Operasi Inteligen

Prasti kembali mencoba menghubungi Reynal. Lagi-lagi jawaban pemancar tetap “ nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif”. Seharusnya, Prasti mematikan alat komunikasi bila tak kunjung tersambung. Sebab dengan membiarkan alat komunikasi tetap aktif, memberi peluang besar bagi Brully untuk tetap mengetahui di mana keberadaannya.

Kawan

Benar, Brully sedang menurunkan lima orang anggota saat ini di bandara. Bahkan Brully langsung turun ke lapangan, sebab dia telah tahu jadwal keberangkatan ditunda. Dan, yang sangat mencemaskan adalah jarak Prasti dengan mereka tidak terlalu jauh.

Minimal, untuk mengaburkan wajah, Prasti menutup kepala dan pakai Masker. Sebab wajahnya sangat gampang dikenal. Wajahnya bule, tak pula pakai kerudung, tentu tak sulit untuk menemukannya bagi tim pencari. Sekali lagi, alat komunikasi Prasti harus mati, sehingga pelacakkan titik lokasi keberadaan Prasti tidak terdeteksi.

Prasti akhirnya berfirasat kalau dia sedang dicari. Dia yakin Brully tak percaya penuh pada pengakuannya yang sedang berada di Rawamangun. Dia lalu mengambil kata mata hitam dari tasnya untuk menutupi mata. Untuk menutupi hidungnya yang mancung, dia segera memakai masker.

Tapi, ya sudahlah, bagaimanapun Prasti mengubah penampilan ternyata tetap saja tak mampu mengaburkan bentuk aslinya. Karena postur bulenya tetap tampak. Tapi usaha ini perlu dihargai.

Dengan berkacamata hitam, kini mata Prasti agak leluasa memerhatikan gerak gerik orang yang ada di bandara. Dia begitu awas dan menaruh curiga pada siapa saja yang berpapasan. Benar, apa yang dia curigai terbukti, dia melihat seseorang yang dari gerak-geriknya sedang mencari sesuatu.

Di telinganya terpasang alat dan matanya sigap bertukar ke segala arah.

Ketika Prasti menoleh ke arah timur, berjarak lebih kurang 100 meter, tampak pula orang bergelagat sama. Begitupun di utara tampak pula lelaki berjaket hoodie sedang menerima telepon dengan gerak gerik sedang mengamati orang-orang.

Prasti, gugup. Dia yakin bahwa mereka-mereka itu sedang mencarinya. Prasti berpikir untuk kembali masuk ruang bandara dan mengurungkan niatnya untuk mencari Reynal. Namun sudah terlambat, untuk mencapai pintu ruang tunggu Prasti harus lagi balik kebelakang sejauh 400 meter.

Prasti tak yakin dia bisa berhasil kembali, khawatir dalam perjalanan dicegat orang-orang yang dia curigai itu. Sebab, dua diantara mereka itu, saat ini berada di jalur yang harus dilewati Prasti menuju ruang tunggu.

Dalam kegugupan tinggi, Prasti terus berjalan untuk menghindar. Tapi, tanpa Prasti tahu, posisinya kian dekat dengan orang-orang yang akan menangkapnya.

Brully di bagian Barat mengabarkan bahwa koordinat keberadaan Prasti tak jauh dari mereka berdiri. Ternyata benar, beberapa detik kemudian, Brully tiba-tiba melihat Prasti. Walau muka Prasti telah ditutup masker dan kaca mata, gaya jalannya tak bisa berubah. Brully tahu betul gaya jalan Prasti.

Lalu, Brully, segera memerintahkan anggotanya untuk bergerak serentak ke titik sasaran. Jarak penangkapan kian dekat, tak lebih 50 meter. Sementara Prasti tetap berjalan penuh awas. Lalu menyelinap masuk dalam kerumunan orang ramai.

Tiba-tiba dalam kerumunan itu, dari kiri Prasti, tiga orang dengan cepat menarik tubuhnya dan dengan cepat pula menutup mulut Prasti agar tidak mengeluarkan suara.

Tubuh Prasti diangkat tergesa-gesa seolah-olah mereka bertiga sedang membantu orang yang sedang sakit. Ini dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan orang-orang yang ada di lokasi pada aksi mereka.

Dengan sigap mereka memasukan Prasti ke mobil yang telah menunggu.

“Ampun, ampun, jangan bunuh aku” Prasti ketakutan ketika sudah berada dalam mobil

“Diam..diam jangan berisik. Tenang” Mereka mengamankan alat komunikasi Prasti dan memastikan telepon dalam keadaan mati.

“Ampun Bang, ampun jangan bunuh aku”

“Diam, tenang. Tenang”

“Ampuun Pak, ampun Bang, jangan bunuh aku Bang” Prasti menangis pilu sebab ia merasa kematian benar-benar sudah dekat dengannya.

Mobil terus melaju kencang, lebih kencang dari mobil ambulance yang yang sedang membawa orang sakit. Tubuh Prasti terhempas ke dinding mobil dan terus menangis minta ampun.

“Bang, Pak kasihanilah aku Pak. Tolong, tolong jangan bunuh aku. Tolong”

Prasti makin mendayu pilu, badannya serasa sudah berangsur mati. Keadaan kian mencekam ini. Tak ada lagi harapan hidup. Karena dia tahu Bruly, adalah orang yang tidak main-main ketika sudah mengeluarkan ultimatum. Prasti tak berdaya, suaranya parau, kerongkongannya kering.

Benar-benar memilukan. Prasti pasrah dengan keadaan, walau dengan sisa suara yang ada dia tetap memohon untuk tidak dibunuh. Dalam perjalanan Prasti sempat melihat semak-semak yang dilalui mobil. Dalam angannya, bahwa dia akan dibunuh ketika sudah berada ditempat yang sepi. Prasti masih mencoba untuk tetap bermohon dengan mengapai tangan salah seorang dari mereka. Tapi sekali lagi, mereka tak peduli, mereka hanya berkata:

‘Diam.. diam, sebentar lagi sampai”

Kalimat itu makin menciutkan nyali Prasti. Seakan orang itu mengabarkan bahwa waktu kematiannya semakin dekat. Nyawa Prasti di ujung kepiluan. Prasti masih mencoba untuk memohon. Lagi-lagi kalimat yang sama kembali mereka ucapkan. Prasti seakan telah kehabisan nafas sebelum kematian itu tiba.

Satu setengah jam perjalanan, mobil yang membawa Prasti sampai di sebuah tempat. Prasti tak lagi berbicara. Pasrah dengan keadaan, walau tak ada rela setitik pun di hatinya. Dia tak sudi nyawanya diambil paksa.

Begitu sampai, pintu pagar langsung dibuka penjaga rumah dan segera ditutup kembali. Mobil langsung meluncur masuk garasi, Prasti menutup mata rapat-rapat menunggu apa yang akan terjadi di detik-detik berikutnya. Prasti tenang, tapi nafasnya sesak tak terkira, Mukanya pucat pasih. Prasti menganggap inilah waktu-waktu terakhirnya ia hidup di dunia.

Ketika pintu mobil dibuka, Prasti minta ampun untuk terakhir kali.

“Ampunn..ampunn, jangan bunuh aku, aaa..ampuun”

Tiga orang lelaki itu tak menghiraukan permohonan Prasti. Mereka kemudian membawa Prasti ke taman belakang rumah. Di situ telah menunggu seorang lelaki berbaju hijau sedang duduk santai. Dan lelaki yang telah menunggu itu adalah: Reynal.

“Bang Reynal?????

Ternyata Reynal tahu keberangkatan pesawat ditunda dan mengetahui pula Brully menuju bandara menangkap Prasti. Maka sebelum Prasti berhasil mereka tangkap, anggota Rerynal mengamankannya terlebih dahulu. Begitulah operasi inteligen berlaku.

Prasti seperti sedang bermimpi. Dia terdiam. Dalam nafas yang susah untuk diselesaikan dia mengusap muka dan badannya. Dia tak yakin pada pandangan matanya. Rasanya ini tak mungkin terjadi. Di saat nyawanya sudah diujung jari malaikat maut ada malaikat lain yang datang mengantarkan tangannya.

“Bang Reynal???”

“Iya” Jawab Reynal datar.

“Ini nyata???

“Iya”

Aku bukan sedang bermimpi???”

Prasti menangis. Bila tadi menangis karena ajal sudah dekat, sekarang menangis karena ternyata harapan hidup masih ada. Tubuhnya bergetar.

“Ga..gaggal ke Padang ya Bang?

“Ngga, kamu tetap ke Padang. Disini tidak aman bagimu”

“Wa..waa..duh Bang, hampir mati aku bang. Dari tadi aku sudah merasa bahwa aku akan segera mati. Aku sudah berusaha menghindar dan menghilang dari Brully. Lalu tiba-tiba tiga orang menyeretku. Aku sudah pasrah karena sebentar lagi kan dibu-nuh. Ternyata yang menangkapku anggota Abang.” Prasti berbicara dalam nafas yang masih sesak.

“Wa.wwa duh Bang, gimana nih Bang”

“Tenang..tenang. Minum dulu, itu minuman” Reynal menunjuk air yang telah tersedia di meja kecil di taman belakang rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!