kayu itu. Kedua matanya mulai memindai. Tampak cemas. “Kamu baik-baik saja, Nggy? Tadi aku dengar kalo kamu bertengkar sama Vio.”

Enggy kembali merebahkan kepalanya, menghadap ke arah dinding, mendadak malas melihat wajah si jangkung ini. Dinding polos berwarna kuning pudar di depannya terlihat lebih menarik. Mendengar nama Vio, rasa dongkolnya semakin menjadi-jadi apalagi nama itu keluar dari mulut Rantung.

“Enggy!” panggil Rantung dengan memegang pundak Enggy yang membelakanginya. “Nggy!” Sekali lagi Rantung memanggil. “Kamu sakit? Aku antar pulang, ya?!” tambahnya saat Enggy masih tak menyahut.

Enggy masih tak berhasrat untuk membuka mulut. Rasa kesal ini masih menumpuk. Hingga bel berbunyi tanda istirahat sudah berakhir, Enggy masih tidak mengeluarkan sepatah katapun. Pandangannya masih menghadap dinding, seolah dinding itu benar-benar sedap di pandangan mata daripada wajah Rantung.

“Aku ke kelas dulu, ya?! Nanti aku tunggu di parkiran. Kita pulang bareng.”

Rantung berharap Enggy kini menoleh. Tapi sepertinya gadis itu sedang dalam mood yang benar-benar buruk.

“Aku ke kelas sekarang, ya?!” Sekali lagi Rantung berpamitan, masih berharap kalau gadis itu mau sedikit menggubrisnya.

Namun harapan tetap harapan yang kadangkala tidak selalu terkabul. Enggy masih betah dengan pendirian, masih tertarik dengan dinding berwarna kuning pudar yang mewarnai hampir keseluruhan ruang kelas. Dan Rantung kembali berharap di dalam hati, kejadian hari ini tidak merusak hubungan mereka yang baru terjalin beberapa hari. Semoga.

Bel keenam berbunyi. Tanda kalau proses ajar mengajar siswa-siswi SMA Plus Pekanbaru hari ini telah selesai. Enggy dengan lunglai memasukkan peralatan sekolah ke dalam tas. Keadaan emosionalnya masih belum membaik. Dia juga masih belum bersuara dan Riezka yang duduk di sebelahnya juga ikut sengap.

Setelah memastikan kalau tidak ada barang yang tertinggal di kolong meja, Enggy meraih tasnya dan mulai bergerak mendekati sosok jangkung yang ternyata telah menunggu di depan pintu sejak lima menit yang lalu. Dia kira cowok itu akan menunggu di parkiran, seperti perkataannya tadi, mengingat lokasinya bersebelahan dengan gedung jurusan IPS.

“Pulang sekarang?”

Enggy mengangguk pelan.

“Mau langsung pulang atau—”

“Pulang aja,” sela Enggy dengan sedikit melangkahkan kaki menjauh.

“Oke,” sahut Rantung sambil mensejajarkan gerak kaki mereka.

Selama menempuh ke parkiran siswa, Enggy dan Rantung lalui dalam kebungkaman, bak mereka begitu menikmati suasana yang tidak biasa ini. Bukannya cuek, Rantung hanya ingin membiarkan gadis di sampingnya ini sedikit tenang. Pertengkarannya dengan Vio pasti membuatnya syok, apalagi dia sempat melihat amplop putih yang ditujukan khusus untuk orang tua Enggy.

Rantung menyerahkan helm berwarna merah kepada Enggy sebelum menaiki sepeda motor hijaunya, kemudian membantu Enggy untuk menempati boncengan yang cukup tinggi. Perlahan suara gemuruh seperti angin ribut mulai terdengar, dan sedikit demi sedikit posisi dua pasang anak muda itu kian menjauh dari area SMA Plus Pekanbaru, mulai membelah jalanan-jalanan besar Pekanbaru.

Masih tidak ada suara yang terdengar. Enggy dan Rantung masih memilih menutup mulut. Tetap membisu. Padahal biasanya ada saja hal yang mereka bicarakan, dari tingkah Pak Nasir yang merupakan guru olahraga mereka yang sering membuat lelucon garing, hingga hal-hal menyangkut keluh-kesah kehidupan sehari-hari mereka. Enggy ternyata masih begitu dongkol, terutama saat mengingat pertikaiannya dengan Vio yang saling menjambak di kantin tadi.

Hanya satu hal yang disesali Enggy atas kejadian itu. Mengapa Bu Neneng selaku guru BK harus memberikan surat panggilan untuk orang tuanya, mengapa tidak memberinya hukuman saja. Dia rela harus membersihkan kamar mandi asalkan tidak melibatkan ayahnya.

“Bisakah kita ke taman kompleks sebentar?” ucap Enggy ketika sepeda motor Rantung baru saja memasuki gerbang perumahan Panam Wahana Mandiri.

Enggy tiba-tiba menjadi malas untuk pulang ke rumah apalagi saat membayangkan wajah kecewa ayahnya saat menerima surat itu, dan juga ada beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan ke Rantung nanti. Ada yang ingin dipastikan.

“Ya,” jawab Rantung sambil berbelok.

Motor Rantung berhenti di samping sebuah pohon mangga dekat pagar pembatas. Enggy turun dari boncengan, mendekati kursi kayu yang memang sengaja diletakkan di sana. Setelah mengunci stang motornya, Rantung pun ikut duduk di samping Enggy.

“Kamu pernah pacaran dengan Vio?” tanya Enggy memecahkan keheningan yang ada sejak mereka duduk.

Rantung sedikit melebarkan matanya. Sedikit terkejut.

“Jadi?”

Rantung memundurkan tubuhnya ke belakang hingga punggungnya menempel dengan kursi kayu. Menyandar. Matanya menatap ke atas, memandang awan-awan yang terlihat kehitaman.

Pancaran mata Rantung menunjukkan keragu-raguan. Jujur atau bohong.

“Jadi kamu memang pernah pacaran dengan Vio?” tanya Enggy sekali lagi.

Kepala Rantung terangguk. “Dulu.”

“Kapan?”

“Saat kelas dua SMP.”

Hening lagi. Sunyi. Suasana taman sore itupun seolah mendukung. Tak banyak orang-orang kompleks perumahan yang datang mengisi sisi-sisi taman. Hanya terlihat beberapa anak kecil yang sedang berlari-lari dan ada sebagian bermain jungkat-jungkit. Penjual asongan pun tak tampak nangkring di pinggir-pinggir jalan. Tak satupun ada.

“Dulu Vio tidak seperti itu. Dia gadis yang baik dan juga ceria. Tapi semenjak kedua orang tuanya berpisah, mendadak sikapnya berubah. Mungkin sebagai bentuk pemberontakkannya.” Rantung yang masih menatap langit-langit, bak sedang menyelami masa-masa beberapa tahun silam.

“Lalu kenapa kalian putus?” lagi-lagi Enggy bertanya. Penjelasan Rantung masih belum memuaskannya, terutama hatinya.

“Sejak perceraian kedua orang tuanya, dia berubah menjadi posesif dan terlalu mengekangku. Awalnya aku biasa-biasa saja, menganggap kalau sikapnya hanya untuk menarik perhatianku saja, tapi lama-kelamaan aku mulai jenuh apalagi saat dia mulai melarangku bertemu dengan teman-temanku, termasuk teman laki-lakiku,” jelas Rantung sambil sedikit menghela napas.

“Apakah kamu masih menyayanginya?”

Rantung mengalihkan pandangannya dari langit, kini matanya menatap lembut ke arah Enggy. Tangan kanannya mulai terangkat ke atas, mendarat ke kepala Enggy dan mengacak-acak poni cewek itu.

Enggy tak merespon. Tidak juga mencoba menghindar. Hanya bergeming.

“Sejak putus dengan Vio, sejak itupula perasaan sayangku itu sudah nggak ada,” ujar Rantung yang sekali lagi mengacak-ngacak poni Enggy. “Sekarang aku hanya menyayangi perempuan bernama Enggy Marsella Handoyo, anak dari Pak Robby Handoyo di perumahan kompleks Panam Wahana Mandiri nomor 30 E,” sambungnya dengan cengar-cengir lebar.

Namun Enggy masih tak bereaksi. Tetap bergeming. Biasanya kalau Rantung sudah mengeluarkan kata-kata yang menjurus ke arah gombalan seperti ini, dia pasti sudah tersipu-sipu malu. Bahkan saking malunya, dia tak berani untuk menampakkan wajahnya yang pasti sudah kemerahan.

“Bagaimana dengan Vio?” Kembali Enggy bertanya.

“Maksudmu?”

“Apakah Vio masih menyayangimu?”

“Aku nggak tahu. Tapi...,” Rantung tampak ragu-ragu untuk melanjutkannya, takut menjadi bumerang. “Tapi sejak kami putus, memang beberapa kali dia pernah mengajakku balikan. Sebulan sebelum kita jadianpun, Vio kembali memintaku untuk menjadi pacarnya.”

“Oh,” respon Enggy singkat, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan apa-apa, tidak terlihat reaksi yang berlebihan saat kalimat-kalimat itu terlontar.

Tiba-tiba gerimis-gerimis kecil melanda. Rantung spontan berdiri, begitupula dengan Enggy. Jemari Rantung segera menggenggam tangan Enggy, hendak mengajak beranjak mendekati sepeda motor sport-nya. Tapi Enggy lantas melepaskannya, menarik menjauh jemarinya. Raut wajahnya masih sama, tak terlihat ekspresi apa-apa, hanya pancaran matanya justru tampak berbeda. Tampak binar-binar kesedihan dan kekecewaan di sana.

Sementara Rantung mengenyitkan alis. Merasa aneh.

“Sebaiknya kita break dulu,” lirih Enggy hampir tak terdengar.

“Hah?” sahut Rantung.

“Kita break dulu.”

Sekali lagi alis Rantung mengernyit lebih dalam. “Hah?!”

“Sebaiknya kamu selesaikan dulu urusanmu dengan Vio.”

“Aku sudah nggak punya urusan apapun lagi dengannya,” tukas Rantung sambil sedikit menggerakkan kakinya, mendekatkan ke arah Enggy yang tidak tahu sejak kapan sudah membuat jarak yang cukup besar.

“Menurutku tidak seperti itu. Kalian sepertinya masih mempunyai urusan yang belum selesai. Karena kalo nggak, dia pasti nggak akan mengejar-ngejarmu lagi seperti ini. Dan sampai urusan kalian berdua belum clear, sebaiknya kita break dulu,” ucap Enggy sambil membalikkan badannya, rintik-rintik kecil itu sepertinya akan menderu deras.

Hanya beberapa langkah kakinya bergerak, Enggy merasa lengannya ditarik dan spontan tubuhnya berbalik.

“Aku nggak mau. Aku nggak mau kita break, atau apapun itu,” tolak Rantung dengan napas memburu. “Kasih aku alasan yang logis!” imbuhnya dengan setengah membentak, dia benar-benar tak terima dengan keputusan sepihak Enggy.

Enggy mencoba melepaskan cengkraman Rantung dan akhirnya menyerah saat pegangan itu tetap tak terlepas, justru kian erat.

“Kamu tahu kenapa sebagian orang nggak bisa move on setelah mereka putus?”

Rantung hanya diam. Tidak berniat untuk memberikan tanggapan apa-apa. Namun keningnya tidak bisa untuk tidak berekasi, mengerut.

“Karena sebagian orang mungkin masih mengenang kenangan indah mereka. Padahal sepenuhnya bukan karena itu, tapi karena salah satu dari mereka masih memberikan harapan dan salah satunya siap menerima harapan,” ujar Enggy sebelum menghempaskan pegangan Rantung, membalikkan badan dan langsung berlari.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA. JANGAN LUPA LIKE, VOTE, DAN COMMENT! SHARE KE TEMAN-TEMANMU JUGA YA

Terpopuler

Comments

Clara IG

Clara IG

Mulai lupa dengan peribahasa 😅

2019-11-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!