Lolos

Prasti mengambil pinggang Brully untuk sedikit menjauh dari anggotanya. Setengah berbisik Prasti berkata manja.

“Makanya Om itu jangan suka lupa sama aku. Namaku sekarang Fatimah. Aku sengaja memindahkan namaku pada seseorang agar orang tak tahu kalau aku yang lahirin anak Om. Ini untuk melindungi Om. Paham Om???”

Brully angguk-angguk mendengar penjelasan Prasti

Reynal dengan alat canggih yang dia punya mendengar pembicaraan ini. Tiga anggota lainnya juga fokus pada pergerakkan berikut.

“Bagus” bisik Reynal

Prasti mulai bisa bermain. Bahkan melebihi harapan Reynal. Tapi Reynal tetap ragu dan cemas. Prasti sulit dipercaya. Bicaranya sering kelepasan. Sembarang bunyi saja.

Prasti kembali bermanja-manja di depan Brully dengan mengatakan anak yang dia lahirkan beberapa bulan silam itu mesti diambil. Brully terkesiap mendengarnya, karena memang itu yang diinginkannya. Brully mendesak Prasti memberitahu keberadaan anak itu. Prasti beralasan tidak bisa menjemput anak karena tak punya uang tebusan. Brully bergegas menanya berapa uang tebusan itu, Prasti menyebut angka 20 jura rupiah. Tanpa pikir panjang, Brully mengambil uang di mobil dan menyerahkannya pada Prasti.

Ternyata Prasti makin asik bermain. Tapi, lagi-lagi Reynal masih cemas. Sedikit saja kesalahan, hancur berkeping-keping. Sekali lagi, mulut Prasti sering ember.

Setelah menerima uang dari Brully, Prasti kemudian mengajak Brully ke sebuah tempat.

Prasti memasuki mobil Brully,

Reynal tetap berdebar, masih dihantui cemas takut bila Prasti Blunder. Reynal bergerak sesuai petunjuk yang ada pada alat cangih miliknya. Alat yang mampu menggambarkan dengan detil posisi Prasti dan Brully. Tiga anggota Reynal terus pula bergerak.

Prasti telah sampai di sebuah tempat yang lapang. Dada Reynal kurang aman, cemas bila Prasti tidak konsentrasi pada arahannya. Ini saat saat yang menentukan. Sedikit saja blunder, habis semuanya.

Setiba di tempat yang lapang Prasti menunjuk posisi rumah.

"Tapi aku tak boleh ikut. Kalau aku ke sana pasti gagal. Dia tak percaya aku”

“Oke”

Prasti kembali menunjuk rumah di arah barat itu. Anggota Reynal segera menuju arah telunjuk Prasti. Kemudian menampakan badannya secara samar.

“Nah itu orangnya Om, itu tu, lelaki yang bertiga itu. Salah satunya teman Om, yang dulu ketemu Om di kantor. Eh bukan...”

Prasti Blunder, menyebut kalimat “yang dulu ketemu di kantor. Reynal serasa ditimpuk drum minyak tanah. Kaget alang kepalang.

Prasti lekas mengalihkan dengan menunjuk anggota Reynal, yang kemarin menjemputnya ke Bali. Kemudian Prasti ingat kata Reynal, jalan Mahasakti 12.

“Rumah orang itu di apa.. Om, di jalan Mahasakti 12 Om. Nanti setelah ketemu, Om diajak ke sana ambil anak. Kebetulan anak ada disana Om. Disini kebetulan tempat kerjanya doang”

“Rumah itu ada bahan peledak kan???”

“Itu yang di depannya Om, yang pakai peledak itu, yang aku maksud yang di belakang rumah No 12 itu”

Brully bersama tiga anggota naik mobil menuju arah yang ditunjuk Prasti. Dan menemui tiga lelaki yang masih berdiri di depan rumah itu. Prasti cilingak cilinguk tak tahu harus lari ke mana.

“Waduhh, mati aku, mati.. mati” Prasti gugup dan takut bersangatan

Berjarak 20 meter sebelum rumah yang dituju. Tiga anggota Reynal yang menyamar itu lari masuk mobil dan kabur. Sementara disaat yang sama Reynal mengambil Prasti dan membawanya lari.

Brully langsung mengejar mereka, sesuai petunjuk Prasti, Brully menuju ke rumah yang ada di belakang Jalan Mahasakti No.12.

“Mantaaaappppp” kata Reynal pada Prasti

“Waduh bang, rasa mau mati rasanya, waduh..”

“Udah. Kamu luar biasa. Kamu hebat. Kamu hebat Prasti. Kamu bukan lagi Prasti yang tadi.Ini Prasti yang baru”

“Waduh Bang, sesak nafas aku Bang.Nanti Om Brull nyusul kita ke bandara. Dia tahu aku mau ke Padang. Kok bisa tau ya”

“Ya udah, aman. Mereka sekarang ke Mahasakti 12. Untuk sampai ke sana butuh 2 jam kalau lancar, kalau macet bisa 4 jam. Alau mau balik lagi ke bandara bisa 6 jam bolak balik. Aman, aman. Kamu berangkat satu setengah jam lagi”

‘Mana tahu dia tak percaya omongan aku bang, lalu nyari aku ke bandara. Atau pesawat delay lagi”

“Aman, pokoknya aman. Keberadaan mereka terbaca alat yang saya punya”

“Wow, hebat dong”

“Makanya santai saja”

“Tadi aku keceplosan nyebut teman yang dulu ke kantor”

“Tak masalah, Brully ngga bakal ingat kata itu”

***

Reynal dan Prasti sampai di bandara. Nafas Prasti sudah stabil setelah Reynal memberinya minum.

Seluruh barang bawaan Prasti diangkut menggunakan troly, gerobak khusus bandara itu.

Prasti memakai baju santai islami yang semalam dibelikan anggota Reynal. Warnya biru muda dan jilbab biru tua. Sementara bawahannya biru navi. Penampilan Prasti persis mualaf Eropa.

Reynal dan Prasti tegak bersandar di tiang teras bandara. Prasti belum masuk ruang pemeriksaan. Sebab keberangkatan masih satu setengah jam lagi.

Sepintas mereka seperti turis asing dengan pemandu wisata lokal. Prasti lebih tinggi dari Reynal. Prasti 173 cm, Reynal 167 cm. Reynal berwajah Indonesia dan Prasti hampir seluruh bagian fisiknya tampak Eropa walau ibunya Indonesia.

Reynal tak terlalu ganteng, tapi terlihat macho, badannya tegap berisi, mirip atlit atletik.

Sementara Prasti jangkung seperti atlet voli.

Keberangkatan satu hanya jam lagi. Penumpang jurusan Padang dipanggil untuk memasuki ruang tunggu. Prasti memandang Reynal, tatapannya dalam. Reynal mencoba tersenyum.

“Bang, aku mau masuk ruang tunggu nih”

“Ya, tak apa-apa”

“Tapi sebelum aku melangkah, ada satu permintaanku”

“Apa tuh”

“Ucapkan dulu kata sayang”

“Ah, ada ada saja kamu Pras”

“Gampang kok. Aku minta pamit, Abang jawab dengan kata ya sayang”

“Waduh, udah udah yok jalan ke ruang tunggu”

“Ngga mau”

“Itu udah ada panggilan!”

“Terserah, pokoknya abang jawab gitu”

‘Jangan ah, itu orang sudah pada masuk, ayo jalan sana”

Reynal mendorong pelan bahu Prasti.

“Ngga!!, biarin, aku ngga bakal jalan kalau abang belum ucapin kata itu”

“Ya udah, ngomonglah”

Prasti mengambil nafas panjang ambil tersenyum, kemudian berkata:

“ Bang Reynal yang baik hati, Prasti pergi dulu ya, jaga diri ya sayang”

“Iiiii yaaa, sayyyaaangg”

“Ah, gugup abang nya. Ngga asik.ulangi”

“Waduh Pras, udah, itu orang sudah pada masuk semua. Tinggal kamu doang”

“Terserah, biarin”

“Huallla.. Pras..Pras”

“Pakai senyum tak boleh gugup”

“Iya, ngomonglah”

“Bang Reynal yang baik hati, Prasti berangkat dulu ya, jaga diri abang di sini”

“Iya sayang”

Prasti girang tak terhingga. Girangnya mirip ibu-ibu dapat hadiah sepeda dari presiden.

Prasti melangkah ke ruang tunggu, langkah tersendat sendat, kurang sempurna. Tiap sebentar menoleh ke belakang memandang Reynal. Setiap kali memandang tangannya melambai. Tak lama lagi raga Prasti akan menghilang tenggelam masuk ruang tunggu.

Satu langkah sebelum masuk dia menghadap lagi ke Reynal. Lambaian tangannya sungguh syahdu, seperti lambaian penumpang kapal di pelabuhan Teluk Bayur. Serasa suara Erni Johan pelantun lagu itu terdengar sayup sayup sampai.

Prasti berdiri kaku, air matanya mengalir pipinya yang kemerahan. Walau menangis, penampilan prasti begitu anggun dengan balutan kerudung.

Prasti memutar badan untuk melangkah, tapi beberapa saat dia kembali menoleh ke Reynal. Lambaian kembali dia lakukan. Sementara tangan kirinya menghapus air mata yang mengaliri pipi. Prasti melangkah, tubuh kini tak terlihat.

Reynal berbalik menuju mobil. Wajahnya juga sembab. Adakah rasa yang telah mengaliri hatinya? Entahlah.

Prasti di ruang tunggu duduk tenang, tak menoleh kiri dan kanan, walau calon penumpang lain banyak curi pandang padanya.

Memang beda, tampilan sangat santun. Dan yang menjadi perhatian perhatian wajahnya yang bule dan berkerudung. Mungkin mereka menyangka Prasti seorang mualaf Eropa.

Suara dari operator bandara terdengar

“Nang..ningg..kepada penumpang Balam Air, jurusan Padang dengan nomor penerbangan Jk 002 disilahkan menaiki pesawat”.

Prasti bersama calon penumpang lain bergerak menuju pintu naik pesawat. Hatinya kian syahdu terbayang wajah Reynal saat perpisahan tadi. Kalau bukan karena takut dibu-nuh Brully Prasti tak mau jauh dari Reynal. Ada rasa aman dan kemudian menjadi nyaman bersama Reynal.

Sementara Reynal, walau dari tadi sudah menuju mobil belum kunjung berangkat menuju rumah. Dia menunggu dan ingin menyaksikan Prasti terbang menuju Padang.

Badan pesawat Balam Air sudah terlihat bergerak, Reynal keluar mobil dan menyaksikan pesawat itu. Perlahan laju pesawat kian cepat untuk lepas landas. Saat badan pesawat telah menengadah ke udara, Reynal tak berkedip. Matanya seakan melihat Prasti duduk dibangku pesawat itu dan melambaikan tangan padanya. Reynal tak beranjak hingga pesawat hilang diawang-awang Jakarta.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!