Sesuai janji Xellan tadi sore, kini dia sedang berteleponan dengan sahabatnya. Mereka cukup lama menghabiskan waktu lewat sambungan telepon. Bahkan sekarang, Xellan menemani Jovicca yang sedang masak untuk makan malam.
“Aku gak bohong, Lan. Kucing itu narik kaki temennya di depan aku malah,” ucap Jovicca antusias. Dia semangat menceritakan kejadian tadi pagi di saat dia ingin berangkat untuk mengantar bekal Xellan.
“Tadi pagi tuh ya, pas aku mau mesen grab buat ke kantor kamu, aku ketemu kucing warna hitam. Dia dungsel-dungsel kaki aku, karena lucu aku sengaja beliin makanan kucing di supermarket. Aku kasi tuh kan, eh taunya dateng temennya yang lain, warna oren. Secara aku anaknya baik dan budiman, aku kasi makan juga kucing oren di sampingnya. Eh, taunya kucing orennya bawa lari kaki kucing hitam. Padahal kucing hitamnya udah marah-marah.” Jovicca bercerita panjang lebar. Ponsel wanita itu dia letak di atas meja dekat kompor, sedangkan dia sibuk membolak-balikan ayam yang di goreng.
“Emang kamu ngerti bahasanya? Kok tau kucingnya lagi marah-marah?” tanya Xellan menjahili sahabatnya.
“Lan, aku serius. Kucing hitamnya ngomel-ngomel. Kayak aku suka ngomelin kamu. Kucingnya ngeong-ngeongnya panjang gitu loh,” balas Jovicca kesal. Sahabatnya itu sungguh menjengkelkan.
“Panjang? Berarti gak narik napas dong kucingnya? Kalo gak napas, kok masih bisa hidup?”
“Laan!! Kamu ngeselin ih, aku gak mau cerita lagi.” Jovicca kesal, saat dia bercerita wanita itu selalu saja menjahilinya. Terkadang dia mengejek, atau seperti saat ini. Jovicca sedang bercerita serius, perempuan itu malah membahas hal yang tidak penting.
Terdengar suara tawa Xellan yang cukup kuat dari seberang sana. Jovicca tahu, wanita itu puas menjahilinya. Apalagi ketika Jovicca ngambek, Xellan selalu tertawa lepas.
“Maaf … maaf. Tapi itu lucu, kalo aku jadi kucing hitam, bakal aku tabok kepalanya. Yakali lagi enak-enak makan, malah di bawa lari,” ujar Xellan setelah berhenti dari ketawanya.
“Kalo kamu di situ aku yakin kamu juga pasti bakal ketawa.”
Jovicca melihat suaminya sedang membuka kulkas untuk mengambil minuman. “Eh, Al? Sebentar lagi masakanku selesai. Ayo makan malam bareng.”
Karena mendengar suara Xellan dari sambungan telepon Jovicca, Alvian menyetujui ajakan makan malam bareng dari istrinya. Dia jarang mendengar suara wanita itu, kalau ada kesempatan kenapa harus di tolak.
“Mnn,” balas Alvian, pria itu berjalan santai ke meja makan dengan gelas berisi air dingin di tangannya.
“Cowok kaku itu mau kamu ajak makan malam, Jov?” tanya Xellan heran. Setahunnya cowok itu tidak suka berbaur dengan orang baru. Walaupun Alvian dan Jovicca sudah menikah dua tahun, tapi tetap saja mereka masih baru kenal.
“Dia mau. Tuh langsung duduk di meja makan. Mana anteng lagi, sibuk sama handphonenya,” balas Jovicca sedikit berbisik.
“Tumbenan, setahu aku dia anaknya gak se friendly itu deh.” Jovicca hanya menaikkan bahu, walaupun dia tahu Xellan tidak bisa melihatnya.
“Sebentar ya, aku mau siapin makannya dulu. Tunggu di situ.” Dengan cekatan wanita itu menyusun semua makanan yang dia masak tepat di depan Alvian, termasuk nasi juga minuman untuk suami dan dirinya sendiri.
“Aku matiin ya, Jov. Kan kamu lagi bareng sama suamimu.” Xellan merasa tidak enak mengganggu sahabatnya bersama Alvian. Bagaimanapun juga, dia adalah orang asing di antara sepasang suami istri itu.
“Gak usah, lagian dia juga bodoamat mau aku ngapain juga,” balas Jovicca tidak ingin mengakhiri panggilan telepon mereka.
“Yaudah deh, aku juga sekalian mau ambil makan. Laper.”
“Eum … kita makan bareng. Cuma bedanya kamu di sana, aku di sini.”
Xellan hanya membalasnya dengan kekehan. Terdengar suara Xellan yang bangun dari kasur di ikuti suara pintu yang terbuka. Kelihatannya wanita itu sengaja tidak menutup pintu kamar.
“Kamu di rumah?”
Alvian yang tadinya hanya makan dalam diam, seketika meatap tajam ponsel Jovicca.
Siapa itu? Aku gak bisa dengar jelas suaranya, tapi bisa kupastikan kalau itu laki-laki.
“Lan? Kamu di rumah sama siapa? Itu suara siapa?” Jovicca menghentikan aktivitas makannya. Dia khawatir, sahabatnya itu tidak pernah membawa orang asing masuk ke tempat tinggal mereka.
“Lan!!” teriak Jovicca, tapi tidak mendapat balas apapun dari seberang telepon.
Alvian bersiap ingin pergi ke apartemen Xellan malam itu juga, tetapi dia batalkan saat wanita yang di cintainya mulai bersuara.
“Iya, Jov. Kenapa?” Seketika perasaan Jovicca lega, tidak terjadi apa-apa pada sahabatnya.
“Kamu di rumah sama siapa? Aku tadi denger suara orang. Setahu aku kamu gak pernah bawa orang asing ke tempat tinggalmu.”
“Gak ada orang di sini. Itu suara TV, aku sengaja gedein suaranya. Soalnya sepi, radio rusak aku udah tinggal sama orang lain,” canda Xellan membuat Jovicca lagi-lagi memasang wajah cemberut.
Ponsel Alvian berdering, lantas pria itu langsung mengangkat teleponnya. “Hallo, Ma.”
“Dia ada di sini.” Alvian melirik Jovicca yang hanya diam menatapnya.
“Iya.” Setelah mengatakan itu Alvian menutup ponselnya.
“Besok pergi ke rumah mama,” ujar Alvian seadanya. Pria itu berjalan santai ingin masuk ke kamarnya.
“Bisik pirgi ki rimih mimi. Idih gak jelas banget jadi cowok. Bukannya bilang alasannya, malah langsung masuk ke kamar,” sindir Jovicca yang masih bisa di dengan oleh Xellan. Wanita itu hanya tertawa kecil saat mendengar cibiran sahabatnya.
“Harap bersabar ini ujian,” balas Xellan mengejek Jovicca.
***
Saat ini Alvian dan Jovicca sudah sampai di depan rumah Remon. Tetapi Jovicca tidak langsung turun dari mobil Alvian.
“Lan, aku minta tolong antarin bekal ke kantor Xellan boleh?” tanya Jovicca hati-hati.
Dia tidak ingin Alvian marah padanya, tetapi dia juga tidak bisa mengantar makanan Xellan hari ini, karena mama mertuanya meminta wanita itu untuk menemaninya berbelanja.
“Plis yaa ... aku mohon, soalnya seharusnya aku nganter bekal buat dia hari ini, tapi tante minta aku buat dateng. Jadi aku gak bisa nganterin,” ucap Jovicca panjang lebar.
“Mnn.” Bukannya senang, wanita itu malah menatap bingung pria di sampingnya.
Ehh? Udah? Gitu doang? Aku kirain bakal lama buat bujukin dia. Secara dia tuh gak pernah bisa di mintain tolong. Jangankan minta tolong, di ajak ngobrol aja susah. Kok tumben dia mau? Mana gak butuh effort lagi. Jangan-jangan di kesurupan dedemit ya? Ahh bodoamatlah, yang penting bekal Xellan aman.
“Serius boleh? Kamu gak marah sama aku?” Jovicca hanya memastikan saja. Kalaupun marah yasudah, tidak ada pilihan lain.
“Enggak.”
Wajah Jovicca berbinar. “Makasi, Al. Itu bekal kamu udah aku buatin juga di samping tas bekalnya Xellan.”
Alvian tidak menjawab, pria itu balik ke mode dinginnya. Karena sudah terbiasa Jovicca tidak mempermasalahkan itu lagi. Wanita itu keluar dari mobil Alvian. Setelah melihat mobil Alvian mulai menghilang, dia masuk ke rumah mewah berwarna putih di depannya.
Pintu putih itu terbuka dan Renata orang pertama yang dilihat Jovicca. “Sama siapa ke sini tadi?”
“Sama Alvian, Tante.” Renata melihat ke belakang Jovicca.
“Terus dia mana?”
“Langsung berangkat kerja, Tante. Jovi juga minta tolong sama dia, makanya Alviannya berangkat lebih cepat,” balas Jovicca santai. Wanita itu sudah terbiasa dengan ibu mertuanya.
“Yaudah sini masuk.” Jovicca mengangguk dan masuk ke dalam rumah mewah bernuansa putih itu.
***
Saat sudah sampai di kantor Xellan. Alvian memarkirkan mobilnya, lalu dia turun dari mobil. Pria itu berjalan masuk ke gedung, membawa tas bekal di tangannya.
Terlihat resepsionis wanita yang menunduk, Alvian hanya meliriknya sebentar. Lelaki itu langsung menaiki lift untuk sampai ke kantor Xellan.
Saat pintu terbuka, Alvian melihat Jordan berdiri tepat di depannya. Mereka saling bertatapan.
***
Maaf ya hari ini aku telat upload. Tadi siang sama malam ini. Tapi jangan bosan ya nungguin aku up. 🥰❤
Jangan lupa ninggalin jejak kakak-kakak. Selamat membaca, semoga kalian suka. 😘💞
Lope sekebon.
❤💞❣️💕🧡💓💖💘💝💕💖💕💘❣️💗💕💗❣️💗💕💗💖💕💘❣️💖❣️💗💕💓💕💖❣️💘❤💓💕💖💕💗💞💖💞💘💝💖💓
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments